Di hari yang cerah dan telah dijanjikan, Hazel dan Ananta pergi bersama ke taman yang ramai. Mereka berdua berjalan di antara pepohonan yang rindang dan jalanan yang ramai dengan pengunjung yang beraktivitas.
Ananta membawa tas plastik berisi makanan yang belum habis dimakan oleh Hazel, sementara Hazel sendiri terlihat begitu terpikat dengan sekelilingnya.
"Ternyata dia suka banget jajan," batin Ananta.
Ananta mengikuti Hazel. Dia melihat Hazel menghentikan langkahnya tiba-tiba di depan sebuah toko kecil yang menjual berbagai mainan anak-anak.
Dengan mata berbinar-binar, Hazel menyentuh pelan dua botol besar yang dipajang di jendela. Botol gelembung sabun. Ekspresi Hazel yang penuh antusiasme tak terbendung saat dia menarik Ananta masuk ke toko.
"Bang, beli dua ya," ucap Hazel tiba-tiba dengan riangnya.
Ananta mengambil dua botol gelembung sabun dari rak. Dia kemudian berjalan mendekati penjual dan membayarnya dengan cepat
***
Diam-diam, Liliana, Enara, Ivanka, Agler, Davian, dan Bastian mengamati dari kejauhan gerak-gerik Ananta dan Hazel di taman yang ramai itu. Mereka berdiri di bawah rindangnya pepohonan, sesekali bertukar pandang dan bisik-bisikan tentang tingkah laku kedua teman mereka.
"Si Hazel mainan gelembung, biar dikira manis apa ya?" gerutu Enara dengan nada sewot, matanya tajam memperhatikan setiap gerakan Hazel yang lincah di sekitar Ananta.
Mereka melihat Hazel dengan ceria meniup gelembung sabun, sementara Ananta terlihat agak kikuk, terbengong-bengong dengan ekspresi tak jelas di wajahnya.
Tak lama kemudian, telapak tangan Ananta secara tidak sengaja menyentuh gelembung sabun yang Hazel tiupkan, membuat gelembung itu pecah dengan gemerlap warna-warni.
"Si Ananta jadi kayak bocah," sindir Davian dengan tawa kecilnya, menambahkan sentuhan humor dalam pengamatannya.
Ananta, yang sebelumnya hanya duduk diam sambil mengamati, tiba-tiba terdorong untuk berdiri. Dengan ekspresi antara malu dan tertawa, dia mulai ikut meniup gelembung sabun dengan semangat. Gerakan tangannya lambat namun pasti, mencoba meniru gerakan yang dia lihat dari Hazel.
"Tapi dia kelihatan bahagia," ucap Bastian dengan nada yang lebih ringan, mencoba melihat sisi positif dari kejadian itu.
Liliana, yang sejak tadi memperhatikan dengan tatapan nanar, tidak bisa menahan perasaan miris terhadap dirinya sendiri.
"Meskipun dilihat dari jauh, tapi gue bisa ngerasa kalau senyum yang ditunjukkan Ananta itu tulus," batin Liliana dalam hatinya, matanya terfokus pada Ananta yang sekarang tertawa riang mengejar gelembung sabun bersama Hazel.
***
Suara tawa riang Hazel menggema di telinga Ananta dan menyaksikan Hazel dikelilingi oleh gelembung sabun yang dia tiup dengan antusias. Ananta, dengan ekspresi campuran antara kagum dan canggung, memandang Hazel dengan penuh perhatian.
"Lo beneran belum pernah mainan gelembung?" tanya Hazel penasaran, mencoba menggali lebih dalam tentang pengalaman Ananta.
Ananta tersenyum simpul, menjawab dengan jujur, "Belum," sambil terus meniup gelembung sabun dengan hati-hati, mencoba menangkap rasa asing dari permainan yang baru baginya.
"Lalu pernah main sepeda?" tanya Hazel lagi.
Ananta terdiam sejenak, sementara gelembung sabun satu per satu mulai pecah di sekelilingnya. Dia memperhatikan dengan penuh perasaan anak-anak kecil yang sedang bermain sepeda di taman itu. Mereka berlomba-lomba, tertawa ceria, dan menikmati setiap detiknya tanpa beban.
"Gue gak bisa naik sepeda," ucap Ananta dengan suara yang sedikit terdengar ragu, tetapi juga mengandung rasa sesal yang mendalam.
Tatapannya terpaku pada anak-anak kecil yang begitu lepas dan bahagia dengan kemampuan mereka mengendarai sepeda.
"Bokap gak ngebolehin gue main sepeda," tambah Ananta, mengungkapkan alasan di balik kenyataan yang membuatnya tidak bisa menikmati hal yang seharusnya menjadi bagian dari masa kecilnya.
