*Ratu Abadi (Raab)*
Di sebuah pulau kecil yang sangat mahsyur dengan nama Pulau Kesepian, hiduplah dua orang wanita. Seorang nenek dan seorang gadis muda. Si nenek berstatus sebagai majikan dan si gadis muda adalah budaknya.
Meski Pulau Kesepian sangat mahsyur, tetapi tidak ada seorang pun yang berani coba-coba anjang sana ke pulau tersebut, meski seorang pendekar sakti sekali pun. Hal itu karena sosok si nenek yang merupakan penghuni awal dan pemilik pulau yang luasnya hanya sepuluh kali lapangan sepak bola. Semoga bisa dikira-kira.
Sosok nenek di pulau itu bukanlah sembarang nenek. Namanya sudah mahsyur sebagai pendekar tua sakti mandra yang berguna dari golongan hitam. Dia memiliki rekor seribu kali bertarung dengan hanya satu kali kalah. Itupun kekalahannya dia alami tanpa melakukan pertarungan adu fisik, tapi cukup dengan mengatakan, “Aku mengaku kalah.”
Dia sudah lama mengumumkan dirinya mundur dari dunia persilatan, memilih hidup tenang dan sunyi di Pulau Kesepian. Dia ternama dengan nama dunia persilatan Pendekar Tanpa Nyawa. Jangan ditanya siapa nama aslinya! Mungkin dia pun sudah lupa siapa nama aslinya karena terlalu lama memakai identitas Pendekar Tanpa Nyawa, meski dia masih bernyawa sampai sekarang.
Pendekar Tanpa Nyawa memiliki perawakan tubuh yang tinggi besar dengan fisik yang tua, sewajar sebagai seorang nenek-nenek. Usianya sudah mencapai delapan puluh tahun dengan kulit yang sudah tipis. Meski demikian, raganya sehat seperti wanita berusia separuh baya. Bahkan bertarung fisik pun dia masih lincah.
Lama dia hidup seorang diri di pulaunya. Segala sesuatu dia lakukan sendiri. Namun, setelah dia memiliki seorang budak wanita, dia kini sangat memanjakan dirinya. Hal-hal kecil saja dia memerintah budaknya yang melakukan, kecuali perkara urusan menyuap makanan ke mulut dan perkara kakus.
“Budaaak!” teriak Pendekar Tanpa Nyawa kencang ketika dia memanggil budaknya pada suatu waktu, karena budaknya agak jauh dari posisinya.
“Hamba, Gusti Agung!” sahut satu suara wanita yang jauh lebih jernih didengar dibanding suara serak si nenek.
Terdengar suara langkah kaki yang berlari tergesa-gesa ke tempat si nenek yang sedang duduk bersandar di kursi kayu, berbantal tumpukan sabut kelapa yang dibungkus kain.
Tidak berapa lama, muncullah seorang gadis cantik jelita berbibir merah. Gadis berpakaian lusuh warna abu-abu itu memiliki model wajah yang bulat. Selain bibirnya yang menjadi kekhasannya karena merah alami, dia juga sangat mudah diingat karena memiliki kumis tipis nan halus, yang justru bisa memancing nafsu lelaki mata belang. Usianya masih muda di angka dua puluhan.
Dialah gadis yang dipanggil “Budak” oleh Pendekar Tanpa Nyawa. Padahal dia memiliki nama yang indah, yaitu Aninda Serunai. Namun, sang majikan tidak mau memanggil nama asli budaknya.
“Hamba, Gusti Agung,” ucap Aninda Serunai seraya berlutut di depan kaki si nenek yang terjuntai di kursi tuanya.
“Apa yang kau lakukan di sana, Budak?” tanya si nenek.
“Hamba sedang menguliti ular laut, Gusti Agung,” jawab Aninda Serunai yang kala itu memang sedang memegang sebilah pisau.
“Duduklah dengan tenang dan nyaman. Aku ingin menyampaikan sesuatu kepadamu!” perintah si nenek tanpa mengomentari aktivitas budaknya itu.
Aninda Serunai lalu memilih duduk bersila di depan si nenek yang duduk santai. Dia meletakkan pisaunya di lantai papan.
Setelah melihat gadis cantik berkumis itu sudah siap mendengarkan, Pendekar Tanpa Nyawa lalu mulai berkata dengan satu pertanyaan.
“Apakah kau masih mendendam kepada kakakmu?”
