Gavin dan Dea kini semakin sering menghabiskan waktu bersama. Mereka berdua sering tertawa dan berbagi cerita, namun hati Gavin tetap tertuju pada Aruna yang selalu menghiasi pikirannya.
Dea, yang sadar akan perasaan Gavin, tidak pernah menyerah dan terus berusaha mendapatkan hati pria itu. Hari ini, mereka berdua duduk di sebuah taman sambil menikmati angin sore yang sejuk. Dea menatap wajah Gavin dengan penuh harap, sementara Gavin tampak asyik dengan pesan yang baru saja diterimanya.
"Gavin, apa kamu tidak pernah melihatku sebagai lebih dari sekadar teman?" tanya Dea dengan nada yang penuh harap.
Gavin menoleh ke arah Dea dan tersenyum, "Dea, kamu adalah teman yang sangat baik. Aku merasa nyaman bersamamu, tapi..." ucapnya sambil menarik nafas, "cinta yang aku rasakan hanya untuk Aruna." ucapan Gavin terdengar tidak perasaan, namun begitulah yang sebenarnya ia rasakan. Ia hanya menganggap Dea sebagai teman, tidak lebih.
Dea menggigit bibirnya, menahan rasa kecewa yang kian menggelayut di hatinya. Namun, dia tidak menunjukkan perasaannya itu kepada Gavin. "Baiklah, Gavin. Aku mengerti," jawab Dea dengan senyuman yang dipaksakan.
Mereka melanjutkan percakapan dengan topik yang lebih ringan, namun Dea tidak bisa menyembunyikan rasa sakit yang dirasakannya. Meski begitu, dia bertekad untuk terus mendekati Gavin, karena bagi Dea, cinta bukanlah sesuatu yang bisa diberikan begitu saja. Dia yakin bahwa suatu hari nanti, Gavin akan melihat betapa tulusnya perasaan yang ada di hati Dea, dan mungkin saja, pria itu akan berbalik mencintainya.
"Kenapa kamu kuliah kedokteran De? Bukannya kamu takut melihat darah" Tanya Gavin memberanikan diri.
Dea menghela nafas panjang, seolah merasa lelah dengan pertanyaan yang sama dari Gavin. "Aku memang tidak menyukai darah, namun demi mama aku rela melawan apa saja termasuk trauma ku itu," ucap Dea dengan nada lembut namun tegas.
Di dalam hatinya, Dea merasa bersalah karena kembali berbohong pada Gavin. Namun, dia merasa tak mampu mengungkapkan alasan sebenarnya mengapa dia memilih jurusan kedokteran. Dia selalu menggunakan nama mamanya sebagai alasan, karena dia tahu Gavin akan mengerti betapa pentingnya mama bagi Dea.
"Gav, ayo naik ayunan itu?" ajak Dea mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju ayunan yang terletak di tepi taman.
Ekspresi wajahnya berubah ceria, seolah trauma dan kebohongannya tadi telah terlupakan. Gavin mengikuti langkah Dea dengan rasa penasaran yang semakin besar. Namun, dia tahu bahwa Dea pasti memiliki alasan tersendiri mengapa dia memilih jurusan kedokteran. Mungkin suatu saat nanti, Dea akan menceritakan alasan sebenarnya pada Gavin. Untuk saat ini, Gavin memutuskan untuk menikmati waktu bersama Dea dan melupakan pertanyaan yang mengganjal di benaknya.
Dea tersenyum malu-malu saat mendengar ucapan Gavin, "Naiklah, aku akan mendorongnya."
Dengan perasaan gembira, Dea naik ke atas ayunan yang ada di taman bermain itu, merasa bahagia karena diajak bermain oleh Gavin yang ia sukai.
Setelah Dea duduk dengan nyaman di atas ayunan, Gavin berdiri di belakangnya dan mulai mendorong ayunan perlahan. Dengan setiap dorongan, ayunan semakin tinggi, membuat Dea merasa terbang bebas di udara.
Gavin menatap Dea dengan penuh perhatian, tersenyum melihat ekspresi gembira di wajah Dea. Tak lama, ayunan berayun semakin tinggi, membuat Dea terpekik kaget namun seketika itu juga tertawa lepas. Rambutnya yang panjang bergerai, terbawa angin saat ia semakin tinggi terayun.
Suara tawanya yang merdu membuat Gavin semakin semangat mendorong ayunan. Gavin dan Dea melupakan sejenak kepenatan yang mereka rasakan sebelumnya, tenggelam dalam keceriaan bersama di taman bermain itu. Di antara ayunan yang semakin tinggi dan tawa yang tak henti-henti, keduanya merasakan kebahagiaan yang tak tergantikan, sembari menikmati kebersamaan mereka berdua dalam waktu singkat yang mereka miliki.
Gavin menghentikan kegiatan, dia mendudukkan tubuhnya di ayunan yang berada di samping Dea.
Dea dan Gavin saling melirik satu sama lain, senyum merekah di wajah mereka. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah Dea, membuat rambutnya yang panjang tergerai lembut.
"Besok kita kesini lagi ya, Gav" ajak Dea antusias, matanya berbinar, ia merasa senang dapat bermain ayunan dengan Gavin.
Gavin tersenyum melihat antusiasme Dea, mengangguk lalu menjawab, "Baiklah, besok setelah pulang kuliah kita ke sini lagi."
Mendengar ucapan Gavin, Dea pun bersorak girang, tangannya diayun ke atas. Dia seakan melupakan perasaannya yang sakit oleh pria itu. Hatinya kembali hangat, merasa bahagia karena bisa menghabiskan waktu bersama Gavin di taman ini. Mereka terus berayun, tertawa bersama, menikmati indahnya sore itu.
Dea merasa seolah semua beban di hatinya hilang, digantikan dengan kebahagiaan yang meluap-luap. Di taman itulah, Dea dan Gavin menemukan kembali kenangan indah mereka, melebur dalam senyuman dan tawa.
*****
Aruna berjalan di antara kedua orang tuanya dengan wajah sumringah, tangannya yang mungil menggenggam erat tangan mereka. Diiringi langkah pasti, ketiganya memasuki bandara yang ramai oleh para penumpang yang berlalu-lalang.
Mata Aruna bersinar cerah, menunjukkan kebahagiaan yang tak terbendung saat akhirnya bisa kembali ke tanah kelahirannya.
"Kita akhirnya bisa pulang, ya ayah, bunda?" tanya Aruna dengan nada gembira, matanya berkaca-kaca menahan air mata kebahagiaan.
Orang tuanya tersenyum hangat, mengelus kepala gadis cantik itu dengan penuh kasih sayang. "Iya, Sayang. Kita sudah rindu sekali dengan rumah kita," jawab Dera, mencoba menahan air matanya sendiri.
Sang ayah mengangguk, menyeka sudut mata dengan jari tangannya. Selama sebulan ini, kondisi Aruna memang sudah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Berkat perawatan yang intensif dan dukungan penuh dari orang tua serta kerabat terdekatnya, gadis itu kini bisa tersenyum lagi. Dokter pun akhirnya mengizinkan Aruna untuk pulang, dengan catatan harus rutin kontrol setiap satu bulan sekali.
Saat Aruna dan orang tuanya melangkah masuk ke area check-in, mereka disambut oleh keramaian penumpang yang juga hendak terbang ke berbagai tujuan. Aruna tak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat menyadari bahwa sebentar lagi mereka akan tiba di rumah yang sudah lama ditinggalkan. Hatinya berbunga-bunga, menggumamkan doa agar perjalanan kali ini berjalan lancar dan tanpa halangan. Ia tidak sabar untuk segera bertemu kembali dengan keluarga, teman-teman, dan segala kenangan indah yang pernah ia tinggalkan di tanah kelahirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
kalea rizuky
penyakitan sih
2024-07-18
1
Sani Srimulyani
cepet sembuh aruna.
2024-07-07
1
Pasrah
di tunggu lanjutannya, tapi mau Aruna sehat dan sembuh
2024-07-04
1