Dea memperhatikan dengan saksama, berulang kali memastikan bahwa formulir pendaftaran yang dia pegang benar-benar untuk universitas yang sama dengan tempat Gavin kuliah. Dengan hati berdebar, ia menyerahkan formulir tersebut kepada petugas pendaftaran. Dea wanita yang cerdas, tidak sulit baginya masuk kedalam universitas yang sama dengan Gavin.
"Apakah ini benar-benar universitas yang sama dengan tempat Gavin kuliah?" tanya Dea dalam hati, seakan khawatir salah memilih tempat.
Tanpa sepengetahuan Gavin, Dea rela mengubur mimpinya yang sebenarnya untuk bisa kuliah di jurusan yang diidamkannya demi dekat dengan pria tersebut. Ia bahkan tak pernah menceritakan rencananya ini kepada sahabatnya, karena ingin menjaga agar semuanya berjalan sesuai keinginannya.
Hari pertama perkuliahan, Dea berjalan di koridor kampus dengan gugup. Ia melirik ke sekelilingnya, berharap bisa bertemu dengan Gavin. Namun, tak ada tanda-tanda kehadiran pria itu. Dea menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan rasa kecewanya. Ketika Dea duduk di bangku kuliah, ia tak bisa fokus pada materi yang disampaikan dosen. Pikirannya melayang ke Gavin, dan bagaimana ia berharap bisa melihat wajah pria itu di kelas yang sama dengannya.
Dea menatap jendela, menahan rasa sedih yang mulai menyelimuti hatinya. Akhirnya, saat istirahat, Dea melihat Gavin di kejauhan. Pria itu tertawa dengan teman-temannya, tampak begitu bahagia. Dea tersenyum lemah, merasa senang melihat Gavin begitu bahagia meski tahu dirinya tak ada dalam hidup pria itu. Ia hanya ingin tetap dekat dengan Gavin, walaupun harus mengorbankan mimpinya sendiri.
Sampai sekarang Dea tidak berani mengungkapkan perasaannya kepada Gavin, ia takut pria itu akan marah dan pergi menjauhinya.
"Gavin" panggil Dea setelah melihat teman-teman Gavin pergi.
Gavin menoleh, dia terkejut melihat Dea berada di universitas yang sama dengannya. "Kamu kuliah di sini juga, De" tanya Gavin seraya melangkah mendekati gadis itu.
"Iya Gav, mami ingin aku menjadi dokter," jawab Dea berbohong, bukan maminya, tapi dia lah yang selalu ingin lebih dekat dengan Gavin.
Gavin mengangguk, ia percaya dengan ucapan gadis itu. Tidak ada sedikit pun ia curiga dengan niat Dea yang sebenarnya. Mata Dea terlihat bersinar saat Gavin mempercayai perkataannya.
"Ini kado untukmu, mumpung kita bertemu di sini," ucap Gavin seraya mengeluarkan sebuah kotak kecil berpita merah dari dalam tasnya.
Dea merasa jantungnya berdebar kencang, tak menyangka akan mendapatkan kado dari Gavin.
Pria itu menepati janjinya ingin memberikan kado kepada Dea, sebagai tanda terima kasih atas hadiah yang Dea berikan kemarin.
"Terima kasih, Gav. Aku sangat senang," kata Dea sambil menerima kado itu dengan tangan gemetar.
Ia menatap kotak itu dengan penuh harap, berharap ada sesuatu yang istimewa di dalamnya.
Gavin tersenyum melihat reaksi Dea, "Semoga kamu suka ya, De. Aku memilihnya khusus untukmu," ucapnya dengan lembut.
Dea menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan senyum bahagia yang meluas di wajahnya. Kini, ia merasa semakin yakin bahwa segala usaha dan kebohongannya selama ini akan membawanya semakin dekat dengan Gavin, pria yang selama ini ia impikan.
"Aku pasti menyukainya" ucap Dea meskipun belum mengetahui isi kado tersebut. Baginya, segala sesuatu yang berhubungan dengan Gavin pasti dia akan menyukainya.
Dea dan Gavin duduk berdampingan di bangku taman kampus yang tertutup dedaunan rindang. Dea terlihat begitu bahagia, senyumannya berbinar dan tawa riangnya menambah suasana hangat di antara mereka.
Namun hal itu tidak membuat Gavin terpesona sedikitpun dengan gadis itu, ia hanya menganggap Dea sebagai teman, tidak lebih.
"Bagaimana kalau besok kita nonton, ada film baru yang tayang di bioskop. kamu pasti menyukainya," ajak Dea dengan penuh semangat. "Film action," jawab Dea singkat, matanya berbinar penuh antusiasme.
Gavin diam sejenak, mencoba menimbang tawaran Dea. Setelah berpikir Akhirnya, Gavin mengangguk pelan, tersenyum lembut pada Dea. Tidak ada salahnya menerima ajakan gadis itu, toh mereka berdua sudah berteman sejka mereka masih kecil.
"Baiklah, besok kita nonton film action itu. Aku penasaran dengan film yang kamu rekomendasikan," ujar Gavin, membuat Dea bersorak girang. Keduanya melanjutkan obrolan di bangku taman tersebut, tertawa dan saling berbagi cerita, merajut kenangan indah bersama di tengah kehangatan sore yang beranjak menjelang senja.
Matahari telah mulai tenggelam, sinar senja yang berwarna jingga menerangi langit. Gavin dan Dea masih terdiam di bangku taman yang ada di dalam kampus, terlarut dalam obrolan panjang yang tak terasa menguras waktu mereka. Mereka tak menyadari bahwa kampus telah sepi dari aktivitas mahasiswa lainnya.
"Sudah sore, ayo pulang. Kampus juga sudah lumayan sepi," ucap Gavin dengan nada khawatir.
Dea menoleh ke arahnya dan tersenyum, menunjukkan bahwa dia setuju dengan saran Gavin.
"Ayo," ajak Dea seraya bangkit dari tempat duduknya, menggenggam tasnya yang tergeletak di sampingnya.
Gavin mengangguk, lalu ikut berdiri. Keduanya mulai melangkah keluar dari taman, berjalan beriringan sambil sesekali menoleh satu sama lain, tersenyum simpul.
Angin sore yang berhembus semilir menambah kenyamanan suasana, membuat Dea merasa hangat meski suasana kampus telah sunyi. Mereka terus berjalan, melewati beberapa gedung perkuliahan yang telah kosong.
"Kenapa?" tanya Gavin heran melihat Dea yang tiba-tiba menghentikan langkahnya. Wajah Dea tampak ragu dan bimbang, membuat Gavin penasaran akan isi hati gadis itu.
"Kita berpisah di sini saja ya, aku tidak bawa mobil," ucap Dea sambil menatap ke arah jalan yang mulai sepi. Senja perlahan menjelang, membuat langit berubah warna menjadi jingga keemasan.
"Sudah mau gelap, aku antar pulang saja," ucap Gavin dengan nada penuh kekhawatiran. Dia tidak tega membiarkan gadis itu naik taksi sendirian, apalagi melihat ekspresi cemas di wajah Dea.
"Tidak usah, Gav, nanti merepotkanmu," ucap Dea sambil tersenyum tipis, berusaha menutupi perasaan gembira yang mulai menjalar di hatinya. Namun, di balik senyum itu, matanya bersinar karena merasa diperhatikan oleh pria yang selama ini ia kagumi.
"Aku tidak repot kok, aku senang bisa mengantarmu," ucap Gavin dengan tulus, menambah keyakinan Dea bahwa pria itu memang tulus ingin menjaganya.
Dea merasa lega saat Gavin mengatakan bahwa dia tidak repot dan senang bisa mengantarnya. Dari nada suaranya yang tulus dan ekspresi wajahnya yang ikhlas, Dea berpikir Gavin benar-benar ingin menolongnya. Ia tidak berani berekspektasi yang terlalu tinggi, karena takut kecewa.
Mereka berdua berjalan menuju parkiran, di mana Gavin menunggu di samping motornya. Gavin menaiki motornya, kemudian menyalakan mesinnya dengan tenang. Setelah itu, dia melihat Dea dan mengangguk, memberikan isyarat agar Dea naik ke belakang motornya.
"Naiklah," ucap Gavin dengan senyum yang hangat.
Dea mengangguk dan perlahan menaiki motor, berpegangan erat pada bahu Gavin untuk menjaga keseimbangannya. Setelah memastikan bahwa Dea sudah siap, Gavin mulai melaju perlahan meninggalkan area kampus, melintasi jalan-jalan yang sepi dan penuh tumbuhan.
Seiring dengan laju motor, angin yang menerpa wajah mereka berdua membawa perasaan kebahagiaan dan kedamaian di hati Dea. Dia merasa aman dan nyaman bersama Gavin, seperti melupakan semua masalah yang ada di dunia ini. Di saat-saat seperti ini, Dea merasa bahwa hidup memang indah dan penuh harapan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
kalea rizuky
Aruna mati apa+
2024-07-18
0
Ita Rosdiana
lanjuutt ka
2024-07-02
1
syarifah fadlun
ini kenapa lama kali lanjut cerita nya
2024-07-02
1