14. Terjatuh

Suasana di belakang sekolah terasa cukup tenang, seolah tidak ada yang tahu bahwa di sana sedang terjadi konflik.

Hazel, yang kini terpojok di sudut tembok, berhadapan dengan Zen dan teman-temannya. Zen menyunggingkan senyum miring, menatap Hazel dengan tatapan penuh kemenangan.

"Lari ke mana lo?" tanyanya dengan nada mengejek, senyum miringnya semakin lebar.

Hazel menatap Zen dengan mata yang menyala penuh kebencian, merasa muak dengan sikap arogan yang diperlihatkan oleh Zen.

"Mukanya ngeselin banget, minta di tonjok," batin Hazel, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini.

Mata Hazel bergerak cepat, memeriksa sekeliling untuk mencari jalan keluar. Fokusnya tiba-tiba tertuju pada pohon kedondong yang tumbuh di dekat tembok.

Buahnya yang menggiurkan seakan memberi Hazel ide gila untuk mengalihkan perhatian Zen dan teman-temannya.

"Kak, nyolong kedondong yok?" ajak Hazel tiba-tiba dengan nada yang tidak terduga, alisnya naik turun, mencoba memasang wajah senakal mungkin.

Zen terkejut dengan ajakan Hazel yang tiba-tiba. Tawanya yang awalnya penuh kemenangan berubah menjadi tawa kebingungan.

"Hah? Nyolong kedondong?" ulang Zen, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

***

Di luar pagar sekolah, Panji berdiri dengan waspada, matanya mengawasi setiap sudut, memastikan tidak ada yang memperhatikan aksi mereka yang tengah berlangsung.

Di atas tembok yang mengelilingi halaman belakang sekolah, Tian duduk dengan santai namun tetap waspada, menunggu Hazel yang bersiap-siap untuk mengulurkan tangannya.

"Jangan ngintip loh. Kalau ngintip, matanya bintitan," ancam Hazel dengan nada setengah bercanda.

"Iya-iya. Cepetan sebelum ada yang lihat," ucap Zen, nadanya terdengar agak tergesa-gesa namun tetap tenang.

Entah bagaimana, tiba-tiba mereka berempat malah terlibat dalam aksi nyolong kedondong.

Salah satu kaki Hazel dengan hati-hati menginjak bahu Zen, mencari tumpuan yang stabil. Zen, yang sedikit membungkuk untuk memudahkan Hazel naik, merasakan beban ringan Hazel di pundaknya.

Dengan cengkeraman yang kuat pada bahu Zen, Hazel mengangkat kakinya yang lain dan mencoba menyeimbangkan tubuhnya.

"Enteng banget, nih cewek kayak gak makan," batin Zen sambil menahan tawa kecil.

Zen, yang sudah bersiap, perlahan-lahan berdiri tegak, memastikan Hazel tetap stabil. Hazel, sambil menahan napas, merasakan tubuhnya terangkat lebih tinggi, memungkinkan tangannya untuk mencapai tangan Tian yang terulur dari atas tembok.

Tian, yang duduk di atas tembok dengan satu kaki bergelantung ke bawah dan satu kaki terlipat, menggenggam tangan Hazel dengan erat.

"Tarik pelan-pelan, Tian," ucap Hazel dengan sedikit cemas, matanya fokus pada tangan Tian.

Tian mengangguk dan mulai menarik tangan Hazel dengan lembut, membantu Hazel untuk memanjat lebih tinggi. Hazel menggunakan kedua tangan untuk menarik dirinya, sementara kaki yang menapak di bahu Zen perlahan-lahan dipindahkan ke tembok.

Dengan sedikit usaha dan dorongan dari Zen, Hazel berhasil mengayunkan kakinya ke atas tembok dan akhirnya duduk berhadapan dengan Tian.

"Langsung aja loncat, Hazel. Gue di sini siap nangkap lo," kata Panji dengan nada meyakinkan, membuka tangannya lebar-lebar.

Hazel mengangguk, merasa yakin dengan kata-kata Panji. "Oke, gue loncat," katanya dengan suara yang lebih tegas, mempersiapkan dirinya untuk loncatan berikutnya.

