Tok
Tok
Tok
Suara ketukan pintu menggema di rumah Gavin, tiga kali berturut-turut. "Assalamualaikum," ucap seorang wanita yang mengetuk pintu rumah Gavin dengan lembut.
Tak lama kemudian, Gavin datang membukakan pintu untuk wanita tersebut. Suara pintu terbuka terdengar nyaring.
Ceklek...
Mata Gavin terbelalak ketika melihat siapa yang datang ke rumahnya. Tubuhnya mematung, dan lidahnya terasa kelu. Ia tidak menyangka orang yang ia tunggu selama ini, kini berada di hadapannya.
"Kak Gavin," panggil wanita itu dengan suara lembut namun sedikit gugup. Wanita itu tak lain adalah Aruna, gadis yang selama ini di nanti kehadirannya oleh Gavin.
Gavin merasa jantungnya berdegup kencang, ia mencoba untuk tetap tenang dan menjaga ekspresi wajahnya agar tidak terlihat terlalu terkejut.
"Ayo, masuk dulu. Kita bicara di dalam," ajak Gavin dengan suara yang berusaha untuk tetap stabil.
Aruna mengangguk, lalu melangkah masuk ke dalam rumah Gavin. Aruna duduk di sofa ruang tamu, tubuhnya terlihat tegang dan tak nyaman. Senyuman tipis di wajahnya seolah menutupi kesedihan yang tersembunyi di dalam hatinya.
Gavin, yang tak ingin meninggalkan Aruna sendirian, membatalkan niatnya untuk keluar dan memilih duduk di sebelahnya.
Suasana di ruang tamu terasa hening, Gavin masih merasa canggung dengan gadis itu setelah sekian lama tidak pernah bertemu.
Aruna memecah keheningan dengan pertanyaan yang tak terduga, "Kak Gavin kuliah dimana?"
Gavin menelan ludah, merasa terkejut dengan pertanyaan yang diajukan Aruna. Ia mencoba menjawab dengan sekenanya, "Oh, aku kuliah di Universitas B, jurusan kedokteran"
Aruna mengangguk, wajahnya masih tampak muram. Keduanya terdiam kembali, terbenam dalam suasana yang semakin canggung dan menyakitkan.
Gavin pun berusaha mengalihkan pembicaraan, "Aruna, bagaimana kabarmu? kamu kemana saja selama ini?" tanya Gavin.
Aruna menunduk, air mata mulai menggenang di sudut matanya. Ia berusaha mengusapnya tanpa Gavin menyadari, namun Gavin yang peka segera mengetahuinya. Ia meraih tangan Aruna, berusaha memberikan dukungan dan kehangatan yang mungkin sangat dibutuhkan gadis itu saat ini.
"Aku baik, Kak," gumam Aruna, mencoba tersenyum meski air matanya masih berkumpul di sudut matanya.
"Tapi aku tidak tahu sampai kapan aku akan bertahan di dunia ini."
Gavin merasa hatinya teriris mendengar pengakuan itu.
"Selama ini bunda membawaku ke Jerman, untuk mengobati penyakitku, tapi semakin hari bukannya membaik malah semakin memburuk," lanjut Aruna, suaranya penuh dengan keputusasaan.
Gavin menghela nafas panjang, sambil menatap iba ke arah gadis itu. "Maaf, sebenarnya kamu sakit apa?" tanya Gavin memberanikan diri, selama ini ia penasaran dengan penyakit yang diderita Aruna.
"Sirosis," jawab Aruna dengan suara serak, seolah-olah dia telah kehilangan harapan. D
ia menundukkan kepalanya, seakan mencoba menyembunyikan kesedihan yang tak terkendali.
Gavin mencengkram tangannya erat-erat, mencoba memberikan dukungan sebisa mungkin. "Kamu harus tetap kuat, Aruna. Aku yakin ada jalan keluar untuk penyakitmu ini," ucap Gavin, mencoba menyuntikkan semangat pada gadis yang kini tampak begitu rapuh di hadapannya.
Namun Aruna hanya menggeleng lemah, tak mampu menemukan kekuatan untuk mempercayai kata-kata Gavin. "Terima kasih, Kak," bisiknya lirih, sebelum memalingkan wajahnya, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya.
"Ayo jalan-jalan, aku rindu kebersamaan kita dulu," ajak Gavin untuk mengalihkan perasaan Aruna yang sedang sedih.
Mendengar ajakan Gavin, Aruna mengusap air matanya dan tersenyum tipis. "Kakak merindukan ku?" tanya Aruna dengan nada lemah.
"Tentu saja," jawab Gavin sambil mengacak rambut Aruna gemas.
"Kita pergi ke taman komplek, yuk. Seperti dulu, saat kita sering bermain bersama di sana." lanjutnya.
Aruna mengangguk pelan, lalu tersenyum lebar. "Baiklah, Kak. Ayo kita pergi sekarang juga!" sahutnya semangat.
Gavin tersenyum lega, melihat Aruna yang mulai ceria kembali. Kemudian mereka berdua tertawa bersama, suara tawa mereka memenuhi ruang tamu yang semula sunyi.
Alisya yang mendengarnya dari ruang tengah, merasa penasaran dan melangkahkan kakinya menuju ke ruang tamu. Dia melihat Aruna dan Gavin sudah bersiap-siap untuk pergi, lalu tersenyum senang melihat kebahagiaan mereka berdua.
"Pantas saja dia tertawa lepas, ternyata gadis impiannya sudah kembali" gumam Alisya melihat sinar kebahagiaan di raut wajah putranya.
Ekhem.....
Tiba-tiba terdengar suara batuk-batuk yang cukup keras, membuat Aruna dan Gavin langsung menoleh ke sumber suara.
Di hadapan mereka berdiri Alisya dengan senyum simpul di wajahnya. "Aruna, kapan pulang nak?" tanya Alisya dengan nada ramah.
Aruna yang sedikit kaget kemudian berdiri, mendekati Alisya dan mencium punggung tangan wanita itu dengan sopan. "Kemarin, Tante," jawab Aruna dengan rona malu-malu di wajahnya.
"Syukurlah, kalau kamu sudah kembali. Jadi anak Tante tidak galau lagi," sindir Alisya sambil melirik ke arah Gavin yang masih duduk di kursi.
Gavin yang menyadari bahwa ibunya sedang membahas tentang perasaannya selama Aruna pergi, langsung melototkan matanya, ia berharap mamanya itu tidak membuka rahasianya lebih jauh.
Namun, Alisya hanya tersenyum puas melihat reaksi anaknya.
"Kami pergi dulu mam" pamit Gavin.
Pria itu mendekati Aruna dan menarik tangannya. "Ayo Aruna" ajak Gavin menghindari ucapan mamanya lebih jauh.
*******
Di sebuah taman yang indah, Dea duduk di bangku panjang dengan ekspresi termenung. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan tergerai, mengikuti tiupan angin lembut yang bertiup. Daun-daun pohon yang rindang menambah keindahan taman tersebut, namun keindahan alam ini tidak mampu menghibur hati Dea yang sedang diliputi kecemasan.
Gavin, pria yang ia cintai, seharusnya sudah datang menemuinya setelah pulang ke rumahnya untuk mengambil sesuatu. Namun, matahari sudah bergeser ke barat, menandakan waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, tapi Gavin belum juga muncul.
Dea menggenggam erat ponselnya, cemas dan gelisah. Ia mencoba menghubungi nomor Gavin, menekan tombol hijau dengan harapan mendengar suara pria itu segera. Namun, beberapa kali mencoba, panggilan itu tidak diangkat.
"Mungkin Gavin terkena macet," gumam Dea, mencoba untuk berpikir positif meskipun di dalam hatinya ia merasa tidak enak.
Langit sore itu mulai berubah menjadi kehitaman, awan-awan gelap bergulung menghiasi cakrawala. Dea tetap setia duduk di bangku taman, menunggu kedatangan seseorang yang begitu ia cintai.
Wajahnya tampak pucat, dan matanya berkaca-kaca, menahan kekhawatiran yang kian menjadi-jadi. Tiba-tiba, hujan turun dengan derasnya, mengguyur tubuh Dea tanpa ampun. Ia berlari-lari kecil mencari tempat berteduh, namun sia-sia. Hujan yang begitu lebat membuat pakaian dan rambutnya basah kuyup.
Air mata yang tertahan kini bercampur dengan butiran hujan, sulit membedakan mana yang merupakan kesedihan dan mana yang merupakan air hujan. Dea merasa kedinginan, menggigil, dan jantungnya berdebar kencang. Namun, ia tetap tidak mau menyerah, terus mencari tempat yang aman untuk melindungi diri dari hujan badai yang melanda. Di tengah keputusasaan, pikirannya terus mengkhawatirkan orang yang ia tunggu, berharap ia baik-baik saja dan segera datang menemui Dea.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
viole bamz
aku mikir nanti dea yg donorin hatinya buat sih aruna, ada cinta ada pengorbanan
2024-07-07
0
viole bamz
aku mikir nya nnti dea yg donorin hatinya buat sih aruna, ada cinta pasti ada pengorbanan/Silent/
2024-07-07
0
Pasrah
kasian banget Aruna smg ada keajaiban dia bisa sembuh dari penyakitnya ya thor, dan author lah yg bertanggung jawab OK 💪💪💪
2024-07-06
3