Bastian melihat Hazel yang tengah berada di perpustakaan. Bukannya belajar, Hazel malah tertidur di meja dengan tangan sebagai bantal dan separuh wajahnya tertutup oleh rambut panjangnya yang terurai.
Bastian menggelengkan kepala, mendesah pelan. "Kenapa di mana-mana selalu ada dia sih?" dumelnya dalam hati sambil terus berjalan di rak buku yang ada di belakang Hazel.
Langkah kakinya perlahan dan nyaris tanpa suara, mencerminkan suasana hening perpustakaan yang hanya diiringi oleh suara pelan halaman-halaman buku yang dibalik.
Beberapa kali terdengar suara panggilan masuk dari handphone Hazel yang tergeletak di meja. Nama yang tertera di layar membuat Bastian tersenyum miring.
"Sumber uang?" batin Bastian, sekilas membaca nama kontak yang terpampang jelas.
Setiap kali ponsel berdering, lampu layar yang berpendar-pendar seakan memecah keheningan ruangan, menarik perhatian meski tidak ada suara dering yang keras.
Hazel yang merasa terusik, langsung meraba meja mencari ponselnya dengan mata setengah tertutup. Tangannya yang lemas menggapai-gapai, seolah masih terbelenggu dalam mimpi. Jari-jarinya yang lentik namun sedikit gemetar akhirnya menyentuh layar ponsel, menariknya lebih dekat ke wajah.
Mata Hazel yang masih berat dan kabur perlahan terbuka, memperlihatkan sorot mata yang kusut dan bingung. Dengan usaha keras, ia menekan tombol hijau di layar, menghubungkan panggilan tersebut.
"Halo?" jawab Hazel dengan suara serak karena baru bangun.
Suara serak itu menggema pelan di antara rak-rak buku, membaur dengan aroma khas perpustakaan—campuran antara kertas lama dan kayu. Satu tangan masih menopang kepala sementara tangan lainnya menggenggam ponsel.
Rambut panjangnya yang masih terurai menutupi sebagian wajah, namun Hazel tak menghiraukannya. Ia menatap kosong ke depan, berusaha fokus pada suara di seberang telepon yang mulai berbicara.
"Lo di mana, hah?" tanya Tania dari seberang telepon, suaranya terdengar mendesak dan penuh emosi.
"Perpus," jawab Hazel dengan suara lelah, matanya masih setengah terpejam.
"Guguk lo! Gue nyariin lo ke mana-mana enggak ketemu. Hampir aja gue cek CCTV. Lo malah enak-enakan ngadem di perpus!" julid Tania, suaranya penuh emosi dan terdengar jelas hingga ke ujung rak buku.
Bastian, yang sejak tadi mendengar percakapan itu dari balik rak buku, merasa terhibur sekaligus heran.
"Pantesan mereka sahabatan. Mereka sama-sama gila," pikirnya sambil menahan tawa, bibirnya tersenyum kecil. Ia memandang Hazel yang masih kebingungan dan mencoba mengumpulkan kesadarannya.
Hazel mengusap wajahnya yang masih setengah ngantuk dan mencoba mengumpulkan kesadarannya.
"Iya, iya. Gue bentar lagi ke sana," katanya, berusaha menenangkan Tania yang sedang kesal.
"Jangan bentar lagi! Sekarang juga!" balas Tania dengan nada memerintah sebelum menutup telepon dengan keras, membuat Hazel terpaku sejenak memandang layar ponselnya.
Hazel menatap ponselnya dengan ekspresi campur aduk antara lelah dan bingung, kemudian menghela napas panjang. Matanya berkedip beberapa kali, mencoba menyingkirkan sisa-sisa kantuk yang masih menggelayuti kelopak matanya.
Dengan gerakan lambat, ia mulai merapikan rambutnya yang berantakan, jari-jarinya menyisir helaian rambut yang terurai di wajahnya. Ia menarik napas panjang lagi sebelum memulai merapikan buku-bukunya yang tersebar di meja.
Di saat yang sama, Bastian masih memperhatikannya dari balik rak dengan rasa ingin tahu yang tak bisa ia jelaskan.
"Ngapain gue lihatin dia? Kayak penguntit aja," pikirnya sambil menggelengkan kepala.
Namun, matanya tetap tertuju pada Hazel, memperhatikan setiap gerakan kecil yang dilakukan gadis itu. Ia melihat Hazel mengumpulkan bukunya dengan gerakan yang teratur meski perlahan, matanya masih sedikit berat karena kantuk.
Bastian berpura-pura sibuk mencari buku di rak terdekat, namun pandangannya tetap mengikuti Hazel yang berjalan menuju pintu keluar perpustakaan. Ia menahan tawa kecil saat melihat Hazel menguap lebar sambil berjalan, memperlihatkan betapa lelahnya dia.
Bastian kemudian mengambil sebuah buku dari rak, meskipun sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan isinya. Hanya saja, ia butuh alasan untuk tetap berada di dekat rak itu, mengamati Hazel yang mulai menjauh.
"*Benerran k*ayak penguntit aja gue," pikir Bastian sekali lagi, namun rasa penasaran dan hiburan yang ia rasakan membuatnya sulit untuk benar-benar mengalihkan perhatian dari Hazel.
Hazel membuka pintu perpustakaan dengan satu tangan, melangkah keluar dengan langkah gontai. Bastian menatapnya sampai bayangannya hilang di balik pintu, kemudian ia tersenyum sendiri.
"Kalau gini dia gak kelihatan sejahat yang dibilang orang-orang,"
***
Hazel merasa bingung saat Tania menariknya ke laboratorium kimia. Mereka melangkah melewati deretan meja lab yang dilengkapi dengan alat-alat canggih, membuat Hazel terkagum-kagum dengan kelengkapan fasilitas di sekolah ini.
"Bentar lagi bel, ngapain lo minta gue ngerjain soal kimia?" tanya Hazel sambil celingukan, matanya mencoba menangkap setiap detail ruangan yang terasa asing namun menarik.
"Tenang aja, gue udah izin," jawab Tania dengan santai.
Ia menarik satu kursi dan duduk menghadap ke arah papan tulis, senyum kecil terlihat di wajahnya yang penuh keyakinan.
"Kok gampang banget?" Hazel mengerutkan keningnya, keheranan dengan betapa mudahnya Tania mengatur segalanya.
"Lo lupa ya? Gue kan anak pemilik sekolah ini," jawab Tania dengan kening yang mengerut, sedikit tersinggung karena Hazel tidak mengingat fakta penting ini.
Hazel terdiam sejenak, berusaha mencerna informasi baru tersebut. Ia merasa ada banyak hal yang tidak diketahuinya. Sebagai seseorang yang masuk ke dunia novel ini hanya mengetahui sinopsis dan beberapa nama tokoh tanpa mengenal wajah mereka, Hazel merasa seperti sedang menjelajahi dunia yang setengah asing.
Sinopsis yang ia ketahui tidak memberikan gambaran yang jelas tentang latar belakang atau hubungan para tokoh, membuat setiap interaksi terasa seperti kejutan.
***
Bastian memasuki kelas dengan langkah yang ringan, wajahnya terangkat dengan senyum kecil yang tersembunyi di sudut bibirnya. Matanya yang biasanya serius kini sedikit berbinar, seolah membawa kilatan keceriaan yang jarang terlihat.
Liliana, yang duduk tidak jauh dari pintu masuk, segera memperhatikan perubahan itu. Ia melihat bagaimana mata Bastian menyipit sedikit ketika tersenyum, dan bibirnya yang mempertahankan keheningan, menunjukkan rasa gembira yang halus namun jelas terlihat.
"Ivanka, lihat itu," bisik Liliana, menepuk pelan lengan temannya sambil memandang Bastian dengan pandangan tajam yang penuh dengan tanda tanya.
"Kenapa dia senyum-senyum sendiri?"
Ivanka mengangguk singkat, matanya yang tajam memperhatikan Bastian dengan seksama. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda pada temannya ini. Bastian yang biasanya lebih tertutup dan serius, kini terlihat sedikit lebih terbuka dan hangat.
Bastian berjalan tenang ke arah mejanya, tetapi pandangannya sering terarah pada Liliana. Setiap kali mereka bertemu pandang, ia menyembunyikan senyuman dan berusaha untuk tidak menunjukkan perasaannya secara terang-terangan.
"Ada apa nih, tumben lo senyum gitu?" tanya Ivanka dengan rasa penasaran yang jelas terlihat di wajahnya.
"Eh, enggak ada apa-apa," jawab Bastian sambil mencoba bersikap cuek, meskipun matanya sedikit gelisah.
"Coba cerita dong?" goda Liliana, mencoba menarik informasi dari Bastian.
Bastian terdiam sejenak. Dalam hatinya, ia menyimpan perasaan untuk Liliana, tetapi ia sadar bahwa situasinya rumit. Liliana memiliki perasaan untuk Ananta, dan Ananta pun demikian.
Namun, yang membuatnya semakin bingung, mereka belum juga menjadi sepasang kekasih. Sebaliknya, Liliana dan kedua sahabatnya malah meminta Ananta untuk mempermainkan Hazel, dan setelah berhasil, barulah Liliana bersedia menerima Ananta.
"Gak ada apa-apa," jawab Bastian akhirnya dengan raut wajah yang berubah. Dalam kebimbangan batinnya, ia mulai merasa bahwa Liliana sebenarnya yang terlihat lebih buruk dalam situasi ini, bukan Hazel seperti yang mungkin banyak orang pikir.
"Kok gue ngerasa disini yang jahat bukan Hazel tapi Liliana?" batin Bastian dengan penuh kebimbangan.
Ketika Bastian berusaha memikirkan semuanya secara logis, ia merasa kepala dan hatinya berbenturan. Sebagai seseorang yang memiliki perasaan terhadap Liliana, Bastian cenderung melihat segala sesuatu dari sudut pandang Liliana.
Ia menyadari bahwa cintanya pada Liliana bisa mempengaruhi cara pandangnya terhadap situasi, membuatnya cenderung memberikan pengertian atau membenarkan tindakan Liliana tanpa melihat apa yang sebenarnya terjadi di balik layar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments