BAB 10

Motor yang dikendarai Gavin melaju kencang melintasi jalanan menuju rumah Dea. Dalam sekejap, motor itu berhenti di depan rumah berpagar putih itu. Dea turun perlahan dari motor, kakinya masih terasa gemetar akibat kecepatan tadi. Ia berdiri di hadapan Gavin, menatap matanya yang tajam.

"Terima kasih sudah mau mengantarku pulang," ucap Dea dengan tulus, senyumnya mengembang di wajah cantiknya.

"Kamu mau masuk dulu atau bagaimana?" tanyanya, menawarkan Gavin untuk bersantai sejenak sebelum melanjutkan perjalanan pulang.

Gavin melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum panjang menunjukkan angka enam, sementara jarum pendek menunjukkan angka tujuh. Waktu sudah menunjukkan setengah tujuh malam.

"Aku langsung pulang saja. Salam untuk orang tuamu," ucap Gavin dengan nada lembut, khawatir ibunya akan mengkhawatirkannya jika pulang terlalu malam.

"Nanti aku sampaikan," ucap Dea, mengangguk mengerti. Ia tersenyum lagi, menunjukkan rasa terima kasihnya yang mendalam.

Gavin mengangguk kembali, tersenyum tipis sebelum menyalakan mesin motor. Dengan gerakan yang lincah, ia melajukan motor, meninggalkan Dea yang masih berdiri di depan rumahnya. Dea melambaikan tangan, menatap punggung Gavin yang semakin menjauh hingga lenyap dari pandangannya.

Setelah melihat motor Gavin menghilang, barulah Dea melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah dengan perasaan yang berbunga-bunga. Ia berasa mimpi bisa satu motor dengan Gavin, pria pujaan hatinya.

Keesokan harinya, begitu pulang kuliah, Gavin dan Dea langsung beranjak pergi ke bioskop untuk menonton film yang sudah mereka tunggu-tunggu. Mereka berdua tampak bersemangat dan berjalan beriringan menuju pintu bioskop. Begitu sampai di loket tiket, Gavin dengan sigap membeli dua tiket film tersebut untuk mereka berdua.

Dea tersenyum bahagia dan menggigit bibir bawahnya dengan penuh antusiasme.

"Akhirnya kita bisa nonton film ini juga, ya Vin," ujar Dea dengan wajah berseri.

Gavin membalas senyuman Dea sambil mengacak rambut Dea. "Iya, De. Kita harus menikmati waktu ini sebaik mungkin. Siapa tahu besok-besok kita sudah tidak punya kesempatan lagi untuk nonton bareng seperti ini." ucap Gavin.

Mereka berjalan menuju studio dan duduk di kursi yang telah ditentukan. Dea merasa berbunga-bunga bisa berduaan dengan Gavin. Sesekali gadis itu menatap wajah Gavin dengan penuh cinta, merasa bahagia dan bersyukur bisa sedekat ini dengan Gavin.

Saat film dimulai, mereka saling berpandangan sejenak, lalu kembali fokus menikmati film yang sedang diputar. Beberapa kali, Dea tertawa terbahak-bahak saat adegan lucu muncul, sedangkan Gavin kadang mengejek dengan nada jenaka. Mereka berdua terbenam dalam dunia film yang penuh petualangan, cinta, dan komedi.

Setelah film usai, Gavin dan Dea berjalan keluar dari studio dengan senyum puas di wajah mereka. Mereka merasa waktu yang dihabiskan bersama sangat berharga, mengingat betapa sibuknya kehidupan kuliah harus mereka jalani. Terlepas dari segala kesulitan yang mereka hadapi, saat-saat seperti ini menjadi pengingat akan kebahagiaan yang sederhana dan bisa mereka temukan dalam hidup mereka berdua.

Gavin tersenyum mengajak Dea untuk makan, "Ayo, makan dulu. Setelah itu baru kita pulang"

"Ayo, aku juga sudah lapar," sahut Dea dengan semangat, matanya bersinar menatap restoran Jepang di depan mereka.

Mereka berdua melangkahkan kaki masuk ke dalam restoran tersebut, suasana hangat dan aroma makanan yang menggugah selera menyambut mereka.

Setelah duduk di meja yang telah disediakan, Dea dan Gavin segera memesan menu favorit mereka. Tak lama kemudian, pelayan membawa pesanan mereka. Di atas meja terhidang sushi, sashimi, dan ramen yang menggoda.

Mereka berhenti mengobrol, mata mereka fokus pada piring makanan di depan mereka. Dea menggulung sashimi dengan kepiawaian, lalu menyuapkannya ke dalam mulutnya. Dea tersenyum lebar, menikmati kelezatan ikan mentah yang segar dan saus yang pas di lidahnya.

Sementara itu, Gavin menikmati ramen yang panas dan gurih, kuahnya menghangatkan tubuhnya yang lelah setelah seharian berjalan-jalan di mall. Mereka saling pandang dan tersenyum, merasa bahagia dengan kebersamaan ini. Di tengah hiruk-pikuk restoran, suasana menjadi semakin intim, dan makanan di piring mereka terasa semakin lezat.

*****

Di sebuah kamar rumah sakit yang terletak di Jerman, Aruna terduduk lemah di atas ranjang putih yang nyaman. Wajahnya terlihat pucat, dan matanya berkaca-kaca saat ia menatap ke luar jendela.

Gadis itu sudah setahun ini hidup di antara ruang-ruang putih, jarum-jarum suntik, dan cairan obat yang terus mengalir dalam tubuhnya. Penyakit hati yang dideritanya membuat hidupnya tak lagi sama seperti teman-temannya.

Kedua orang tua Aruna, yang telah bekerja keras mencari pengobatan terbaik untuk anak kesayangannya, terus berusaha mendampingi dan memberikan dukungan moral. Mereka berdua seringkali bergantian menjaga Aruna di samping ranjangnya, memberikan semangat dan cinta kasih yang tak terbatas.

Namun, di balik semua itu, Aruna merasa semakin terjebak dalam kegelapan. Dia kerap kali terbangun di tengah malam, menangis dalam hening karena takut akan masa depannya yang tak pasti. Penyakit ini telah menguras banyak hal dari hidupnya, mulai dari kebahagiaan, hingga harapan untuk hidup normal seperti gadis-gadis seusianya.

Suatu hari, saat matahari mulai tenggelam dan langit berubah menjadi jingga keemasan, Aruna duduk termenung di tepi jendela. Tangannya memegang erat foto dirinya bersama Gavin saat masih kecil dulu. Air mata mengalir deras di pipinya, menandai kesedihan yang mendalam dan rasa lelah yang tak tertahankan.

Di tengah lamunan dan kesedihan yang menyelimuti hatinya, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar rumah sakit terbuka perlahan. Kedua orang tuanya masuk dengan senyum hangat dan penuh harapan. Mereka duduk di sisi Aruna, menggenggam tangannya erat dan mengajaknya berbicara tentang impian masa depan yang indah. Meski hatinya masih terasa hancur, namun Aruna merasa sedikit terangkat semangatnya.

Pada saat itulah, Aruna menyadari bahwa hidup ini memang tak selalu indah dan mudah, namun cinta dan dukungan dari orang-orang terdekat lah yang akan membuat setiap cobaan terasa lebih ringan. Dengan hati yang penuh harapan, ia bertekad untuk terus berjuang melawan penyakit yang menghantui hidupnya, dan tak akan menyerah begitu saja demi masa depan yang lebih cerah.

"Kapan kita pulang ke Indonesia, bun? Aruna sudah kangen dengan teman-teman Aruna," tanya Aruna dengan nada sendu.

Bunda Dera tersenyum lembut sambil mengusap puncak kepala putrinya dengan penuh kasih sayang. "Nanti setelah Dea sembuh, Bunda dan ayah akan membawa Dea pulang," jawabnya dengan nada lembut dan menenangkan.

Namun, kata-kata itu sudah sering terucap dari mulut bunda Dera. Sudah hampir satu tahun lebih mereka berada di negeri orang, dan belum ada tanda-tanda akan kembali ke tanah air.

Aruna merasa sedih, kecewa, dan rindu yang semakin menjadi-jadi. Dia merindukan rumahnya, sekolahnya, dan teman-temannya yang dulu sering bermain bersama. Setiap hari Aruna menunggu kabar baik dari bundanya, berharap suatu saat nanti mereka bisa segera kembali ke Indonesia. Namun, harapan itu seolah-olah hanya menjadi mimpi yang tak kunjung menjadi kenyataan. Apakah mereka benar-benar akan kembali ke tanah air, atau terus terjebak dalam penantian yang tak berujung? Hanya waktu yang bisa menjawab pertanyaan Aruna.

Terpopuler

Comments

Pasrah

Pasrah

akhirnya update juga itu mau nanya novel yg satunya lagi kok udah lama banget gak ada lanjutannya ya thor

2024-07-03

2

Pasrah

Pasrah

aduh thor ini kan cuma cerita mau sampai kapan Aruna harus sakit terus "san kasian tau

2024-07-03

1

Ita Rosdiana

Ita Rosdiana

lanjuutt teruss ka

2024-07-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!