“Masih, Gusti Agung,” jawab Aninda Serunai lemah seraya mengangguk sekali.
“Sebenarnya aku tidak peduli dengan dendammu kepada Raja Sanggana itu, tetapi itu kemudian menjadi salah satu alasan bagiku untuk menggunakanmu sebagai senjataku guna membalas kekalahanku darinya,” ujar Pendekar Tanpa Nyawa.
“Hamba akan patuh apa pun yang Gusti Agung perintahkan,” ucap Aninda Serunai seraya menjura hormat penuh takzim.
“Kau sudah lima tahun hidup bersamaku dan selama itu pula aku dimanjakan oleh pelayananmu. Hidup dimanja dan dilayani bertahun-tahun ternyata membuatku malas dan justru membuat otot dan persendianku mulai kehilangan daya. Tiba-tiba aku memiliki pemikiran jahat karena aku memang ternama sebagai orang hitam. Aku senang dengan kesendirianku di sini, tetapi aku juga ingin menciptakan karya hebat di daratan sana, salah satunya adalah mengalahkan kakakmu si Raja Sanggana Kecil itu. Budak!”
“Hamba, Gusti Agung,” sahut Aninda Serunai.
“Aku ingin menghidupkanmu kembali menjadi wanita berkesaktian tinggi. Apakah kau mau?” tanya Pendekar Tanpa Nyawa.
“Tentu aku sangat mau, Gusti Agung,” jawab Aninda Serunai antusias dengan senyum yang sumringah.
“Sepertinya kau sudah bosan menjadi budakku, Budak,” kata Pendekar Tanpa Nyawa.
“Bukan seperti itu maksudku, Gusti Agung. Tolong ampuni aku, Gusti Agung. Ampuni aku, Gusti Agung!” kata Aninda Serunai cepat sambil sujud di depan kaki si nenek. Nada suaranya menunjukkan ketakutan. Pasalnya dia sudah beberapa kali menerima hukuman yang menyiksa raga dan batinnya, tapi itu hanya di tahun pertama ketika awal-awal menjadi budak.
“Aku sudah lama tidak menghukummu, Budak,” kata Pendekar Tanpa Nyawa dingin.
“Jangan, Gusti Agung. Ampuni aku, Gusti Agung. Ampuni budakmu ini! Hiks hiks hiks!” ucap Aninda Serunai sangat memelas dengan masih posisi bersujud yang berujung terdengar suara tangisnya.
“Jangan menangis!” bentak Pendekar Tanpa Nyawa.
Terkejut perasaan Aninda Serunai. Isak tangisnya seketika berhenti seperti air seni lelaki yang terpergok kencing sembarangan oleh calon mertua.
“Aku tidak sudi memiliki budak yang cengeng!” bentak Pendekar Tanpa Nyawa lagi.
“I-i-iya, Gusti Agung,” ucap Aninda Serunai. Jelas-jelas suaranya bergetar ketakutan. Pasalnya, jika si nenek sudah tidak sudi, itu artinya dia mungkin akan dibunuh. Dia lalu bangun dari sujudnya.
“Aku tidak akan membunuhmu karena aku akan menggunakanmu. Untuk membuatmu kembali memiliki kesaktian tinggi dalam waktu singkat, kau akan menjalani latihan yang menyiksa, bahkan mengancam nyawamu sendiri. Kau akan bisa bertahan dan berhasil jika kau memiliki kemauan yang tinggi. Apakah kau mau menjalaninya, Budak?” ujar Pendekar Tanpa Nyawa. “Atau kau memilih menjadi budak tanpa daya sampai kau mati menua?”
“Aku memilih berlatih, Gusti Agung,” jawab Aninda Serunai dengan wajah penuh harap.
“Baiklah. Mulai besok subuh, latihanmu akan dimulai. Hari ini kau aku bebaskan dari melayaniku,” kata Pendekar Tanpa Nyawa.
“Terima kasih, Gusti Agung,” ucap Aninda Serunai gembira. Jarang-jarang dia mendapat hari libur karena memang tidak ada tanggal merah di dalam kalender yang juga tidak ada.
“Kau pasti masih ingat gerakan-gerakan olah kanuragan yang pernah kau kuasai,” kata si nenek.
“Masih, Gusti Agung,” jawab Aninda Serunai.
“Jadi kau tinggal memunculkan kembali tenaga dalammu yang musnah dan ditambah ilmu-ilmu baru yang akan aku wariskan,” kata si nenek.
“Baik, Gusti Agung,” ucap Aninda Serunai patuh.
“Kau boleh pergi!” perintah si nenek.
“Terima kasih, Gusti Agung.”
Aninda Serunai lalu bersujud kembali menghormat. Sujudnya agak lama yang menunjukkan rasa terima kasihnya. Setelah itu, dia beringsut mundur dan kemudian bangkit pergi. (RH)
*Ratu Abadi (Raab)*
Aninda Serunai sudah menjalani berbagai latihan berat dan nyaris tanpa istirahat untuk raga dan batinnya. Berulang kali dia mengalami pingsan di saat latihan karena fisiknya tidak sanggup bertahan.
Beberapa latihan itu seperti menyelam di dalam air laut dalam waktu lama, berlari tanpa henti selama beberapa hari, berpuasa tanpa kenal berbuka dan hari raya, mematung hingga pingsan, dan banyak lagi macam latihannya yang menyiksa. Uniknya, selama masa latihan, Aninda hanya boleh makan daging laut mentah jika tidak dalam masa puasa.
Seperti pada satu ketika, Aninda Serunai menjalani latihan dengan cara digantung terbalik di dahan pohon, sehingga kepalanya ada di bawah dengan rambut, baju dan kedua tangan diikat di badan agar tidak menjuntai. Pasalnya, di tanah, tepat di bawah kepala, ada api yang dinyalakan dan sengaja dikondisikan agar asapnya banyak yang keluar.
Asap itu naik lewat menyelimuti kepala dan tubuh Aninda Serunai. Tepatnya, Aninda sedang diasapi.
“Uhhuk uhhuk uhhuk…!”
Kondisi itu jelas mengganggu pernapasan Aninda Serunai. Dia terus terbatuk-batuk dan berulang kali jatuh pingsan di dalam gantungan. Pendekar Tanpa Nyawa akan tahu Aninda Serunai pingsan ketika budaknya itu berhenti terbatuk.
Nenek sakti itu menjamin bahwa budaknya tidak akan mati oleh pengasapan tersebut, meski Aninda akan pingsan seratus kali.
Ketika Aninda pingsan, si nenek akan mengecilkan perapiannya. Pengasapan itu sendiri berlangsung selama seharian.
Pendekar Tanpa Nyawa sebenarnya tidak sekedar mengasapi Aninda. Ada unsur tertentu yang dibakar di dalam pengasapan itu, membuat asap menjadi warna putih bercampur hijau kehijau-hijauan.
Puncaknya, ketika Aninda pingsan untuk kesekian kalinya, dan sebagaimana biasanya Pendakar Tanpa Nyawa mengecilkan asap perapian, tubuh Aninda tersentak beberapa kali dalam ketidaksadarannya.
“Racun Mimpi Buruk sudah meresap,” ucap Pendekar Tanpa Nyawa lirih ketika melihat tubuh Aninda tersentak kecil dalam pingsannya.
Pada tahapan ini, Aninda memiliki penglihatan di dalam pingsannya, yang pada awalnya adalah warna gelap gulita seluruhnya. Tidak berapa lama, muncul pemandangan yang dilihat dan kondisi yang dirasakan oleh Aninda.
Tiba-tiba di dalam kegelapan muncul sesosok lelaki tampan berbibir merah, berambut gondrong lurus dan mengenakan rompi merah terang yang melapisi pakaiannya.
“Joko Tenang,” batin Aninda Serunai saat mengenali orang yang sangat dibencinya selama ini.
Dia hanya melihat sosok Joko Tenang, selebihnya adalah kegelapan.
Joko Tenang langsung meninju perut Aninda Serunai dengan tinju yang bersinar hijau. Seiring tinju itu menghantam perut Aninda dan seiring tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang, kegelapan tiba-tiba hilang dan berganti terang.
Saat itu, dia dan pemuda tampan berbibir merah sedang bertarung di tengah-tengah ruangan besar yang hancur di sana-sini. Lantai dipenuhi oleh pecahan batu-batu hasil dari pertarungan mereka.
Entah bagaimana ceritanya, saat ini Aninda sedang menggenggam sebatang tongkat bagus.
Zerzzz!
Aninda Serunai merespons serangan Joko Tenang dengan melesatkan sepuluh aliran sinar biru dari tongkatnya.
“Ciaat!” pekik Joko Tenang cepat sambil menghentakkan kedua tangannya.
Wuss!
Sebelum sepuluh aliran sinar itu menjangkau Joko Tenang, ilmu angin Badai Malam Dari Selatan lebih dulu dikeluarkan. Angin yang laksana maha badai muncul dari tubuh Joko Tenang yang langsung menerbangkan tubuh Aninda Serunai.
Bukan hanya tubuh Aninda Serunai yang diterbangkan, tetapi batu-batu hasil reruntuhan bangunan dan debu tebal ikut terbang bersama.
Setelah itu, Joko Tenang cepat melesat memburu Aninda Serunai yang faktanya tidak kenapa-kenapa.
Aninda Serunai mendarat dengan baik di dekat dinding yang hancur parah. Ia cepat mengulurkan kedua tangannya lurus ke depan. Kedua kepalan menggenggam dua bagian dari senjatanya yang bernama Tongkat Jengkal Dewa.
Kini, Tongkat Jengkal Dewa dilapisi sinar merah berpendar. Joko Tenang datang melesat secepat anak panah dari arah depan.
Zess!
Tiba-tiba dari tongkat itu melesat segaris sinar merah sepanjang tongkat tersebut dengan lesatan menyamping. Sinar itu memotong tubuh Joko Tenang dan terus melesat jauh menghancurkan dinding yang rusak semakin hancur.
Dan kini, ada tiga tangan yang memegang Tongkat Jengkal Dewa. Dua tangan Aninda dan satu tangan Joko Tenang di tengah-tengah. Itu adalah situasi yang sangat menegangkan, terutama bagi Aninda Serunai.
Saat melesat di udara, Joko Tenang menggunakan ilmu yang namanya Hijau Raga, sehingga fisiknya berubah jadi manusia hologram yang raganya menjadi bayangan tidak tersentuh. Dia mendarat di depan Aninda Serunai dan tangan kanannya telah menggenggam tepat bagian tengah Tongkat Jengkal Dewa, di antara dua genggaman tangan Aninda Serunai pada tongkat.
Uniknya, Joko Tenang menggenggam tongkat itu hanya dengan dua jari, yaitu ibu jari dan jari telunjuk.
Zreeet!
“Akkr!” erang Joko Tenang saat ada aliran sinar merah dari tongkat yang mengaliri tubuhnya lalu meresap masuk. Joko Tenang sempat mengejang karena menahan sengatan yang hanya selama dua detik.
“Putri Bibir Merah mewariskan Tongkat Jengkal Dewa ini kepadaku melalui Ki Ageng Kunda Poyo, tapi kau merampoknya, hanya karena sama-sama sebagai keturunan Ratu Bibir Darah. Kau mempermalukan keluarga besar Ratu Bibir Darah, Aninda,” kata Joko Tenang datar. “Masa jayamu sudah berakhir, adikku.”
Ceklek! Set!
Dua jari tangan Joko Tenang tiba-tiba memutar bagian tengah tongkat yang dipegangnya.
Aninda Serunai terkejut bukan main. Ujung kanan dan kiri Tongkat Jengkal Dewa mendadak melesat masuk ke bagian tengah tongkat yang diameternya lebih besar. Dengan memendeknya tongkat pusaka itu, genggaman dua tangan Aninda Serunai jadi kehilangan pegangan. Kuatnya pegangannya tidak mampu menahan tongkat itu untuk memendekkan diri.
Blamm!
Setelah kehilangan pegangan pada tongkat, Aninda meledakkan tenaga dahsyat dari dalam tubuhnya. Itu adalah ilmu Letupan Bunga Matahari.
Joko Tenang langsung terpental keras dan jauh, jatuh di serakan bebatuan. Apesnya, Tongkat Jengkal Dewa yang dalam wujud sejengkalnya, lepas dari pegangan tangan Joko.
Melihat Tongkat Jengkal Dewa terlepas dari genggaman Joko Tenang, Aninda Serunai cepat melesat hendak memungutnya.
Zerzzz!
“Aakk!”
Namun, lesatan tubuh Aninda Serunai harus terhenti di udara, karena tubuhnya terjerat dan tertahan oleh lima aliran sinar hijau dari ilmu Lima Jeratan Terakhir milik Joko Tenang. Kelima tali sinar tanpa putus itu keluar dari kelima jari Joko.
Aninda Serunai menjerit nyaring.
Joko Tenang yang juga sudah menderita luka dalam akibat ilmu Letupan Bunga Matahari milik Aninda, cepat berkelebat menyambar Tongkat Jengkal Dewa. Sementara itu, satu tangannya tetap mengalirkan lima garis sinar hijau menyengat Aninda yang tertahan di udara.
Blas!
Sebelum tubuh Aninda Serunai hancur berkeping-keping oleh ilmu Lima Jeratan Terakhir, Joko Tenang memilih melepaskan tubuh Aninda. Tubuh wanita cantik itu terpental keras, lalu jatuh di lantai yang penuh batu tidak beraturan.
“Hukr!”
Aninda Serunai menyemburkan darah melalui mulutnya. Namun, ia segera berusaha bangkit.
Bdak! Begk!
“Hekh!”
Aninda Serunai kembali terkejut, ketika melihat Joko Tenang datang melesat dengan tubuh dilapisi sinar putih, kemudian menabraknya dengan keras. Tubuh Aninda Serunai terpental dan punggungnya menghantam dinding ruangan luas itu, lalu jatuh di lantai dengan tengkurap.
Aninda Serunai terdiam sejenak dalam posisi tengkurap. Tiga detik kemudian, kedua tangannya bergerak hendak bangkit.
“Nikmati hidupmu sebagai manusia tanpa kesaktian, Aninda!” seru Joko Tenang sambil menyelipkan tongkat pusaka di sabuknya. Ia lalu berbalik dan berkelebat pergi.
Alangkah terkejutnya Aninda Serunai mendengar perkataan Joko Tenang. Ia pun baru sadar bahwa ada yang berbeda pada dirinya. Ia merasakan sakit yang begitu luar biasa, lemas, seperti orang yang tidak memiliki kesaktian.
“Joko keparaaat!” teriak Aninda Serunai keras, setelah ia gagal mengeluarkan sedikit pun tenaga dalamnya.
“Joko keparaaat! Akan aku bunuh kau! Kembalikan kesaktianku!” teriak Aninda Serunai yang kembali tersadar dari pingsannya.
Pendekar Tanpa Nyawa hanya memandangi budaknya yang masih tergantung terbalik di dahan.
“Racun Mimpi Buruk sudah menyatu dengan tubuh dan otakmu. Jika tubuhmu terus kau isi dengan racun ini, sampai mengental di darah dan otakmu, maka kau tidak akan mengenal yang namanya kematian,” kata Pendekar Tanpa Nyawa sambil mulai menebalkan asap api di bawah kepala Aninda. (RH)
*Ratu Abadi (Raab)*
Setelah tiga bulan menjalani latihan fisik yang sangat berat, Aninda Serunai kemudian menjalani latihan yang menentukan.
“Jika melihat perkembanganmu dalam latihan selama tiga purnama, latihan kali ini menjadi penentu keberhasilanmu. Jika kau berhasil memunculkan kembali tenaga dalammu, maka latihan ke depannya akan menjadi lebih mudah,” kata Pendekar Tanpa Nyawa ketika Aninda akan memulai latihannya.
“Baik, Gusti Agung,” ucap Aninda Serunai.
Bentuk latihan penentu itu adalah bertahan di dalam air rebusan.
Ada sebuah kuali tanah liat berukuran jumbo yang penuh oleh air bercampur potongan-potongan kayu. Kuali itu sedang berada di atas tungku berapi besar.
Aninda Serunai lalu menanggalkan semua pakaiannya. Jangan ditanya seperti apa keindahan yang terpampang di depan mata si nenek. Untung hanya mereka berdua yang ada di pulau kecil itu. Demi mendapatkan kesaktian lagi, Aninda pun tidak mau setengah-setengah. Dia harus totalitas.
Setelah buto alias bugil total, Aninda lalu naik ke atas sebongkah batu besar yang ada di dekat tungku. Lewat batu itu Aninda bisa masuk dengan mudah ke dalam kuali besar.
Air di dalam kuali sendiri sudah mulai beruap. Aninda mengerenyit menahan panas ketika dia memasukkan kaki mulusnya ke dalam air rebusan. Saat dia berdiri di dalam kuali, ketinggian air sampai perut. Bisa dibayangkan sebesar apa kualinya. Jangan bayangkan sebesar apa yang “lain”!
Aninda Serunai lalu turun duduk bersila di dalam air hingga kepalanya pun tenggelam di dalam air. Dia pejamkan mata. Dia harus berendam di dalam air panas itu. Pendekar Tanpa Nyawa sudah menjamin bahwa Aninda tidak akan mati matang direbus.
Latihan menyelam selama mungkin di dalam air laut membuat Aninda bisa berlama-lama di dalam air. Namun yang membedakan, kali ini di dalam air panas yang semakin lama semakin mendidih.
Aninda benar-benar merasakan rasanya direbus. Di dalam air dia mengerenyit menahan rasa panas. Tidak hanya panas, tapi ada rasa lain yang dia rasakan, yaitu rasa perih yang menusuk-nusuk hingga melinukan tulang-tulangnya.
Aninda berusaha bertahan napas mati-matian di dalam panas. Ingin rasanya dia menjerit kencang, tetapi dia sedang di dalam air.
Semakin lama, Aninda mulai lemas dan hendak kehilangan kesadaran.
Hingga akhirnya, Aninda merasakan seluruh anggota tubuhnya kesemutan. Rasa itu membuat dia berubah tidak merasakan panas. Hal itu mengejutkan gadis cantik itu. Namun, dia sudah tidak kuat menahan napas.
Aninda pun mengeluarkan kepalanya dari dalam air untuk mengambil napas.
Dak!
“Akk!” pekik Aninda pendek tapi kencang, ketika kepalanya dihantam oleh satu benda keras.
Pukulan kayu yang dilakukan oleh Pendekar Tanpa Nyawa membuat Aninda kembali memasukkan kepalanya ke dalam air yang mendidih. Namun, Aninda sudah mendapat setarikan napas sebagai bekal untuk lebih lama menyelam.
“Apa yang terjadi? Aku sudah tidak merasakan panas sedikit pun. Apakah aku sudah berhasil menjadi sakti kembali?” batin Aninda. Ada rasa gembira di dalam hatinya.
Air rebusan yang telah mendidih tiba-tiba tambah bergolak. Gelembung-gelembung yang naik ke permukaan semakin besar-besar dan letupannya semakin kencang, seolah-olah api yang memasak semakin besar dan suhunya semakin tinggi. Kayu-kayu yang direbus bahkan dibuat beretakan dan hancur.
Namun, tidak seperti itu. Yang terjadi sesungguhnya adalah muncul sumber panas kedua, yaitu energi panas dari dalam tubuh Aninda. Karena itulah Pendekar Tanpa Nyawa tersenyum ketika melihat daya didih air meningkat cepat.
“Kau berhasil juga, Budak,” ucap si nenek lirih.
Kini, Aninda sudah tidak merasakan kesemutan pada seluruh tubuhnya. Yang dia rasakan seperti sedang berendam di dalam air biasa.
Rasa yang telah bertahun hilang kini kembali dirasakan oleh Aninda, yaitu rasa memiliki tenaga dalam. Dia pun segera mencoba mengolah tenaga dalamnya dengan cara yang pernah dia kuasai.
Hasilnya, dia berhasil.
Dalam posisi bersila di dalam air rebusan itu Aninda menghentakkan otot perutnya. Maka, muncullah tenaga dalam yang menyebar. Air rebusan itu terhentak naik mengudara.
Namun, Aninda terkejut. Dia merasakan ada tenaga lain yang melapisi dinding kuali sehingga hantaman tenaganya tidak mampu memecahkan kuali tanah liat tersebut.
“Hihihi!” tawa pendek Pendekar Tanpa Nyawa melihat usaha Aninda Serunai.
Gagal memecahkan kuali besar itu, Aninda Serunai kembali melakukan upaya kedua. Kali ini dia menghentakkan otot perut dan kedua lengannya.
Cprak! Krak!
Kali ini terjadi keretakan pada dinding kuali seiring banyaknya air yang terlompat ke atas dan jatuh di sekitar tungku, sekaligus memadamkan sebagian api. Namun, meski tercipta banyak retakan panjang pada dinding kuali, tetapi kuali itu tidak pecah. Itu terjadi karena kuali masih diperkuat oleh tenaga dalam titipan Pendekar Tanpa Nyawa.
Karena belum mampu membuat kuali itu hancur, Aninda kembali melakukan percobaan untuk kali ketiga. Dia kembali mengumpulkan tenaga dalamnya. Kali ini lebih besar.
Pruakr! Bruss!
Setelah Aninda menghentakkan seluruh otot tangan dan badannya, kuali itu akhirnya pecah terbelah menjadi beberapa lempengan. Air panasnya langsung tumpah ke segala sisi, membanjiri tanah.
Terlihatlah Aninda Serunai yang dalam posisi duduk bersila tanpa sehelai pun benang. Kulit wajah dan tubuhnya berwarna merah setelah direbus.
“Kau berhasil, Budak. Tidak sia-sia perjuanganmu dalam latihan selama ini,” kata Pendekar Tanpa Nyawa. “Istirahatlah. Kulitmu perlu pemulihan selama satu hari. Setelah itu, kau harus membangun seluruh kesaktianmu yang selama ini hilang.”
“Baik, Gusti Agung,” ucap Aninda Serunai yang sudah membuka kembali sepasang matanya yang kini memiliki sorotan lebih tajam, menyiratkan ambisi yang tinggi di dalam hatinya.
Singkat cerita. Empat tahun kemudian.
Boamm!
Tiba-tiba tanah Pulau Kesepian terguncang halus. Pada saat yang sama terdengar suara ledakan besar dan pada satu koordinat di tengah laut terlihat air meledak dan naik ke udara.
Akibat ledakan yang terjadi di dasar laut itu, muncul gelombang besar yang menyebar ke segala arah.
Brass!
Gelombang tinggi seperti tsunami itu berlari cepat dan menghantam pantai Pulau Kesepian. Airnya naik sampai ke halaman rumah Pendekar Tanpa Nyawa yang tepat ada di tengah pulau.
Di titik tempat terjadinya ledakan air kini telah berdiri sesosok wanita berpakaian ungu keungu-unguan. Dia berdiri di atas permukaan air laut yang bergelombang.
Sosok yang tidak lain adalah Aninda Serunai itu kemudian diselimuti sinar biru gelap yang memancar mengerikan.
Wesst!
Sosok Aninda kemudian melesat secepat lesatan anak panah di atas permukaan air laut. Dia menuju kea rah pulau. Air laut membentuk belahan yang dalam pada garis yang dilalui oleh Aninda.
Di saat melesat seperti itu, Aninda menghentakkan tangan kanannya ke araha langit. Maka muncul sembilan bola sinar kuning yang ikut terbang di sekeliling tubuh Aninda.
Zwess!
Ketika Aninda menghentakkan tangan kirinya ke arah bawah, kesembilan bola sinar itu melesat lebih cepat ke depan meninggalkan Aninda. Kesembilan sinar kuning itu melesat seperti serbuan rudal menuju Pulau Kesepeian.
Itu adalah ilmu yang bernama Hancur Sembilan Bulan. Salah satu kesaktian tinggi yang Pendekar Tanpa Nyawa miliki. Jika ilmu itu dikeluarkan oleh Aninda, berarti Pendekar Tanpa Nyawa telah menurunkan kesaktiannya tersebut.
Zwess!
Tiba-tiba dari tengah Pulau Kesepian muncul lesatan sembilan bola sinar kuning yang lain. Kelompok ini melesat cepat ke arah kedatangan sembilan sinar milik Aninda.
Bluar bluar bluar…!
Pertemuan dua kelompok sinar kuning yang serupa di atas pantai pulau itu menciptakan sembilan ledakan dahsyat yang rapat.
Tanah pulau dan air laut jadi terguncang. Di bawah posisi ledakan tercipta beberapa ledakan air yang kemudian memunculkan gelombang besar ke segala arah.
Sementara itu, tubuh Aninda yang awalnya melesat maju, jadi terpental jauh ke belakang, lalu jatuh tenggelam ke dalam air laut. Itu menunjukkan bahwa kekuatan ilmu Hancur Sembilan Bulan milik Aninda masih jauh di bawah milik sang guru sekaligus sang majikan.
Pendekar Tanpa Nyawa muncul berjalan keluar dari dalam rumahnya.
Clap!
Tahu si nenek hilang dari pandangan dan muncul berdiri di permukaan air laut, tempat Aninda timbul dari ketenggelaman.
Aninda mengerenyit menahan rasa sakit pada seluruh tubuhnya. Dia telah terluka dalam akibat dari peraduan dua kesaktian yang sama tadi. (RH)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!