Dia melihat dengan penuh keinginan, namun juga dengan sedikit kecemburuan, saat anak-anak kecil itu saling mendahului dengan penuh semangat.
Gelembung sabun masih melayang di sekitar mereka, bermain-main dengan cahaya senja yang mulai memudar. Ananta berdiri, merasakan hembusan angin lembut dan mengamati dengan hati yang campur aduk kegembiraan anak-anak yang belum pernah bisa dia rasakan sepenuhnya.
"Nyatanya jadi pemeran utama gak seenak yang dibayangkan. Di akhir cerita mungkin dia memiliki happy ending, tapi punya masa lalu yang menyedihkan," batin Hazel dalam hati, merenungkan kehidupan Ananta yang mungkin tidak selalu secerah yang terlihat dari luar.
Hazel memandang ke arah Ananta dengan tatapan penuh pengertian. Di benaknya, dia membayangkan sosok Ananta masih kecil, mungkin dulu ketika anak-anak lainnya sedang asyik bermain sepeda, Ananta hanya bisa melihat dari jauh tanpa bisa ikut serta.
***
Agler mengamati dengan tajam dinamika di antara teman-temannya. Saat dia menyampaikan komentarnya tentang Ananta dan Hazel, dia bisa merasakan perubahan tatapan Ananta yang semakin intens pada Hazel. Ada kejelasan dalam pendapatnya bahwa mungkin Ananta yang akan jatuh cinta lebih dulu.
"Kayaknya Ananta yang bakalan suka sama Hazel, bukan sebaliknya," komentar Agler.
Enara, dengan nada geram, menghela napasnya. "Si Hazel pinter banget sih manipulasi orang," gumamnya dengan ketidaksenangan yang terasa jelas dalam suaranya.
"Bisa gawat kalau si Ananta beneran suka sama Hazel. Liliana mau di kemanain," komentar Ivanka, mencuatkan kekhawatiran tentang perasaan Liliana yang mungkin terluka.
Liliana sendiri merasa terjepit di antara perasaan bingung dan sesak. "Harusnya gue gak setuju dengan ide gila untuk Ananta deketin Hazel. Harusnya gue langsung terima Ananta," batinnya penuh penyesalan dan kebimbangan.
Liliana merasa bersalah karena mungkin telah mengabaikan atau tidak menghargai perasaan Ananta sebelumnya.
***
Tania duduk di depan meja belajar yang terlihat berantakan di ruangan yang sunyi. Buku-buku berserakan dan kertas-kertas terhampar di meja, mencerminkan kesibukan dan fokus yang telah dilakukan untuk mengumpulkan semua informasi yang diperlukan.
Dia memandang sekelilingnya, mencoba mencari kepastian di tengah kekacauan visual yang mengelilinginya.
"Ini udah lengkap semuanya?" tanya Tania, sambil membuka perlahan amplop coklat yang terasa tebal di tangannya.
Tatapan matanya fokus pada isi amplop tersebut, yang mungkin berisi data atau dokumen penting.
"Sudah, non. Semua data sudah lengkap," jawab Leon dengan tenang.
Leon, yang merupakan tangan kanan Tania, menyampaikan dengan keyakinan bahwa semua yang diperlukan sudah terorganisir dengan baik.
"Jangan sampai ayah dan yang lain tahu," ucap Tania dengan wajah serius, matanya menatap tajam ke arah Leon yang berdiri di dekatnya.
Leon merespons dengan hormat, sedikit menundukkan kepala seraya mengangguk. "Non, tenang saja. Masalah ini tidak akan bocor ke bos besar," ucapnya meyakinkan.
Tania mengangguk sekali, mengisyaratkan bahwa dia menerima jaminan dari Leon. Dia memejamkan matanya sejenak, memutar-mutar kursinya dengan sedikit gelisah. Pemikirannya terfokus pada langkah-langkah yang harus diambil berikutnya.
"Katakan pada tim formulasi bahwa aku ingin bertemu dengan mereka," perintah Tania tegas, tanpa membuka mata.
Leon yang mendengar permintaan tersebut merasa ragu sejenak. Ini bukan wewenang langsung Tania untuk mengatur pertemuan semacam itu, dan dia perlu mempertimbangkan bagaimana cara terbaik untuk menangani situasi ini.
"Akan saya usahakan," jawab Leon akhirnya dengan penuh pertimbangan.
Dia memutuskan untuk menyelesaikan perintah Tania dengan cara yang paling baik dan menghindari potensi masalah atau kecurigaan dari pihak lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments