Matahari telah terbenam, langit mulai dipenuhi dengan awan hitam pekat. Dea menatap keluar jendela rumah Gavin dengan raut wajah cemas. Ia sudah menunggu begitu lama, namun sosok yang ia tunggu tak kunjung datang. Merasa tidak enak hati, Dea akhirnya memutuskan untuk pulang.
"Saya pulang dulu ya tante, sudah mau gelap," ucap Dea dengan nada yang penuh penyesalan.
Alisya, tersenyum tipis sambil mengangguk. "Maaf ya, tante juga tidak tahu Gavin pergi kemana, sampai sekarang belum pulang-pulang. Nanti kalau dia pulang tante sampaikan ya," ucap Alisya dengan suara lembut.
Dea menghela nafas, menundukkan kepalanya, dan berusaha tersenyum. "Terima kasih, tante. Selamat malam," ucapnya dengan suara berat.
Alisya mengantar Dea hingga ke pintu, dan keduanya saling melempar senyum simpul sebelum Dea melangkah keluar dari rumah Gavin. Dalam hati, Dea merasa kecewa dan bingung mengapa Gavin begitu lama tidak pulang. Ia berjalan pelan, merenungi perasaannya yang campur aduk, sembari mencoba menebak apa yang mungkin terjadi pada Gavin.
Tak lama setelah kepulangan Dea, Gavin pulang kerumah.
"Kamu kemana saja? Kenapa baru pulang" tanya Alisya.
"Habis cari buku ma, Memangnya kenapa? Kan kata mama, aku harus lebih banyak jalan-jalan," tanya Gavin heran.
Alisya menepuk keningnya, bingung dengan niatan Gavin yang hanya ingin fokus pada studinya. Meski begitu, dia mencoba memberikan saran lain untuk menghabiskan waktu luangnya. "Tapi, nggak harus selalu nyari buku. Coba sesekali ngopi atau nongkrong di tempat lain," usul Alisya sambil tersenyum lemah.
Gavin hanya mengangkat bahu, tak peduli dengan usulan sang ibu. Baginya, mewujudkan mimpinya menjadi seorang dokter adalah hal yang paling penting. Dia tak ingin membuang waktu dengan hal-hal yang tak ada hubungannya dengan cita-citanya.
Dengan langkah mantap, Gavin melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Alisya yang masih berdiri di tempat. Tiba-tiba, suara ibunya memanggil namanya membuat langkah Gavin terhenti. "Gavin, tunggu sebentar! tadi Dea datang kemari, dia membawakan mama kue juga teriak sang ibu.
Gavin menoleh, menatap sang ibu dengan tatapan yang rumit. "Untuk apa dia datang kemari?" tanya Gavin dengan nada datar.
"Hanya main, kamu kan dari dulu selalu satu kelas dengannya," ucap Alisya, ibu sambil tersenyum.
Memang benar, sejak kecil Gavin dan Dea selalu satu sekolah. Mereka selalu duduk di kelas yang sama, bahkan sering terlibat dalam kegiatan yang sama. Namun, sekarang entah mengapa, Gavin seakan merasa anti dengan gadis itu. Dia tak ingin berhubungan dengan Dea lagi.
Gavin menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Lain kali kalau datang lagi, jangan diterima, mam," pesan Gavin dengan nada tegas, lalu berlalu meninggalkan sang ibu yang terlihat bingung dengan sikap anaknya.
Sementara itu, di dalam hati Gavin, pertanyaan-pertanyaan terus menggelayuti pikirannya. Mengapa Dea tiba-tiba datang ke rumahnya? Apakah ada maksud tersembunyi di balik kedatangannya? Semakin Gavin mencoba mencari jawaban, semakin rasa ketidaksukaannya terhadap Dea tumbuh. Dia tak tahu mengapa, tapi dia merasa ada sesuatu yang salah dengan gadis itu. Dan satu hal yang pasti.
Alisya menatap punggung Gavin yang kian menjauh. Ia merasa sesak di dada, tak menyangka ternyata begitu besar pengaruh Aruna bagi putranya itu.
Sejak Aruna pergi, Gavin berubah menjadi sosok yang pendiam dan lebih sering mengurung diri di kamarnya. Di tengah lamunannya, Alisya teringat akan momen-momen indah yang pernah mereka lalui bersama. Wajah Gavin yang ceria saat Aruna masih ada, terbayang jelas dalam ingatannya. Namun, kini senyum itu telah hilang, digantikan oleh raut wajah yang murung dan kosong.
Alisya pun memutuskan untuk mengumpulkan semua anak dan cucunya pada akhir pekan ini. Ia ingin menciptakan suasana yang hangat dan penuh kebahagiaan, dengan harapan bisa membantu Gavin untuk merasakan keceriaan kembali.
Saat hari yang ditunggu tiba, Alisya sibuk menyiapkan berbagai hidangan dan dekorasi rumah. Ia mengundang anak-anak dan cucunya untuk datang dan bersantap bersama. Gavin, yang awalnya enggan, akhirnya mau mengikuti acara tersebut. Suasana yang hangat dan penuh kebahagiaan berhasil tercipta, membuat Gavin sedikit demi sedikit membuka diri dan tertawa bersama keluarganya.
Meski hatinya masih merasa kehilangan, namun dukungan dan kasih sayang dari keluarga membuatnya merasa lebih baik. Alisya tersenyum bahagia, melihat putranya mulai kembali ceria seperti dulu. Ia tahu, perjalanan Gavin untuk menunggu Aruna masih panjang dan berat. Namun, setidaknya saat ini ia merasa lega telah berhasil membawa kebahagiaan kembali dalam keluarga mereka.
"Jangan galau telus om, kemalin anak ayam tetangga Lion mati gala-gala yang puna seling galau" ucap Orion dengan mulut yang penuh dengan makanan. "Lebih baik ikut Olion, cali cewek-cewek tantik. Iya kan dad" ucap Orion cari dukungan sang ayah.
"Benar boy" ucap Ravin sambil mengacungkan dua jempolnya membenarkan ucapan sang putra.
Yang mana langsung mendapatkan pelototan dari Jihan, istri Ravin.
"Bercanda sayang" cengir Ravin sambil mencium pipi sang istri.
"Anak sama bapak sama saja, sama-sama ngga punya akhlak," ujar Gavin dengan nada sinis.
Ravin, yang sedang duduk di sofa sambil menatap ke luar jendela, sontak menoleh ke arah Gavin. "Ck, daripada kamu, baru di tinggal Aruna aja sudah seperti raga tanpa jiwa. Mending kalau statusnya jelas, nah ini pacaran aja belum sudah galau," balas Ravin, mencoba melawan ejekan adiknya.
Rachel yang sedari tadi hanya diam, akhirnya ikut meledek Gavin. "Apalagi kalau nanti Aruna pulang bawa pacar baru. Bisa-bisa b*nuh diri tuh," timpal Rachel dengan tawa nistanya.
Gavin mendengkus kesal mendengar ejekan kakak kakaknya. Tangannya mengepal erat, menahan amarah dan juga rasa malu. Ia berusaha menahan diri agar tidak meledak dan melontarkan kata-kata kasar kepada kakak-kakaknya. Di dalam hatinya, ia berharap Aruna segera kembali dan membuktikan bahwa semua ejekan itu salah.
"Ravin, Rachel, jangan begitu. Nanti adikmu semakin sedih," tegur Alisya yang merasa kasihan melihat Gavin, putra bungsunya, semakin murung.
Namun, Ravin dan Rachel malah menanggapi teguran ibu mereka dengan tawa cekikikan. Mereka memang gemar mengerjai adiknya itu sejak kecil.
Gavriel menundukkan kepalanya, merasa sedih dan tertekan oleh sikap kakak-kakaknya. Di saat seperti ini, untunglah ada Revan, kakak tertua yang selalu membela dan memberikan dukungan padanya.
"Sudah Gav, jangan dengarkan omongan mereka. Sekarang, kamu fokus saja pada sekolahmu, terutama jika kamu ingin mengambil jurusan kedokteran," ucap Revan dengan bijak. "Menjadi dokter itu tidak mudah, kamu harus pintar agar tidak salah mendiagnosa suatu penyakit."
Gavin mengangguk, merasa bersemangat mendengar nasihat kakaknya. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan terus bekerja keras dan membuktikan pada kakak-kakaknya yang lain bahwa dia bisa menjadi dokter yang hebat suatu hari nanti.
Dari semua anak Alisya dan Arsen, hanya Revan lah yang paling mendingan, tidak gesrek seperti yang lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Nanie Sumarni
Gavin paling dekat dengan Chery ? kok chery enggk ada ?
2024-06-24
1
Pasrah
kenapa cuma ada si kembar Reva dan yg lain kemana ya kok gak ada dalam acara keluarga nya
2024-06-24
1
Pasrah
kenapa cuma ada si kembar Reva dan yg lain kemana ya kok gak ada dalam acara keluarga nya
2024-06-24
1