Kamar yang luas dengan dinding berwarna biru langit menyambut Hazel. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar membuat ruangan itu terlihat cerah dan hangat, namun Hazel merasa kepalanya sangat berat.
Dengan gerakan lambat, ia duduk di pinggir tempat tidur yang empuk, sesekali memukul pelan kepalanya untuk mencoba menyadarkan diri.
"Jangan dipukul," suara Tania yang lembut namun tegas memecah kesunyian.
Dia berjalan mendekat, menatap Hazel dengan kekhawatiran yang jelas terlihat di matanya.
"Ini di mana?" tanya Hazel dengan bingung, matanya memandang sekeliling ruangan. Semuanya terlihat samar dan asing di kepalanya yang berat.
"Ini kamar gue, masa lo lupa?" jawab Tania dengan senyum lembut, meskipun terdengar sedikit getir.
"Biasanya lo paling senang kalau gue ajak nginep. Katanya rumah gue kayak rumah impian negeri dongeng," tambahnya dengan tawa kecil yang terdengar pedih, mengingat kenangan manis yang kini terasa jauh.
Tania kemudian memeluk Hazel erat-erat, seolah-olah ingin memberikan kehangatan dan perlindungan melalui pelukan itu. Hazel sendiri bingung harus merespon bagaimana. Dia merasa canggung, namun nalurinya membuat tangannya perlahan membelai punggung Tania, gerakan yang sederhana namun penuh makna.
Tania mulai terisak di pelukan Hazel, perasaan bersalah dan penyesalan membebani hatinya. Dia merasa begitu terluka oleh situasi yang melibatkan Hazel dan Liliana. Isak tangisnya semakin keras, mencerminkan rasa sakit yang begitu dalam.
Hazel, meskipun bingung dan masih merasa berat, berusaha menenangkan Tania dengan usapan lembut di punggungnya.
"Kita revisi yok balas dendam ke Liliana," ucap Tania tiba-tiba, mencoba mengalihkan perasaan bersalahnya dengan ide yang terdengar konyol namun mencerminkan betapa besar rasa sakit yang dia rasakan.
***
Taman yang luas dengan aroma berbagai bunga yang semerbak membuat Hazel merasa tenang. Dia duduk di bangku kayu yang dikelilingi oleh bunga-bunga berwarna-warni, menikmati suasana yang damai.
Tania datang mendekat, wajahnya tampak serius namun penuh harap. Dengan gerakan cepat namun lembut, Tania menyerahkan selembar kertas kepada Hazel.
"Baca nih," ucap Tania, suaranya lembut namun tegas.
Hazel menerima kertas itu dan membacanya dengan teliti, setiap kata dipahami dengan seksama. Setelah selesai membaca, dia menatap Tania, matanya meminta penjelasan lebih lanjut.
Tania menghela napas panjang sebelum berbicara. "Gue tahu lo gak mau balas dendam dengan cara yang kejam. Jadi gue revisi dengan gaya yang lebih sederhana tapi masih ngena balas dendamnya," katanya, berusaha menjelaskan dengan nada yang sabar.
"Kita gak perlu hancurin Liliana pake kekerasan fisik kayak adu jambak atau cakar. Kita juga gak perlu saling serang dengan kata-kata setajam silet."
Hazel memperhatikan Tania dengan seksama, menyadari kantong mata Tania yang terlihat jelas. Tania tampak lelah, mungkin akibat terlalu banyak berpikir dan kurang tidur. Hazel merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik rencana Tania.
"Lo cukup rajin belajar dan itu bisa bikin keluarga bandingin lo sama Liliana. Lo cukup jadi diri lo sendiri. Gue tahu lo baik," lanjut Tania, suaranya bergetar. Beberapa tetes air mata jatuh mengenai punggung tangannya, memperlihatkan betapa dalam perasaannya.
"Dan untuk Ananta," lanjut Tania dengan nada yang lebih pelan, "gue serahin semuanya ke lo. Kalau lo masih mau tetep deket sama dia, silahkan. Gue gak ngelarang. Tapi, jangan sampe lo jatuh hati sama dia. Dan kalau bisa, buat dia jatuh hati ke lo," saran Tania, matanya penuh dengan campuran rasa sakit dan harapan.
Hazel menatap Tania, mencoba memahami situasi yang mereka hadapi. Dia tahu bahwa dalam hubungan ini, semua orang merasa terluka, semua orang merasa menjadi korban.
Entah siapa yang memulai semuanya, tetapi jelas bahwa mereka semua terjebak dalam lingkaran saling membalas dan saling menyakiti. Mereka masing-masing merasa menjadi korban, tetapi di sisi lain, mereka juga memainkan peran sebagai pelaku.
***
Hazel menatap pantulan dirinya di cermin. Seragam sekolahnya sangat pas, membuatnya terlihat manis dan rapi. Dia merapikan rambutnya dengan jari, memastikan semuanya terlihat sempurna.
Setelah merasa puas, dia membuka pintu kamarnya dan langkah kakinya terhenti sejenak ketika melihat Revan berdiri di depan pintu, seolah ingin mengatakan sesuatu.
"Kenapa, Kak?" tanya Hazel dengan suara yang lembut, suaranya terdengar hangat di telinga Revan.
Mata Hazel yang penuh rasa ingin tahu menatap kakaknya dengan harapan.
"Enggak papa," jawab Revan dengan canggung, sambil menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal.
Hazel menahan senyumnya, menyadari betapa kaku kakaknya dalam mengekspresikan kasih sayang. Dia tahu bahwa Revan adalah tipe kakak yang sayang sama adiknya, tapi selalu bingung bagaimana cara mengungkapkannya.
"Boleh peluk gak?" tanya Hazel dengan nada ceria, matanya berkilat penuh harapan.
Revan terkejut mendengar permintaan itu, tetapi sebelum dia sempat menjawab, Hazel sudah melangkah maju dan memeluknya erat. Tubuh Revan yang kaku perlahan melunak dalam pelukan Hazel, dan dia merasakan kehangatan yang menenangkan.
"Indahnya dunia, pagi-pagi gini udah dapet pelukan cowok gepeng,"
***
Koridor sekolah mulai ramai, meskipun masih pagi dan wajah-wajah siswa terlihat segar dan berseri-seri. Hazel berjalan dengan langkah ringan, menikmati suasana pagi yang cerah. Di sebelahnya, Tania berjalan dengan penuh semangat, namun tiba-tiba berhenti dan menoleh ke arah Hazel.
"Zel, lo ke kelas duluan aja. Gue ada urusan," ucap Tania sambil tersenyum.
Senyum itu seolah menyembunyikan sesuatu, namun Hazel tidak sempat bertanya lebih lanjut. Tania langsung berjalan mendahului Hazel tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan Hazel yang hanya bisa mengangguk kecil.
Hazel berdiri di tengah koridor, sedikit bingung dengan kepergian tiba-tiba Tania. Dia kemudian memutuskan untuk melanjutkan langkahnya menuju kelas. Namun, tiba-tiba terdengar suara teriakan yang memanggil namanya dengan penuh semangat.
"Hazel!" teriak Febrian.
Hazel menoleh ke belakang, mencari sumber suara. Di kejauhan, dia melihat Febrian berlari kecil ke arahnya. Senyuman lebar terpampang di wajah Febrian, seolah-olah melihat Hazel adalah hal terbaik yang terjadi pagi itu.
Febrian melangkah dengan semangat, kakinya bergerak cepat namun tetap ringan. Dia melambai-lambaikan tangan ke arah Hazel, membuat beberapa siswa lain menoleh ke arahnya
"Ngapain lari-lari?" tanya Hazel dengan heran ketika Febrian sampai di depannya, napasnya sedikit terengah-engah.
"Gak papa. Biar bisa bareng lo ke kelasnya," jawab Febrian sambil nyengir kuda, senyumnya lebar dan ceria.
"Yaudah, ayok," setuju Hazel dengan senyum kecil.
Keduanya melangkah beriringan menuju kelas, berjalan di antara kerumunan siswa yang bergerak ke berbagai arah.
Febrian selalu tersenyum malu-malu, sesekali melirik ke arah Hazel. Dia berusaha untuk tetap santai, namun kegembiraan karena bisa berjalan bersama Hazel membuatnya sulit menahan senyum. Hazel, di sisi lain, terlihat kalem dan tenang.
"Stress nih anak? Padahal masih muda," batin Hazel.
Febrian mengayunkan tas di pundaknya dengan ringan, sesekali menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal.
"Gila, cuma jalan di sampingnya aja bikin jantung gue senam," batin Febrian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments