Satu tahun kemudian.
Seiring berjalannya waktu, satu tahun telah berlalu sejak Aruna pergi tanpa kabar. Seakan ingin menutupi rasa kehilangan yang mendalam, Gavin berusaha keras untuk bangkit dan kembali menemukan semangat hidupnya.
Kini, senyum ceria yang dulu sering menghiasi wajah Gavin perlahan mulai kembali. Tawa yang dulu sempat hilang ditelan kesedihan, kini terdengar lagi menggema di ruangan. Tak lagi terlihat sosok Gavin yang dulu sering termenung dalam kesendirian, terlarut dalam pikiran-pikiran yang tak pasti. Gavin, yang dulunya sering terlihat galau dan pendiam, seakan telah menemukan jalan keluar dari labirin kesedihan yang sempat menjeratnya. Entah bagaimana, lelaki itu seolah telah berhasil mengatasi rasa kehilangan yang memilukan, dan mulai terbiasa tanpa kehadiran Aruna.
Matahari pun terus bersinar, mengajarkan Gavin untuk terus maju dan menjalani hidup ini. Beban berat yang sempat menghimpit hatinya kini telah berkurang, memberi ruang untuk semangat dan harapan baru. Namun, di sudut hati yang paling dalam, mungkin hanya Gavin yang tahu betapa dia masih merindukan Aruna.
Seperti seutas benang yang tak terputus, kenangan tentang Aruna tetap tersimpan rapi dalam kotak memori Gavin. Dan meski senyuman kini telah kembali terukir di wajahnya, hingga kini Gavin masih menantikan kabar dari Aruna. Sebuah harapan yang terus membara, bahwa suatu hari nanti, mereka akan bertemu lagi. Ia juga masih berambisi menjadi seorang dokter demi gadis yang di cintainya itu.
*
*
Tepat pada hari ini, Gavin bersama teman-temannya berjalan menuju gedung serbaguna tempat upacara wisuda kelulusan akan digelar. Mereka mengenakan toga lengkap dengan jubah dan topi, menandakan telah menyelesaikan sekolah menengah atas. Kini mereka akan bersiap melanjutkan ke universitas yang mereka impikan.
Tak terasa, Gavin menahan perasaan haru dan bahagia. Ia merasa bangga telah berhasil mencapai tahap ini dalam hidupnya. Ia menatap wajah teman-temannya yang juga tampak bahagia dan penuh harapan. Beberapa dari mereka bahkan tak bisa menahan air mata saat menyadari betapa berartinya momen ini.
Di atas panggung, kepala sekolah memberikan sambutan dan kata-kata penyemangat untuk para lulusan. Setiap kata yang diucapkannya menggema di telinga Gavin, membuatnya semakin bersemangat untuk mengejar mimpi di universitas nantinya.
Tiba saatnya untuk menerima ijazah, Gavin dan teman-temannya satu per satu dipanggil ke atas panggung. Ketika nama Gavin disebut, ia merasa jantung berdegup kencang. Ia berjalan dengan percaya diri, tersenyum lebar saat menyambut seruan riuh tepuk tangan dari teman-teman dan keluarganya.
Setelah upacara selesai, Gavin dan teman-temannya berkumpul di luar gedung, berfoto bersama sebagai kenangan indah hari ini. Mereka berjanji untuk selalu menjaga persahabatan ini meskipun nantinya akan terpisah oleh jarak dan waktu. Harapan dan cita-cita mereka akan terus menyala, menuntun mereka dalam menjalani kehidupan yang baru. Kini, langkah baru akan dimulai. Gavin dan teman-temannya siap menghadapi tantangan di universitas yang telah mereka impikan. Semangat, tekad, dan persahabatan akan menjadi bekal mereka dalam meraih masa depan yang lebih cerah.
Dari kejauhan , terlihat Dea berlari kecil dengan langkah ringan, menghampiri Gavin yang berdiri di parkiran. Dalam genggaman tangannya terdapat sebuah kotak berukuran sedang, misterius isinya.
Gavin yang melihat Dea semakin mendekat, memperhatikan gerak-gerik gadis itu dengan pandangan penuh kekhawatiran. "Awas jangan lari, nanti jatuh kamu!" tegur Gavin dengan nada yang penuh kecemasan, memikirkan bagaimana Dea bisa terpeleset akibat kebaya yang dikenakannya.
Dea tersenyum tipis, kemudian mengurangi kecepatan larinya, menggantinya dengan jalan kaki yang lebih pelan dan terkontrol. Hatinya berbunga-bunga, merasa bahagia karena akhirnya Gavin mau menerima kehadirannya.
Meskipun begitu, di antara mereka berdua tidak ada ikatan emosional yang lebih dalam. Di lubuk hati Gavin, masih tersimpan perasaan yang belum hilang, yang menghalangi kedekatan mereka.
Namun, Dea tidak menyerah begitu saja. Dengan langkah penuh harap, ia mendekati Gavin dan menyerahkan kotak yang telah ia bawa sejak tadi. "Ini untukmu," ucap Dea dengan senyuman manis di bibirnya.
Gavin menerima kotak itu, lalu perlahan membukanya, penasaran akan isinya. Di saat itulah, mata Gavin terpana, melihat sesuatu yang tak pernah ia duga akan diberikan oleh Dea. Hati yang semula keras perlahan mulai luluh, dan mungkin inilah awal dari perubahan hubungan mereka berdua.
"Terima kasih" ucap Gavin sambil menatap hadiah yang ada di tangannya dengan penuh perasaan.
Jam tangan yang diberikan Dea terlihat sangat indah dengan tali kulit coklat dan penunjuk waktu berwarna emas. Tampak jelas bahwa gadis itu telah memilihnya dengan hati-hati sebagai tanda kenang-kenangan mereka berdua.
"Tapi maaf, aku tidak memiliki hadiah untuk mu," kata Gavin sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan malu. Wajahnya tampak sedikit merah karena merasa tidak enak hati.
Dea tersenyum lembut, "Tidak apa-apa, Gavin. Hadiah terbesar untukku adalah waktu yang kita habiskan bersama dan kenangan indah yang kita ciptakan selama ini."
Gavin menghela napas lega mendengar kata-kata Dea, namun masih merasa bersalah di dalam hatinya.
Dea tersenyum tipis sebelum berbicara, "Kalau begitu aku pulang dulu, aku sudah di tunggu orang tua ku," ucapnya sambil menunjuk ke arah kedua orang tuanya yang sudah berada di dalam mobilnya.
Senyuman yang menggantung di bibirnya seolah menyembunyikan perasaan yang lebih dalam. "Hati-hati, sekali lagi terima kasih hadiahnya," ucap Gavin sambil tersenyum dan mengangkat tangan memegang hadiah yang diberikan Dea.
Dea mengangguk, matanya berbinar. "Sama-sama, Gavin. Semoga kamu suka," balasnya dengan suara lembut.
Dea lalu melambaikan tangan pergi meninggalkan Gavin yang masih terpaku di tempatnya, gadis itu berjalan menuju mobil orang tuanya dengan langkah pasti.
Gavin masih merasakan hangat tangan Dea yang baru saja menyentuh tangannya saat menyerahkan hadiah. Ia melihat Dea membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya, duduk di samping ibunya yang tersenyum hangat padanya. Dea melambaikan tangan sekali lagi kepada Gavin sebelum mobil itu bergerak menjauh.
Ketika mobil itu menghilang dari pandangan, Gavin tersadar dari lamunannya dan menatap hadiah yang ada di tangannya.
"Hadiah dari siapa" tanya Alisya yang tiba-tiba datang bersama suaminya.
Gavin terlonjak kaget mendengar suara tiba-tiba ibunya, ia menatap kesal Alisya. Namun, meskipun begitu dia tetap menjawab pertanyaan ibunya.
"Dari Dea" jawab Gavin singkat.
Alisya mengangguk sambil memperhatikan hadiah yang di pegang putranya.
"Bagus, pasti harganya mahal" ucap Alisya melihat merk jam tangan tersebut.
Gavin hanya mengendikkan bahunya, lalu masuk kedalam mobil lebih dulu, membuat Alisya mendengkus kesal dengan kelakuan sang putra.
"Sudah ayo masuk, Putramu memang sangat menyebalkan" ucap Arsen.
"Dia putramu juga, kamu kan yang menghamiliku" sewot Alisya dan masuk kedalam mobil.
Arsen menggelengkan kepalanya, putranya tidak jauh berbeda dengan sang istri. Sama-sama menyebalkan jika sedang kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Pasrah
selamat semoga kedepannya tambah sukses dan bisa meraih gelar doktor ya
2024-06-27
2
Pasrah
lanjut 🤣🤣🤣
2024-06-27
1
Pasrah
jangan karna hadiah terus melupakan orang yg sangat di rindukan itu
2024-06-27
1