Bibir Hazel kedutan dengan gelisah. Dia duduk di kursi rumah sakit, ruangan yang dingin dengan cahaya putih terang yang membuatnya semakin merasa tak nyaman.
Sama sekali tidak ada dalam rencananya hari ini untuk menjalani serangkaian pemeriksaan medis yang begitu mendetail seperti ini.
"Ngapain sih lo ngajakin gue periksa segala? Sayang uangnya, gue sehat-sehat aja," ucap Hazel dengan sedikit kesal, mencoba mengekspresikan kebingungannya kepada Tania yang duduk di sebelahnya.
Tania merengut, matanya menatap hasil lab yang baru saja diterimanya. Dia mengatur kembali hasil-hasil tersebut dengan hati-hati ke dalam map putih yang terbuka di pangkuannya.
"Gak bisa gini. Gue masih ragu. Secara fisik mungkin normal, tapi mental lo perlu diperiksa juga," jawab Tania sambil memasukkan map tersebut ke dalam tasnya dengan mantap.
Hazel mengangguk pelan, meskipun hatinya berdesir tak menentu. Dia merasa lelah setelah melewati semua pemeriksaan tadi, mulai dari tes memori dan kognisi, tes fisik dengan pemeriksaan neurologis, hingga pemindaian CT scan dan MRI. Masing-masing alat dan instrumen medis tersebut membuatnya semakin bingung dan cemas.
Sekarang, Tania kembali menarik tangannya dengan lembut. Hazel mengikuti langkah Tania dengan langkah yang berat, tubuhnya terasa gemetar karena kelelahan dan ketidakpastian.
Dia mencoba memahami kekhawatiran Tania, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan pertanyaan dan ketidakmengertian atas semua ini.
***
Tania menatap Hazel dengan penuh kebingungan. Matanya menyelidiki wajah Hazel yang terbaring tak berdaya di kursi khusus dengan beberapa kabel terhubung ke kepala dan tubuhnya. Dia merasa tegang mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Hazel.
"Gue bukan Hazel Yunara," ucap Hazel lagi, suaranya masih terdengar samar karena keadaannya yang tidak sadar.
"Gue Hazel Ara, gue dari dunia nyata. Dan entah kenapa gue ada di dunia fiksi ini. Semuanya gila dan gue bingung harus apa."
Tania mendengarkan dengan seksama, matanya melirik ke sekeliling ruangan di mana beberapa orang tampaknya mencatat apa yang Hazel katakan. Tatapan mereka penuh perhatian dan serius, mencerminkan betapa pentingnya informasi ini bagi mereka.
"Gue cuma baca sinopsisnya dan lihat beberapa gambaran karakter aja," ucap Hazel dengan suara gemetar, mencoba menjelaskan situasi yang mengganggu pikirannya.
Dia terduduk di kursi, masih terhubung dengan beberapa kabel dan sensor di kepala dan tubuhnya.
"Liliana gadis yang baik dan polos. Dia pemeran utama dalam dunia ini," lanjut Hazel, matanya terasa berat karena air mata yang terus mengalir. "Dikelilingi serbuk berlian. Bastian diam-diam suka sama Liliana tapi Liliana sukanya sama Ananta."
Suasana di ruangan terasa hening, hanya suara langkah-langkah orang yang lewat di koridor terdengar samar. Tania mencoba memahami setiap kata yang keluar dari mulut Hazel, namun semakin mendalam ia memahami, semakin terasa absurd semua ini bagi logikanya.
"Dan Ananta..." Hazel terhenti, napasnya tersengal-sengal karena emosi yang memuncak.
"Ananta pacaran sama Hazel karena permintaan dari Liliana. Setelah Hazel bener-bener jatuh cinta sama Ananta, Ananta tinggalin dia gitu aja."
"Hazel yang awalnya memang udah ada dendam sama Liliana makin dendam gara-gara Ananta jadian sama Liliana," lanjut Hazel dengan suara serak. "Semua orang jadi benci sama Hazel. Dan Liliana malah nge-harem sama Ananta, Bastian, Davian, Agler, bahkan kakak Hazel sendiri, Revan."
Tania mengernyitkan dahi, mencoba mencerna informasi yang semakin tidak masuk akal ini. Apa yang Hazel bicarakan terdengar seperti plot dalam sebuah novel yang rumit dan penuh intrik, bukan sesuatu yang bisa terjadi dalam kehidupan nyata.
"Dan akhir part dari Hazel adalah membunuh dirinya sendiri," ucap Hazel dengan suara bergetar, sepertinya sulit baginya untuk mengucapkan kata-kata tersebut.
Tania merasa seolah dunia di sekitarnya berputar cepat. Dia tidak tahu harus percaya atau tidak. Apakah ini nyata atau hanya ilusi dari otak Hazel yang terganggu?
Tania menatap Hazel dengan pandangan campuran antara kekhawatiran dan keraguan. Dia ingin meyakinkan dirinya bahwa ini hanya delusi atau mungkin hasil dari sesuatu yang tidak terduga dalam keadaan medis Hazel.
Namun, di lubuk hatinya, ada kecurigaan bahwa mungkin, mungkin saja, apa yang Hazel katakan memiliki benang merah yang terhubung dengan kenyataan.
"Haruskah gue percaya?"
***
Suasana kelas mulai ramai seiring dengan berakhirnya jam pelajaran. Beberapa siswa bergegas meninggalkan kelas untuk pergi ke kantin atau tempat lain, mengisi waktu istirahat mereka. Di tengah keramaian itu, Ananta dan Febrian berpapasan di pintu kelas.
"Lo liat Hazel gak?" tanya Ananta, matanya mencari-cari ke sekitar ruangan kelas yang mulai kosong.
Febrian yang sedang berjalan keluar menjawab dengan nada santai, "Dia gak masuk."
Ananta mengernyitkan dahinya, ekspresinya mencerminkan kekhawatiran yang mulai tumbuh. "Karena apa?" tanyanya sambil menahan langkahnya.
"Mana gue tahu. Gue bukan emaknya," jawab Febrian dengan nada ketus, seolah tidak peduli, lalu bergerak pergi begitu saja tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.
Ananta memandang kepergian Febrian dengan wajah yang mulai terlihat dongkol. Matanya memancarkan ketidakpuasan dan frustrasi. Dia merasa kesal dengan sikap acuh Febrian yang tidak menganggap serius pertanyaannya.
"Gak papa, nanti pulang sekolah tinggal di bacok,"
***
Revan duduk di meja kerjanya yang penuh dengan tumpukan berkas. Kertas-kertas yang berserakan di atas permukaan meja, beberapa terlipat dan ada yang masih terbuka lebar dengan lembaran-lembaran penting yang berjejer.
Revan duduk di sana, berusaha memilah-milah dokumen-dokumen tersebut dengan tatapan penuh konsentrasi, walaupun wajahnya menampakkan sedikit raut kebingungan dan kelelahan.
Namun, meskipun dia berusaha keras untuk memusatkan perhatian, pertanyaan Devano mengganggunya.
"Adik lo kok gak pernah main ke rumah lagi?" suara Devano terdengar santai, mencoba memecah keheningan yang terisi dengan bunyi kertas yang dibolak-balik oleh tangannya.
Revan mengangkat kepalanya, matanya menatap kosong sebentar sebelum fokus kembali pada berkas yang sedang ia periksa.
"Dia sibuk belajar. Dan sering main sama temennya," jawab Revan dengan suara yang sedikit terdengar lelah.
Meskipun menjawab, ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa pikirannya masih melayang di antara berbagai hal yang harus diselesaikannya.
Devano menggosok-gosok pelipisnya dengan ekspresi kebingungan yang semakin mendalam. "Gue heran sama adek lo sama Liliana. Mereka berdua kenapa sih gak bisa akur?" ujarnya dengan nada heran.
Dia mencoba memahami dinamika antara adik Revan dan Liliana, dua orang yang seharusnya bisa dekat tapi terlihat ada ketegangan di antara mereka.
Revan, yang sedang sibuk dengan berkas-berkas di meja, mendengar pertanyaan Devano tetapi merasa seperti terhenti sejenak.
"Adik lo pernah cerita gak tentang masalahnya sama Liliana?" tanya Devano lagi, mencoba mengejar respons dari Revan.
Revan merenung sejenak, mencoba mengingat-ingat. Kesehariannya yang padat membuatnya jarang memiliki waktu untuk mendengar keluhan Hazel, adik perempuannya.
Dia menyadari bahwa hubungannya dengan Hazel tidak terlalu dekat, meskipun Hazel selalu mencoba untuk mendekatinya.
"Gak ada," jawab Revan dengan jujur setelah beberapa saat berpikir.
Dia merasa bersalah karena tidak bisa memberi Devano jawaban yang lebih memuaskan, namun faktanya dia tidak punya banyak informasi tentang masalah antara Hazel dan Liliana.
Devano mengangguk, meskipun wajahnya masih terlihat penuh tanda tanya. Dia tahu Revan mungkin tidak akan memberikan informasi lebih lanjut jika memang tidak mengetahui permasalahan itu secara detail.
Namun, rasa penasarannya tentang apa yang terjadi antara Hazel dan Liliana tetap mengganggu pikirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments