Tatapan laser yang diberikan oleh Devano membuat Hazel bergidik ngeri, tetapi di sisi lain dia juga terpesona.
"Gila, marah aja tetep ganteng," batin Hazel bergejolak, matanya tak bisa lepas dari wajah Devano yang tampak serius dan tegang.
Devano, dengan wajah serius dan tegang, berkata, "Kalau ada cowok kurang ajar kayak dia langsung kamu tonjok aja kalau nggak tendang aset berharganya," nada suaranya penuh dengan kemarahan dan protektif.
Revan hanya diam, memijit pelipisnya yang mulai terasa pening. "Sebenernya siapa kakaknya sih? Gue atau Devano?" batin Revan bingung, merasa pening dengan situasi yang semakin rumit.
Ketika Devano melihat Hazel, tatapannya tiba-tiba beralih fokus ke pundak Hazel yang terlihat memar. Matanya menyipit, wajahnya yang tegang tiba-tiba berubah menjadi khawatir. Dia mendekat dengan langkah cepat, matanya tidak berkedip dari memar di pundak Hazel.
Hazel terkejut dengan tindakan tiba-tiba Devano, dia mundur satu langkah, tubuhnya sedikit terhuyung. Dia menyilangkan tangannya di depan dadanya, mencoba menutupi pundaknya yang memar.
"Kenapa?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar dan merinding, merasa gugup dengan perhatian mendadak yang diberikan Devano.
Devano menatap Hazel dengan cemas, tangannya terulur seakan ingin menyentuh memar itu, tetapi kemudian berhenti, tangannya menggantung di udara, takut menyakiti Hazel lebih lanjut. Matanya tampak berusaha mencari-cari jawaban di wajah Hazel, yang kini tampak bingung dan ketakutan.
"Ini dari mana? Siapa yang bikin kamu kayak gini?" tanyanya dengan suara yang lebih lembut, tapi masih penuh dengan kekhawatiran.
Dengan gerakan hati-hati, Devano akhirnya menurunkan tangannya, tangannya gemetar sedikit, menunjukkan betapa besarnya kekhawatiran yang ia rasakan.
"Jatoh," jawab Hazel sambil tertawa canggung, berusaha mengalihkan perhatian dari bekas memarnya.
Namun, mata Devano menyipit, dengan cepat menangkap beberapa bekas goresan di lengan Hazel. Kecurigaan semakin menguat di benaknya.
"Kamu nggak di-bully kan?" tanya Devano dengan nada serius, matanya penuh kekhawatiran yang mendalam.
Revan, yang mendengar pertanyaan itu, langsung bangkit dari duduknya dengan gerakan cepat. Dia menghampiri Hazel dengan langkah besar, raut wajahnya tegang. Tanpa berkata apa-apa, Revan segera meraih lengan Hazel dengan lembut namun tegas, memeriksanya dari dekat.
Revan memutar lengan Hazel, memperhatikan setiap bekas goresan dan memar yang ada. Jari-jarinya dengan hati-hati menyentuh kulit Hazel, merasakan teksturnya, mencoba mencari tahu seberapa serius luka-luka tersebut.
Kemudian, dia memeriksa lengan yang lain dengan gerakan yang sama hati-hatinya, memutar tubuh Hazel sedikit untuk memeriksa apakah ada luka yang lebih dalam atau bekas-bekas lain yang mungkin terlewat.
Revan berhenti sejenak ketika pandangannya tertuju pada luka yang tertutup oleh rambut Hazel di dahi. Dengan lembut, dia menyibakkan rambut Hazel untuk melihat lebih jelas. Jari-jarinya hati-hati menyelip di antara helaian rambut, mengangkatnya perlahan agar tidak menyakiti Hazel.
"Jidat kamu kenapa?" tanya Revan dengan nada cemas, tatapannya penuh dengan kekhawatiran.
Revan memperhatikan luka itu dengan seksama, mencoba menentukan seberapa seriusnya.
Hazel menghela napas pelan, menyadari bahwa tidak ada yang bisa disembunyikan lagi. "Ini gara-gara aku jatuh tadi," jawabnya, mencoba tersenyum untuk meredakan kecemasan Revan.
"Beneran, aku nggak diapa-apain. Cuma kurang hati-hati aja."
***
Mood Hazel begitu turun sehingga langkahnya terasa berat dan lesu. Dia berjalan bersebelahan dengan Tania, tatapannya kosong ke depan tanpa tujuan tertentu.
Tas selempangnya yang tergantung rendah hampir terseret di lantai, bergerak pelan di samping kakinya yang bergerak tanpa semangat.
"Lo ngapa?" tanya Tania penasaran, sambil memasukkan kembali handphone-nya ke dalam saku.
Hazel melirik sekilas ke arah Tania, kemudian kembali menatap ke depan. "Gue diinterogasi sama Kak Revan dan Kak Devano. Mereka ngira gue di-bully. Padahal gue jatoh gara-gara mau nyolong kedondong," jawab Hazel lelah.
Tania yang mendengar itu tersenyum manis, sangat manis hingga membuat Hazel bergidik ngeri.
"Bagus dong kalau mereka ngira lo di-bully," kata Tania.
