Jam istirahat di sekolah selalu menjadi momen yang dinanti-nanti oleh para siswa untuk melepaskan penat dan bersosialisasi.
Hazel, dengan langkah ringan dan senyumnya yang selalu cerah, keluar dari toilet dan memutuskan untuk menikmati permen karet sebagai teman selama istirahat.
Namun, ketenangan sekolah tiba-tiba terganggu oleh suara ribut di salah satu sudut koridor.
"Lah, ini kan si Agler Agler itu," ucap Hazel pelan pada dirinya sendiri, penasaran dengan apa yang sedang dibicarakan orang-orang di sana.
Ia mengintip dari balik dinding, mencoba mendengar percakapan mereka dengan jelas. Di sudut koridor, beberapa siswa sedang berdiri berkelompok, termasuk Agler, Zen, dan dua temannya yang lain. Mereka tertawa riang, seolah menikmati bualan yang mereka lontarkan.
"Lo tuh anak haram. Jadi jangan sok suci," sindir Zen dengan nada meledek.
Kata-kata pedasnya disambut dengan gelak tawa keras dari teman-temannya, seolah menemukan lelucon yang lucu dalam ejekan mereka.
"Bajingan!" umpat Agler dengan suara penuh emosi, mengepalkan tangannya dengan kuat sehingga terdengar suara gemuruh dari jemarinya yang mengepal.
Jari-jari tangannya menegang, menonjol keluar seperti paku dari genggaman eratnya, seakan-akan ingin mengekspresikan semua kemarahan dan frustrasinya melalui gerakan itu.
Kulit di sekitar knukklanya menjadi putih karena tekanan yang keras, dan ada raut wajah yang menunjukkan betapa dalamnya emosi yang ia rasakan.
(Knukkanya, yang merujuk pada bagian sendi jari-jari tangan yang menonjol ketika seseorang mengepalkan tangan dengan kuat.)
"Wah, takutnya..." ucap Zen sambil berpura-pura ketakutan, disambut dengan gelak tawa lebih keras lagi dari kedua temannya yang lain.
Mereka tampaknya menikmati momen mengganggu ini tanpa memikirkan dampaknya bagi yang lain.
"Sepertinya gue mencium aroma keributan," batin Hazel sambil memejamkan mata dan menutup hidungnya dengan ibu jari dan telunjuknya, seolah-olah sedang mencoba memblokir bau yang tak sedap.
***
Alger, dengan wajah yang penuh dengan kemarahan yang hampir tidak bisa ditahannya lagi, menggerakkan tangannya seolah-olah hendak memukul wajah Zen yang tengah tersenyum-senyum dengan nada yang mengesalkan.
"Kayaknya seru ya kalau satu sekolah tahu," tawa Zen dengan santainya, yang semakin membuat Alger ingin segera mengakhiri semua ini dengan cara kasar.
Tangannya yang sudah terangkat hendak melesat ke arah Zen, tetapi tiba-tiba ada permen karet yang menempel di rambut Zen.
"Apaan nih?" kaget Zen, meraba permen karet yang tiba-tiba muncul di rambutnya, dan ia merasa jijik setelah menyentuhnya.
"Woi, sini lo!" ucap Panji, salah seorang teman Zen yang melihat Hazel bersembunyi di balik dinding.
Hazel sebenarnya sedang berusaha menghindari insiden yang semakin memanas. Mau lari tidak mungkin, jadi Hazel maju dan berdiri di sebelah Alger yang marah.
"Cari mati lo!" bentak Tian, teman Zen yang juga turut merasa terganggu dengan situasi ini.
"Permen karet itu seharusnya buat ngelem mulut lemes lo, malah nyasar ke kepala lo. Mungkin biar otaknya tetap lengket sama kepala lo ya," canda Hazel dengan nada canggung, mencoba meredakan ketegangan dengan humor.
Alger, meskipun masih marah, menahan diri untuk tidak meluapkan emosinya secara fisik. Zen, sementara itu, mencoba membersihkan rambutnya dari permen karet dengan ekspresi campur aduk antara kejutan dan ketidaknyamanan.
"Minta di gebukin nih cewek," kesal Panji, melihat wajah tengil Hazel yang semakin membuat darahnya mendidih.
Wajah Hazel yang tampak tidak peduli, hanya memperkeruh emosi Panji.
Hazel, dengan ekspresi sok berani yang sebenarnya penuh dengan kegugupan, menjawab, "Awas lo mukul wajah mulus gue. Gue aduin ke Tania," ancamnya, suaranya terdengar lebih keras dari biasanya.
Alger, yang berdiri di dekat Hazel, dengan sangat jelas melihat bahwa kaki Hazel gemetaran. Meskipun berusaha tampak berani, ketakutannya tidak bisa sepenuhnya disembunyikan. Alger hampir tertawa melihat keberanian palsu Hazel, tetapi ia menahan diri.
Panji, yang biasanya tidak akan segan untuk memberikan pelajaran, mendadak terdiam. Nama Tania disebut, dan itu mengubah segalanya. Tania memang perempuan, tetapi otoritasnya di sekolah sangat kuat, melebihi batas gender. Banyak yang memilih mundur daripada berurusan dengan kemarahannya.
"Bisa di geprek gue kalau berurusan sama Tania," batin Zen.
Di tengah-tengah keributan kecil itu, suasana sejenak berubah menjadi sunyi. Hazel yang tadinya merasa bahwa ia bisa menjaga ketenangan dengan berani, sekarang merasakan ketegangan di udara yang bisa dipotong dengan pisau. Ia menelan ludah dengan gugup, mencoba menjaga wajahnya tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang.
Zen, yang masih mencoba membersihkan permen karet dari rambutnya, akhirnya angkat bicara.
"Cabut," ajaknya.
***
Agler masuk ke dalam kelas dengan perasaan campur aduk. Kejadian tadi membuat pikirannya kalut, dan dia belum sempat bicara dengan Hazel karena bunyi bel yang tiba-tiba membuat Hazel langsung menghilang.
Dengan langkah berat, Agler menuju bangkunya dan duduk, berusaha meredakan emosinya.
"Muka lo ngapa, kusut banget?" tanya Davian yang sedang asyik makan bekal karena guru belum masuk ke kelas.
"Si Zen ngeselin banget," jawab Agler sembari bersandar pada kursinya, mencoba mencari posisi yang nyaman untuk meredakan stress.
"Si bekicot itu. Perlu gue sate gak?" tawar Ananta dengan nada serius tapi dengan ekspresi yang sedikit tersenyum.
Mendengar tawaran Ananta, Agler dan Davian langsung merinding. Mereka tahu bahwa Ananta bisa sangat serius dalam kata-katanya, meskipun kadang diucapkan dengan nada bercanda.
"Jangan deh, Nat. Ntar malah kita yang repot," jawab Agler sambil tertawa kecut, mencoba meredakan ketegangan dengan humor.
***
Pulang sekolah, Liliana dan teman-temannya berkumpul di kafe favorit mereka. Kafe itu terletak di sudut jalan yang tenang, suasana kafe yang nyaman, dengan musik lembut mengalun di latar belakang. Mereka duduk di meja yang biasa, dekat jendela yang menghadap ke jalan.
"Ananta, gimana kelanjutan lo sama Hazel?" tanya Ivanka sambil mengaduk jus mangganya dengan pelan, menciptakan pusaran kecil di dalam gelas.
"Iya, penasaran gue. Kok lama banget kayak gak ada kemajuan," ucap Davian dengan nada penasaran, sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
Liliana, Agler, Bastian, dan Enara ikut memperhatikan dengan seksama, menunggu jawaban dari Ananta yang tampak sedikit gugup.
"Entahlah, dia gak buka chat gue. Dan kalau ketemu, dia kayak orang gak kenal," jawab Ananta jujur, menundukkan kepala sedikit.
Sejujurnya, dia merasa aneh dengan perubahan sikap Hazel. Terakhir kali ia mengantar Hazel pulang, Hazel bersikap seolah-olah tidak mengenalinya, atau mungkin itu hanya perasaannya saja?
"Kayaknya lo kurang gereget deketinnya," komentar Enara sambil tersenyum licik.
Ananta hanya bisa mengangguk-angguk, mencoba mencerna saran dari teman-temannya. Namun, Liliana tampak ragu. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya angkat bicara.
"Kayaknya untuk masalah deketin Hazel cukup sampai di sini aja. Jangan dilanjutin," ucap Liliana dengan nada bimbang.
"Hah? Kok gitu?" Ivanka terkejut, matanya membesar saat menatap Liliana.
"Ini terlalu jahat," jawab Liliana, mencoba menahan rasa bersalah yang mulai menyeruak.
"Jahat? Dia yang jahat. Lo gak usah ngerasa bersalah. Lagian kita cuma bales dia doang. Biar dia jera," Enara berkata dengan tegas, seolah tidak ada ruang untuk kompromi.
Liliana bungkam. Di dalam hatinya, ada kebingungan yang besar. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa apa yang mereka lakukan telah melenceng terlalu jauh.
Bermain dengan perasaan orang lain adalah tindakan kejam, dan Liliana mulai merasakan beratnya beban moral atas rencana mereka.
Walaupun Hazel memang pernah berbuat jahat, bukankah membalasnya hanya akan membuat Hazel semakin jahat?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments