15. Teman

Agler tak habis pikir dengan tingkah para remaja labil ini. Dengan napas yang ngos-ngosan dan keringat yang mulai membasahi pelipisnya, dia akhirnya menemukan keberadaan Hazel.

Hazel berdiri dengan tangan terangkat ke atas, seolah menunjukkan tanda menyerah. Di sekelilingnya, Zen, Tian, dan Panji berjongkok, menundukkan kepala, dan mengangkat tangan mereka ke atas.

Agler berhenti sejenak, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Matanya menyapu pemandangan di depannya, berusaha memahami apa yang sedang terjadi.

"Kalian ngapain di sini?" tanyanya dengan nada setengah kesal, setengah penasaran.

Dia juga melangkah keluar dari tembok sekolah, bergabung dengan mereka di luar area yang seharusnya terlarang.

Hazel mendongak perlahan, menatap Agler dengan senyum lebar yang memperlihatkan deretan giginya yang putih. Ada sedikit keringat di dahinya, namun itu tidak mengurangi keceriaan di wajahnya.

"Nih, makan," ucap Hazel dengan nada santai sambil mengulurkan sebuah kedondong ke arah Agler.

Matanya berbinar, seolah-olah dia baru saja memberikan hadiah paling berharga di dunia.

Agler berdiri mematung, matanya menatap kedondong yang diulurkan oleh Hazel. Dia benar-benar dibuat speechless oleh makhluk satu ini. Mulutnya sedikit terbuka, namun kata-kata tak kunjung keluar. Dia merasakan berbagai emosi bercampur aduk di dalam dirinya – keheranan, kesal, namun juga ada sedikit rasa.

Zen yang berjongkok di sebelah Hazel menoleh ke arah Agler. Dengan senyum jahil di wajahnya, dia berkata, "Udah, makan aja. Butuh perjuangan nih buat ambil tuh buah."

Zen lalu menarik lengan Agler, membuatnya ikut berjongkok di tanah. Ekspresinya menunjukkan kebanggaan, seolah-olah pencurian kedondong ini adalah pencapaian besar.

Agler, masih setengah bingung, akhirnya mengambil kedondong dari tangan Hazel. Dia memutar-mutar buah itu di tangannya, mencoba membayangkan seperti apa perjuangan mereka untuk mendapatkannya.

***

Di jam istirahat, akhirnya Tania bisa bertemu dengan Hazel. Dengan cepat, dia meraih lengan Hazel dan menyeretnya menuju sebuah ruangan yang terlihat elegan, tempat favorit mereka untuk bersantai.

Ruangan itu dihiasi dengan sofa empuk, lampu-lampu hias yang lembut, dan aroma harum dari lilin aromaterapi yang menyebar di udara, menciptakan suasana yang tenang.

Begitu mereka masuk, Tania langsung melepaskan pegangannya dan menatap Hazel dengan tatapan frustrasi.

"Bisa-bisanya lo bolos," katanya dengan nada marah yang tertahan.

Dia melipat tangannya di dada, matanya menatap Hazel tajam. Hazel hanya menunduk sambil cengar-cengir, seolah-olah dia tidak bisa menahan senyum meskipun tahu dia dalam masalah.

Tania menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. "Ingat, Zel, lo harus lebih baik dari Liliana," ucapnya mengingatkan, suaranya penuh tekanan.

Hazel mengangkat kepalanya perlahan, menatap Tania dengan mata yang penuh ketegasan.

"Jangan terlalu fokus pada Liliana. Lo bilang gue bisa jadi diri gue sendiri," jawab Hazel.

Tania, yang mendengar itu, langsung merasa emosinya bergejolak. Dia bangkit dari sofa, mulai berjalan mondar-mandir di ruangan itu dengan ekspresi yang menunjukkan kebingungannya.

***

Lapangan basket yang biasanya ramai kini hanya diisi oleh beberapa siswa yang bermain. Di pinggir lapangan, banyak siswa dan siswi duduk bersantai, menikmati waktu istirahat.

Beberapa dari mereka sedang bercengkrama, sementara yang lain sibuk dengan ponsel mereka. Di antara mereka, Zen duduk di atas beton pinggir lapangan, memegangi kedua lututnya dan menatap ke tanah, tampak berpikir dalam.

Agler, yang duduk tidak jauh dari Zen, sedang mengikat tali sepatunya. Ia sesekali melirik ke arah lapangan, memperhatikan permainan basket yang sedang berlangsung. Suasana tenang, hanya diisi dengan suara bola basket yang memantul dan tawa para pemain.

Tiba-tiba, Zen mengangkat kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke Agler. "Agler, gue minta maaf sama lo karena selalu gangguin lo dan ngata-ngatain lo," kata Zen.

Suaranya terdengar tulus, berbeda dari biasanya. Dia sedikit membungkuk ke depan, menatap Agler dengan mata yang penuh penyesalan.

Agler, yang baru saja selesai mengikat tali sepatunya, mengerutkan keningnya dan mengangkat kepalanya untuk menatap Zen. Dia merasa bingung, pasalnya Zen selalu saja mengajaknya ribut setiap kali mereka bertemu. Dia memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, mencoba menutupi rasa tidak nyamannya.

Tian dan Panji, yang duduk di sisi lain Zen, tetap diam. Tian bersandar pada dinding beton dengan lengan terlipat, matanya sesekali melirik ke arah lapangan. Panji duduk dengan satu lutut ditekuk, tangannya bermain dengan kerikil kecil di tanah.

Zen menghela napas panjang, melepaskan kedua tangannya dari lutut dan menegakkan tubuhnya.

"Gue akui gue udah keterlaluan sama lo, jadi mari kita berteman," ajak Zen, mengulurkan tangan kanannya ke arah Agler.

Agler menatap uluran tangan itu dengan tatapan curiga. Dia mengernyitkan alisnya, mengingat semua pertengkaran dan ejekan yang pernah mereka alami. Tangan Agler tetap di dalam saku jaketnya, ragu untuk menyambut uluran tangan Zen.

Melihat reaksi Agler yang enggan, Zen tersenyum kecil, berusaha menenangkan suasana. Dengan cepat, Zen menyambar tangan Agler dan mengguncangnya dengan semangat.

"Sekarang kita temen dan gue gak akan gangguin lo lagi," ucap Zen dengan nada meyakinkan, mengguncang tangan Agler beberapa kali sebelum melepaskannya.

Agler buru-buru menarik tangannya kembali, masih merasa was-was.

"Apa rencana lo?" tanya Agler dengan nada curiga, matanya menyipit menatap Zen.

Zen tertawa ringan, meletakkan tangannya di atas lututnya lagi.

"Gue gak punya rencana apa-apa. Hazel nyadarin gue kalau semesta ini luas, dan potongan rambut gue bikin gue keren," katanya sambil menyentuh rambutnya dengan gaya, mencoba membuat suasana lebih santai. "Dan akan lebih keren kalau gue berdamai sama semua orang."

"Apa hubunganya sama rambut?" tanya Panji memalui kontak mata dengan Tian.

"Si Hazel, ngomong potongan rambutnya keren dan dia bangga," balas Tian.

Agler tetap diam, memikirkan kata-kata Zen. Dia menatap Zen yang masih tersenyum dengan santai, lalu melirik Tian dan Panji yang kini tampak lebih tenang daripada biasanya. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan rasa curiganya.

***

Di parkiran sekolah yang ramai, Liliana berlari kecil menghampiri Ananta yang sedang menuju mobilnya. Matahari sore menyinari tempat itu dengan lembut, menciptakan bayangan panjang dari setiap benda di sekitarnya.

Ananta sudah mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya dan siap membuka pintu ketika suara Liliana menghentikannya.

"Nta, gue mau ngomong sama lo," ucap Liliana dengan suara pelan, kepalanya sedikit menunduk.

Kakinya bergerak gelisah, mengayun-ayunkan kaki kirinya ke kiri dan kanan di atas aspal parkiran.

Ananta menghentikan gerakannya dan menatap Liliana dengan seksama. Ada keraguan di matanya, dia sebenarnya ingin segera pergi karena banyak hal yang harus diurusnya.

Pekerjaan menumpuk dan waktu terus berjalan, membuatnya merasa terburu-buru. Namun, melihat Liliana berdiri di depannya dengan wajah yang tampak gugup dan penuh harap, hatinya melembut.

"Masuk," ajak Ananta, membuka pintu mobilnya.

Liliana mengangguk dan masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah Ananta yang segera menyalakan mesin dan mulai menjalankan mobilnya.

Suasana di dalam mobil terasa sedikit tegang, suara mesin yang berderu menjadi satu-satunya yang mengisi keheningan. Liliana menatap jalanan di depan mereka, mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

"Gue rasa cukup sampai di sini misi lo buat deketin Hazel," ucap Liliana akhirnya, suaranya terdengar serius. Dia menoleh, menatap Ananta yang fokus mengemudi.

Ananta mendengar ucapan Liliana dan menatapnya sekilas sebelum kembali memperhatikan jalan. Mereka berhenti karena lampu merah, memberikan Ananta kesempatan untuk menjawab.

"Iya, gue gak ada niatan untuk deketin Hazel karena misi. Kita berteman," ucap Ananta dengan nada tegas namun tenang.

Liliana mendengar jawaban itu, tetapi kecemasannya belum hilang. Dia menggigit bibirnya dan memainkan jemarinya dengan gugup.

"Lalu gimana sama hubungan kita?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Dia merasa cemas, takut akan jawaban yang mungkin keluar dari mulut Ananta.

Ananta menghela napas dalam-dalam, matanya menatap lampu lalu lintas yang berubah hijau. Dia memutuskan untuk tidak menjawab langsung, memilih untuk menjalankan mobilnya terlebih dahulu. Suasana kembali hening, hanya suara jalanan yang mengiringi perjalanan mereka.

Episodes
1 1. Beda Takdir
2 2. Lupa Nama
3 3. Jangan Nikung
4 4. Dendam
5 5. Cinta Merubah Cara Pandang
6 6. jadilah lebih Dewasa
7 7. Jangan Berharap
8 8. Biar Lengket
9 9. Akhir Part
10 10. Senam Jantung
11 11. Jalan Tanpa Bawa Perasaan
12 12. Gelembung Sabun
13 13. Janji Gak Akan Gila
14 14. Terjatuh
15 15. Teman
16 16. Pulang
17 17. Lebih Baik Menjauh
18 18. Sosok Asing
19 19. Butuh di Puk-puk
20 20. Gosip
21 21. Bokek
22 22. Bidadari
23 23. Rumus The King
24 24. Mata Duitan
25 25. Foto Alay
26 26. Baik dan Jahat
27 27. Cuma Pena
28 28. Antara Grup
29 29. Kepala Berisik
30 30. Pergeseran Peran
31 31. Aroma Uang
32 32. Mati Rasa
33 33. Ribet
34 34. Battle of Brains
35 35. Keponakan
36 36. Coba Tebak?
37 37. Gelas
38 38. LSD
39 39. Parno
40 40. Narkoba?
41 41. Pacran?
42 42. Jadilah Anak Penurut
43 43. Saling Memanfaatkan
44 44. Egois
45 45. Dosis
46 46. Berbagi
47 47. Mental
48 48. Nyakitin Diri Sendiri
49 49. Reaksi Kimia
50 50. Informasi
51 51. Yang Berkuasa Yang Menang
52 52. Tertekan
53 53. Bidak Catur
54 54. Ilusi
55 55. Hirarki
56 56. Kejam
57 57. Hati-hati
58 58. Sky
59 59. Bebas
60 60. Suara
61 61. Bayangan
62 62. Gelombang Kecemasan
63 63. Explo
64 64. Sakit Jiwa
65 65. Bukan Penguasa Utama
66 66. Resiko
67 67. Drama
68 68. Di Balik Layar
69 69. Semuanya Berubah
70 70. Terjebak Dalam Ilusi
71 71. Genting
72 72. Dia Bisa Mati
73 73. Including death
74 74. Berakhir Seperti Semestinya
75 75. Dunia ini Keras
76 76. Kaset Usang
77 77. Garis Lurus
78 78. Uang
79 79. Terlalu Gelap
80 80. Bisa Aja Dia Mati
81 81. Balas Dendam
82 Epilog
Episodes

Updated 82 Episodes

1
1. Beda Takdir
2
2. Lupa Nama
3
3. Jangan Nikung
4
4. Dendam
5
5. Cinta Merubah Cara Pandang
6
6. jadilah lebih Dewasa
7
7. Jangan Berharap
8
8. Biar Lengket
9
9. Akhir Part
10
10. Senam Jantung
11
11. Jalan Tanpa Bawa Perasaan
12
12. Gelembung Sabun
13
13. Janji Gak Akan Gila
14
14. Terjatuh
15
15. Teman
16
16. Pulang
17
17. Lebih Baik Menjauh
18
18. Sosok Asing
19
19. Butuh di Puk-puk
20
20. Gosip
21
21. Bokek
22
22. Bidadari
23
23. Rumus The King
24
24. Mata Duitan
25
25. Foto Alay
26
26. Baik dan Jahat
27
27. Cuma Pena
28
28. Antara Grup
29
29. Kepala Berisik
30
30. Pergeseran Peran
31
31. Aroma Uang
32
32. Mati Rasa
33
33. Ribet
34
34. Battle of Brains
35
35. Keponakan
36
36. Coba Tebak?
37
37. Gelas
38
38. LSD
39
39. Parno
40
40. Narkoba?
41
41. Pacran?
42
42. Jadilah Anak Penurut
43
43. Saling Memanfaatkan
44
44. Egois
45
45. Dosis
46
46. Berbagi
47
47. Mental
48
48. Nyakitin Diri Sendiri
49
49. Reaksi Kimia
50
50. Informasi
51
51. Yang Berkuasa Yang Menang
52
52. Tertekan
53
53. Bidak Catur
54
54. Ilusi
55
55. Hirarki
56
56. Kejam
57
57. Hati-hati
58
58. Sky
59
59. Bebas
60
60. Suara
61
61. Bayangan
62
62. Gelombang Kecemasan
63
63. Explo
64
64. Sakit Jiwa
65
65. Bukan Penguasa Utama
66
66. Resiko
67
67. Drama
68
68. Di Balik Layar
69
69. Semuanya Berubah
70
70. Terjebak Dalam Ilusi
71
71. Genting
72
72. Dia Bisa Mati
73
73. Including death
74
74. Berakhir Seperti Semestinya
75
75. Dunia ini Keras
76
76. Kaset Usang
77
77. Garis Lurus
78
78. Uang
79
79. Terlalu Gelap
80
80. Bisa Aja Dia Mati
81
81. Balas Dendam
82
Epilog

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!