Mobil terparkir tak jauh dari tempat Hazel dan Ananta berdiri. Udara sore yang sejuk berhembus pelan, membawa aroma dedaunan yang basah setelah hujan.
Hazel, dengan rambutnya yang sedikit berantakan akibat angin, memandang Ananta dengan tatapan penuh tanda tanya. Matanya yang besar dan bulat tampak seperti ingin menembus jiwa Ananta, mencari tahu segala rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Ia menyilangkan tangan di dada, menandakan bahwa ia benar-benar ingin tahu jawaban dari pertanyaannya.
"Makasih ya. Ngomong-ngomong lo tahu dari mana ini rumah gue?" tanya Hazel penasaran. Suaranya terdengar renyah, seperti bunyi krupuk yang baru saja digoreng.
Ananta terdiam sejenak, memperhatikan ekspresi Hazel yang terlihat natural, tidak ada kesan yang dibuat-buat.
Ananta merasa jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.
Dengan senyum yang dipaksakan, Ananta menjawab, "Semua orang juga tahu disini rumah lo." Ia mencoba tersenyum ramah, meski hatinya berdebar-debar tak karuan.
Di dalam hatinya, Ananta mulai menyadari bahwa yang sedang berpura-pura adalah dirinya, bukan Hazel. Ia merasa seperti aktor dalam drama yang salah kostum, berusaha bermain peran yang bukan miliknya. Ananta menatap sekeliling, berharap ada sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian Hazel.
Sekelompok burung pipit terbang melintasi langit, membuat pola yang indah di atas kepala mereka. Cahaya matahari senja menyoroti wajah Hazel, membuatnya terlihat seperti tokoh dalam lukisan klasik.
Ananta merasa semakin canggung, dan tangan kanannya secara refleks meraih bagian belakang lehernya, menggaruk-garuk seolah ada gatal yang tak kunjung hilang.
"Eh, ya gitu deh. Gue denger dari anak-anak juga," tambah Ananta, mencoba memberi alasan yang masuk akal.
Namun, Hazel hanya mengangguk pelan, sepertinya tidak terlalu puas dengan jawaban tersebut.
Mereka berdua akhirnya berjalan menuju pintu gerbang rumah Hazel, langkah-langkah mereka seirama, seolah-olah ada musik yang mengiringi. Hazel berhenti di depan pintu dan menoleh ke arah Ananta.
"Makasih ya, udah nganterin gue pulang," katanya sambil tersenyum tulus.
Ananta mengangguk, "Sama-sama, Zel," Ia melambaikan tangan, dan Hazel membalas dengan lambaian kecil sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah.
Ananta menghela napas panjang, merasa lega sekaligus bingung dengan perasaannya sendiri. Ia berdiri sejenak di depan gerbang rumah Hazel, menatap ke arah pintu yang baru saja tertutup, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan kembali ke mobilnya.
***
Malam itu, suasana di sekitar rumah Hazel terasa tenang. Lampu teras yang remang-remang memberikan kesan hangat dan nyaman. Tania datang dengan langkah tergesa-gesa, jantungnya berdegup kencang, perasaannya campur aduk antara penasaran, khawatir, dan sedikit marah. Ia melihat Hazel duduk santai di kursi teras, menghadap halaman yang tampak sepi.
"Lo tadi pulang bareng Ananta ya?" selidik Tania tanpa basa-basi, suaranya agak bergetar.
Hazel mengerutkan kening, bingung. "Ananta? Siapa, gue gak kenal," jawab Hazel santai sambil memotong kukunya yang panjang-panjang dengan gunting kecil.
Kuku-kuku itu terbang jatuh ke lantai, satu per satu, membuat bunyi tik-tik yang terdengar jelas di keheningan malam.
Tania memperhatikan kegiatan Hazel itu dan merasa semakin gusar. "Sejak kapan lo suka kuku pendek?" tanyanya, mencoba mencari tahu lebih banyak dari kebiasaan baru Hazel yang tampak aneh di matanya.
Suara potongan kuku terhenti. Hazel mengangkat wajahnya dan menatap Tania. Mereka berdua saling berpandangan, seolah-olah ada sesuatu yang tak terucapkan melintas di antara mereka.
"Lagi nyaman kuku pendek," jawab Hazel kikuk.
Hazel terlihat tenang, tetapi mata Tania memancarkan keresahan yang mendalam.
"Lo enggak mungkin gak inget Ananta," desak Tania. "Dia yang pengen deketin lo karena permintaan Liliana."
"Tunggu, jadi cowok ganteng itu namanya Ananta?" Hazel terkejut, sampai gunting kuku yang ia genggam terjatuh ke lantai, menghasilkan suara denting kecil yang memecah keheningan.
Malam semakin larut, dan suasana di teras rumah Hazel terasa lebih hening. Hazel dan Tania masih duduk berhadapan, bayangan mereka samar-samar tertangkap oleh cahaya lampu teras yang redup.
"Lo makin aneh. Jelas-jelas kita pernah bahas tentang dia dan rencana balas dendam kita," ucap Tania tiba-tiba.
Kata-kata itu bagai petir yang menyambar Hazel, membuatnya merasa dunia di sekelilingnya berhenti sejenak. Jantungnya berdebar kencang, dan ia merasakan ada sesuatu yang sangat penting yang telah ia lupakan atau tidak sadari.
Tania, dengan ekspresi serius, mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Ia memperlihatkan sebuah foto lawas seorang perempuan muda yang terlihat sangat mirip dengan Hazel.
Wajah perempuan itu penuh dengan senyuman manis yang sama dengan Hazel, namun ada sorot mata yang berbeda, seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan itu.
"Lo tahu ini siapa?" tanya Tania, suaranya datar namun penuh makna.
Hazel menggelengkan kepala, "Enggak," jawabnya pelan. "Memangnya dia siapa?" tambah Hazel, penasaran namun juga sedikit cemas.
Tania menatap Hazel dengan pandangan yang sulit diartikan, campuran antara kekecewaan dan keprihatinan.
"Gue balik dulu," katanya tiba-tiba, berdiri dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.
Sebelum Hazel sempat bertanya lebih lanjut, Tania sudah melangkah pergi, meninggalkan Hazel sendirian di teras. Pintu gerbang rumah terdengar tertutup pelan di kejauhan, menandakan kepergian Tania.
Hazel duduk terdiam, perasaannya campur aduk. Banyak pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya, namun ia merasa bingung dan tidak tahu harus mulai dari mana.
"Emangnya siapa sih perempuan itu?" batin Hazel penasaran.
***
Karena kebanyakan tidur, Hazel akhirnya sama sekali tidak bisa tidur lagi. Dari tadi ia berguling-guling di kasur, mencoba mencari posisi ternyaman tapi tidak berhasil.
Ia berbaring telentang, lalu miring ke kiri, kemudian ke kanan, tetapi tetap saja tidak bisa memejamkan mata. Pikiran-pikirannya terus berputar, membuat kepalanya semakin pening.
"Jadi Hazel sendiri tahu kalau Ananta itu cuma mau mainin perasaan dia demi buktiin cintanya ke Liliana?" Hazel bertanya pada dirinya sendiri dengan suara pelan, hampir berbisik.
Ia memandang langit-langit kamar, matanya terbuka lebar, mencoba memahami situasi yang membingungkan ini.
"Gila sih," makinya, merasa marah dan bingung.
Ia menghela napas panjang, lalu duduk di atas kasur. Kakinya menggantung di tepi tempat tidur, sementara tangannya memegangi kepala seolah mencoba meredakan rasa pening yang tak kunjung hilang.
"Itu namanya menyerahkan hati secara cuma-cuma untuk disakiti," ucapnya sambil menggerakkan kakinya ke depan dan belakang, menendang-nendang selimut yang terlepas dari tempat tidur.
"Tunggu," pikir Hazel, tiba-tiba tersadar. "Kalau Hazel tahu si Ananta cuma pura-pura, ngapain Hazel jadi jahat? Kayaknya balas dendam Hazel dan Tania enggak sesederhana itu." Hazel merenung lebih dalam.
Hazel mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Bahkan sebelum hati Hazel retak karena Ananta, Hazel udah punya dendam sama Liliana. Tapi, karena apa?" Ia mencoba menggali ingatannya, tapi yang didapatnya hanya kepingan-kepingan yang belum tersusun dengan jelas.
Hazel merasa pusing. Kepalanya sering migren akhir-akhir ini, mungkin karena tekanan yang ia rasakan. Ia bangkit dari kasur dan berjalan ke jendela, membuka tirainya untuk membiarkan angin malam masuk.
Hazel menatap ke luar, melihat langit malam yang penuh bintang. Dalam kesunyian malam, ia mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.
"Kenapa Hazel bisa sampai punya dendam begitu besar sama Liliana?" Hazel bertanya pada dirinya sendiri, berusaha keras mengingat detail-detail yang mungkin terlewat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments