"Aruna, kamu kemana saja? Kenapa lama sekali pulangnya?" tanya Vina sambil memeluk sahabatnya itu dengan erat.
"Maafkan aku Vina, sakit ku cukup parah, sehingga membutuhkan penanganan yang cukup lama di rumah sakit" terang Aruna sambil menahan rasa sakit yang ada di tubuhnya.
Vina mengangguk paham, dan melepaskan pelukannya. "Tapi sekarang kamu sudah pulang, aku berharap kamu selalu sehat seperti ini, Aruna" ucap Vina tulus sambil menatap mata sahabatnya itu.
Aruna membalasnya dengan senyum yang dipaksakan, ia tahu kalau penyakitnya tidak bisa di sembuhkan, hanya bisa di kontrol dengan pengobatan yang terus menerus.
Namun, Aruna tidak ingin menyampaikan hal tersebut kepada Vina, ia tidak ingin sahabatnya itu khawatir. "Dengan dukunganmu, aku yakin akan lebih kuat menghadapi penyakit ini," kata Aruna dengan nada optimis, berusaha menyembunyikan kenyataan pahit yang ada di hatinya.
"Kamu sudah bertemu dengan kak Gavin belum? Semenjak kepergian mu ke luar negeri, kak Gavin berubah menjadi pendiam, dia juga lebih rajin ke perpustakaan untuk membaca buku. Yang aku dengar dia juga masuk ke universitas kedokteran" ucap Vina seperti mak mak yang sedang bergosip.
"Aku sudah ketemu kok, aku juga sudah tahu kalau dia masuk ke universitas kedokteran" sahut Aruna dengan tersenyum manis.
Vina manggut- manggut sambil menempelkan jari telunjuk di dagunya. "Aku perhatikan, kan Gavin menyukai mu Aruna. Kalian begitu dekat dan sangat akrab." ucap Vina sambil menatap wajah Aruna yang bersemu merah.
Aruna bukan tidak tahu, sudah beberapa kali Gavin menyatakan cintanya, namun Aruna tidak pernah menjawabnya. Dia tidak ingin membuat laki-laki itu bersedih atas kepergiannya nanti.
"Perasaan mu saja, kami sudah berteman sejak kecil, sudah pasti kami sangat akrab" sanggah Aruna.
"Kamu benar, mungkin cuma perasaan ku saja" ucap Vina sambil menganggukkan kepalanya. Ia tidak mau bertanya lebih dalam.
Bel tanda masuk berbunyi, guru pun segera memasuki kelas dan memulai pelajaran.
Aruna, meskipun baru kembali ke sekolah setelah absen cukup lama, dengan mudah mengikuti pelajaran dan bahkan berhasil menjawab beberapa pertanyaan dari guru.
Kecerdasannya memang tak perlu diragukan lagi. Sejak dulu, keluarga Aruna menyarankan agar ia mengikuti program home schooling, mengingat kondisi kesehatannya yang tidak stabil. Namun, Aruna bersikeras untuk tetap bersekolah di sekolah yang sama dengan teman-temannya. Ia ingin merasakan kebersamaan dan persahabatan yang sebenarnya, tak ingin terisolasi dari dunia luar.
Vina, yang melihat semangat Aruna, semakin yakin bahwa perasaan buruknya tadi hanyalah perasaan saja. Ia memutuskan untuk fokus pada pelajaran dan mendukung Aruna sebaik mungkin agar sahabatnya itu bisa terus mengejar mimpi dan meraih kesuksesan bersama-sama di masa depan.
*****
Dea duduk di atas ranjang empuk di kamarnya yang mewah, dinding berwarna pastel dan lampu tidur yang menyala lembut di meja sampingnya. Matanya yang berkaca-kaca menatap layar ponsel yang dipegangnya erat-erat, berharap muncul pesan atau notifikasi panggilan dari Gavin. Namun, layar ponsel itu tetap saja kosong tanpa kabar dari lelaki yang sangat dicintainya.
Sedangkan di sisi lain, Aruna tampak ceria dan bersemangat karena dapat kembali bersekolah serta bertemu dengan teman-temannya. Aruna mengobrol dengan riang, tertawa lepas, dan menikmati kebersamaan yang terjalin di antara mereka.
Dea mencoba mengalihkan perhatiannya dari kesedihan yang dirasakannya, namun hatinya terasa berat dan perih. Air mata mulai mengalir deras di pipinya. Dia merasa hancur karena Gavin, yang selama ini dia anggap sebagai pelindung dan penyemangatnya, kini seolah menghilang tanpa jejak dan meninggalkannya dalam kepedihan.
Dalam kegelapan kamarnya, Dea berbicara pada diri sendiri, "Kenapa Gavin tidak menghubungiku? Apakah dia tidak ingin meminta maaf" Gumam Dea penuh kesedihan.
Dea merasakan sebuah kepedihan di hatinya. Ini sudah hari kedua sejak kejadian itu, namun Gavin tak juga menunjukkan tanda-tanda penyesalan atau bahkan sekedar meminta maaf saja tidak dia lakukan.
Dia menggigit bibirnya, menahan kekecewaan yang mendalam.Tak sanggup menahan air mata, Dea melempar ponselnya ke sisi lain ranjang dan menutupi wajahnya dengan bantal. Dia merasa kecewa dengan Gavin, karena sudah mengabaikannya.
Tok
Tok
Tok
Terdengar ketukan pintu yang lembut namun cukup terdengar oleh Dea yang tengah duduk di atas ranjang dengan wajah sembab akibat menangis.
"Dea, ini aku, Hanin," terdengar suara lembut Hanin dari balik pintu.
Mendengar nama sahabatnya, Dea pun segera mengusap air matanya, berusaha menyembunyikan kesedihan yang baru saja melanda hatinya. Dia lalu beranjak dari atas ranjang dan melangkahkan kakinya ke arah pintu, kemudian membukanya dengan perlahan.
Ceklek.
Di hadapan Dea, terlihat Hanin tersenyum manis sambil membawa buah-buahan yang ada di tangannya. Gadis itu ingin menjenguk Dea yang sudah sehari ini sakit dan tidak masuk kuliah.
"Dea, aku dengar kamu sakit. Jadi, aku membawakan buah-buahan ini untukmu. Semoga kamu segera sembuh, ya," ujar Hanin dengan tulus sambil menyerahkan buah-buahan tersebut kepada Dea.
Dea tersenyum tipis, mengucapkan terima kasih pada sahabatnya itu. Meskipun hatinya masih terasa pedih, namun kehadiran Hanin setidaknya mampu memberinya sedikit kebahagiaan di tengah kesedihannya. Dalam hati, Dea bersyukur memiliki sahabat sepert Hanin yang selalu ada di saat dia membutuhkan dukungan.
"Terima kasih, ayo masuk," ajak Dea dengan suara lembutnya.
Hanin mengangguk dan mengikuti langkah Dea memasuki kamar yang tertata rapi itu.
Setelah pintu tertutup, Hanin duduk di tepi ranjang sambil mengamati wajah Dea yang terlihat sembab dan lesu.
"Kamu habis nangis, De?" tanya Hanin penasaran, tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Dea menghela napas panjang, berusaha tersenyum tipis meski jelas terlihat bahwa senyumannya tak tulus. "Ah, biasa aku kalau lagi sakit memang suka cengeng," jawab Dea dengan nada berusaha santai, berusaha meyakinkan Hanin bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Namun, Hanin tahu ada sesuatu yang tidak beres. Ia melihat sorot mata Dea yang redup dan jelas mencerminkan kesedihan.
Hanin meraih tangan Dea, menatap matanya yang sembab. "De, jangan bohong. Aku tahu ada yang mengganggumu. Ceritakan padaku, mungkin aku bisa membantu," ujar Hanin lembut, menunjukkan kepedulian dan rasa ingin tahu yang tulus.
Dea menunduk, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tak sanggup lagi berbohong pada sahabatnya, dan mungkin saatnya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun Dea mengurungkan niatnya.
"Sungguh, aku tidak apa-apa, Han. Kamu tidak perlu khawatir" ucap Dea mencoba meyakinkan sahabatnya itu.
Hanin menghela nafas pelan, dan mengangguk. Dia tidak ingin memaksa Dea untuk bercerita.
"Nanti kalau ada apa-apa cerita saja, tidak perlu sungkan" ujarnya.
Dea mengangguk sambil tersenyum, "Terima kasih, Han. Kamu memang sahabat terbaikku" ucap Dea sambil memeluk tubuh Hanin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Pasrah
smg Aruna bisa mendapatkan pertolongan dari orang yg suka rela mendonorkan hati nya ya,
2024-07-07
1
Pasrah
aduh 😇😇😇 banget bacanya, semua gara "cinta yg tak terbalaskan 🤣🤣🤣
2024-07-07
0