***
Ulangan harian fisika berlangsung di kelas, suasana terasa hening di tengah kekacauan pikiran para siswa yang sedang mencoba menyelesaikan soal-soal yang diberikan.
Febrian, duduk di bangku belakang, membolak-balik lembar soal dengan ekspresi yang sedikit tegang. Matanya sesekali melirik ke arah Hazel yang duduk di bangku paling depan.
"Kok dia bisa memperkirakan soal yang bakalan muncul ya?" batin Febrian dalam hati, mencoba mencari jawaban sendiri dari kehebatan Hazel.
Tania melirik sekilas ke belakang dan melihat Febrian sedang memperhatikan Hazel dengan ekspresi yang cukup mendalam. Dia merasa tidak nyaman dengan perhatian Febrian yang sepertinya terlalu fokus pada Hazel.
"Nih pulu-pulu sangat menjengkelkan," batin Tania dalam hati, sambil menggerutu pelan.
Ekspresinya sedikit tegang, bibirnya sedikit terlipat mengekspresikan kekesalannya. Tanpa sadar, tangannya yang menggenggam erat lembar soal ulangan mulai menegang. Jari-jarinya memegang kertas dengan kuat, seakan mencoba meredam kekesalannya.
***
Di jam istirahat, suasana kelas mulai riuh dengan siswa-siswa yang bergerak keluar untuk menghabiskan waktu istirahat mereka.
Febrian, yang sebelumnya berniat untuk menghampiri Hazel, mengernyitkan keningnya ketika melihat Ananta tiba-tiba masuk ke dalam kelas dan menuju meja tempat Hazel duduk.
Ananta, dengan sikap percaya diri yang kadang-kadang menyebalkan, tampaknya tengah mengobrol dengan Hazel dengan antusias.
"Tuh cowok, mentang-mentang lebih ganteng dari gue seenak jidatnya aja deketin Hazel," batin Febrian dalam hati, merasa sedikit cemburu melihat kedekatan mereka.
Febrian merasa agak kesal, namun sebelum ia sempat bereaksi lebih lanjut, terdengar suara ketukan ringan di mejanya. Dia menoleh ke arah suara itu dan melihat Tania berdiri di sampingnya dengan ekspresi serius yang tidak biasa.
"Kita perlu bicara," ucap Tania dengan suara rendah, memberi isyarat bahwa ada sesuatu yang mendesak untuk dibicarakan dengan Febrian.
***
Tania duduk tegak di bawah pohon mangga yang rindang, rambutnya tergerai lembut diterpa angin sepoi-sepoi yang mengalun lembut di bawah bayangan daun-daun hijau.
Menatap Febrian dengan pandangan tajam, matanya menunjukkan keputusan yang teguh namun juga sedikit kesedihan yang tersamar.
"Gue punya mata ya. Jadi gue sadar kalau lo terus merhatiin Hazel. Jauhi dia," ancam Tania dengan suara yang menunjukkan keputusannya.
Febrian menatap Tania dengan serius. "Lo gak berhak ngatur gue buat jauhin dia," balas Febrian dengan tegas, menunjukkan bahwa dia tidak akan mengikuti permintaan Tania hanya karena ditekan.
Tania mendengus sebal, tidak terima dengan sikap Febrian yang begitu keras kepala. Namun, sebelum dia bisa menjawab, Febrian tiba-tiba mengubah arah pembicaraan.
"Sebenernya Hazel kenapa?" tanya Febrian tiba-tiba, mengungkapkan rasa penasaran yang telah lama mengganjalnya.
"Maksud lo?" balas Tania, sedikit bingung dengan pertanyaan tiba-tiba Febrian.
"Lo kan temen deketnya. Pasti lo tahu betul yang gue maksud," jawab Febrian tegas, mencoba menguatkan argumennya.
"Waktu dia ketemu sama gue, dia kayak gak kenal sama gue. Dan waktu gue ke rumah dia, dia juga gak kenal sama kakaknya Liliana," lanjut Febrian, mengekspresikan kebingungannya yang mendalam terhadap perilaku Hazel.
"Kalau nyadar akan hal itu, lebih baik lo jauhin Hazel," ulang Tania, suaranya serius namun penuh kekhawatiran yang tersembunyi di baliknya.
Dia kemudian merapikan kerah seragamnya dengan gerakan halus, menambah kesan keanggunan pada penampilannya yang sudah cukup mencolok.
"Kenapa?" tanya Febrian, mencoba memahami lebih dalam alasan di balik saran Tania.
Tania menatap Febrian dengan serius, menjelaskan dengan jelas, "Karena gue gak bisa jamin di masa depan Hazel masih inget lo. Lebih baik lo menjauh dari sekarang, daripada nanti lo sakit hati sendiri karena Hazel lupakan semua tentang lo."
Perkataan itu membuat Febrian mengambil kesimpulan bahwa ada sesuatu yang mungkin tidak beres dengan Hazel.
Mungkin Hazel sedang mengalami masalah atau perubahan yang membuatnya sulit untuk diprediksi, termasuk mengenai interaksi sosialnya dengan orang lain seperti Febrian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Alfatih Cell
lanjut thor...
2024-06-22
1