Tian memegang tangan Hazel sejenak untuk memastikan keseimbangan Hazel sebelum dia melompat. "Hati-hati, ya," ucap Tian

Hazel tersenyum meyakinkan. "Gue siap," katanya, lalu melepaskan genggaman Tian dan berdiri di atas tembok, mengatur napasnya sekali lagi.

Hazel melompat dengan lincah, tubuhnya melayang sejenak di udara, tampak seolah-olah waktu berhenti. Sesaat kemudian, dengan suara gedebuk yang terdengar cukup keras, dia mendarat di tanah.

Namun, Panji yang belum sepenuhnya siap gagal menangkapnya dengan sempurna, membuat Hazel kehilangan keseimbangan dan terjatuh dengan posisi tengkurap.

"Aduh!" seru Hazel, mengernyitkan wajahnya menahan nyeri.

Perlahan-lahan, Hazel mencoba bangkit. Dia mengangkat kepala sedikit demi sedikit, merasakan denyut nyeri di jidatnya. Kemudian, dengan raut wajah yang menahan sakit, dia mulai mengangkat tubuh bagian atasnya dengan bertumpu pada tangan dan lututnya.

"Astaga, Hazel! Maaf, gue nggak siap," Panji bergegas menghampiri dengan langkah cepat, wajahnya penuh penyesalan dan kekhawatiran.

Dia segera menunduk untuk melihat Hazel lebih dekat, tangannya terulur dengan maksud membantu Hazel bangkit.

Hazel, meski menahan sakit, menerima uluran tangan Panji. Dengan perlahan, dia meraih tangan Panji dan mencoba berdiri. Panji dengan hati-hati menarik Hazel ke atas, membantu menstabilkan tubuhnya yang masih terasa lemas akibat jatuh.

Sementara itu, Zen dan Tian yang masih berada di atas tembok melihat kejadian itu dengan tatapan terkejut. Tian buru-buru melompat turun dengan lebih hati-hati, memastikan dirinya mendarat dengan aman.

Kakinya menyentuh tanah dengan lembut, tanpa suara keras. Begitu kakinya menyentuh tanah, dia segera berlari mendekati Hazel, wajahnya penuh kekhawatiran.

"Lo nggak apa-apa?" tanyanya dengan nada cemas, sambil meletakkan tangannya di bahu Hazel untuk memberi dukungan.

Hazel tertawa kecil, mencoba mengurangi ketegangan di antara mereka. "Gue nggak apa-apa. Cuma sedikit sakit," ucapnya sambil meringis, satu tangannya mengusap jidatnya yang terasa nyeri.

Dia mencoba berdiri tegak, meskipun rasa sakit masih terasa di  jidatnya, berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja kepada teman-temannya.

Zen melompat turun dari tembok dengan lincah, mendarat dengan mantap di tanah. Dia berlari mendekati mereka, matanya penuh kekhawatiran dan sedikit penyesalan karena tidak bisa membantu lebih cepat.

"Maaf, Hazel. Kita nggak nyangka lo bakal jatuh," ucap Zen sambil mengusap rambutnya sendiri dengan gelisah.

***

Hazel duduk dengan tenang di bawah naungan pohon, menjaga dengan cermat buah-buah kedondong yang berhasil mereka petik. Posisi duduknya nyaman, dengan kaki disilangkan dan punggung bersandar pada batang pohon.

Zen dan Tian dengan cekatan memanjat pohon, tangannya cepat meraih buah yang menggantung. Panji, dengan tugasnya sebagai pengumpul, mondar-mandir di sekitar mereka.

Setelah beberapa saat, mereka memutuskan untuk menghentikan kegiatan mereka dan mulai membagi buah-buah tersebut dengan adil.

Segera setelah menggigit buah itu, wajah Panji berubah. Alisnya mengernyit dan matanya menyipit seolah mencoba menahan rasa asam yang tiba-tiba meledak di mulutnya. Bibirnya mengerut dan ia menghela napas panjang, menahan rasa kecut yang begitu tajam.

"Yang ini kecut banget dah," keluh Panji sambil menahan rasa kecutnya.

Dia menahan buah itu di tangannya, seolah-olah memeriksanya lagi untuk memastikan apa yang baru saja dia alami. Dia menggeleng-gelengkan kepala sedikit, mencoba mengusir rasa kecut itu.

"Yang gue manis kok," ucap Zen sambil membuang kulit kedondong dengan mulutnya.

Tian yang duduk berseberangan dengan Hazel, memeriksa buah di tangannya sebelum menggigitnya. Ekspresinya sedikit berubah saat rasa sepat menyentuh lidahnya, tapi dia tidak seberapa mengeluh.

"Punya gue lumayan sepet sih. Punya lo gimana, Zel?" tanya Tian, penasaran.

Hazel, yang sejak tadi memperhatikan teman-temannya, mengambil satu buah kedondong yang sudah dia pilih sebelumnya. Dia menggigitnya dengan tenang dan tersenyum tipis. "Manis kok," jawab Hazel dengan tenang.

"Ini kebun punya siapa?" tanya Panji dengan rasa penasaran, sambil mengunyah kedondong yang kali ini lebih manis rasanya.

"Katanya punya keluarga Davian," jawab Zen dengan santai, sambil membuang kulit kedondong.

"Tanah seluas ini sayang banget kalau dianggurin," celetuk Hazel, pandangannya melayang-layang ke sekitar kebun yang cukup luas ini.

"Katanya masih proses pembebasan lahan gitu. Kalau udah sepenuhnya hak keluarga Davian, katanya mau dibangun gedung buat les privat, ruang belajar, pokonya banyaklah rencananya," jelas Zen dengan penuh pengetahuan tentang situasi kebun ini.

Panji mengangguk mengerti, mengunyah kedondong dengan rasa puas. Dia memandang sekeliling kebun yang terawat dengan baik, membayangkan rencana masa depan yang sedang direncanakan untuk tempat ini.

"Mungkin lo juga bisa ikut les privat di sini kalau udah jadi," ujar Tian, yang sebelumnya hanya diam menyimak pembicaraan mereka.

"Siapa tahu," sambung Hazel, tersenyum cerah.

"Kalian.."

Episodes
1 1. Beda Takdir
2 2. Lupa Nama
3 3. Jangan Nikung
4 4. Dendam
5 5. Cinta Merubah Cara Pandang
6 6. jadilah lebih Dewasa
7 7. Jangan Berharap
8 8. Biar Lengket
9 9. Akhir Part
10 10. Senam Jantung
11 11. Jalan Tanpa Bawa Perasaan
12 12. Gelembung Sabun
13 13. Janji Gak Akan Gila
14 14. Terjatuh
15 15. Teman
16 16. Pulang
17 17. Lebih Baik Menjauh
18 18. Sosok Asing
19 19. Butuh di Puk-puk
20 20. Gosip
21 21. Bokek
22 22. Bidadari
23 23. Rumus The King
24 24. Mata Duitan
25 25. Foto Alay
26 26. Baik dan Jahat
27 27. Cuma Pena
28 28. Antara Grup
29 29. Kepala Berisik
30 30. Pergeseran Peran
31 31. Aroma Uang
32 32. Mati Rasa
33 33. Ribet
34 34. Battle of Brains
35 35. Keponakan
36 36. Coba Tebak?
37 37. Gelas
38 38. LSD
39 39. Parno
40 40. Narkoba?
41 41. Pacran?
42 42. Jadilah Anak Penurut
43 43. Saling Memanfaatkan
44 44. Egois
45 45. Dosis
46 46. Berbagi
47 47. Mental
48 48. Nyakitin Diri Sendiri
49 49. Reaksi Kimia
50 50. Informasi
51 51. Yang Berkuasa Yang Menang
52 52. Tertekan
53 53. Bidak Catur
54 54. Ilusi
55 55. Hirarki
56 56. Kejam
57 57. Hati-hati
58 58. Sky
59 59. Bebas
60 60. Suara
61 61. Bayangan
62 62. Gelombang Kecemasan
63 63. Explo
64 64. Sakit Jiwa
65 65. Bukan Penguasa Utama
66 66. Resiko
67 67. Drama
68 68. Di Balik Layar
69 69. Semuanya Berubah
70 70. Terjebak Dalam Ilusi
71 71. Genting
72 72. Dia Bisa Mati
73 73. Including death
74 74. Berakhir Seperti Semestinya
75 75. Dunia ini Keras
76 76. Kaset Usang
77 77. Garis Lurus
78 78. Uang
79 79. Terlalu Gelap
80 80. Bisa Aja Dia Mati
81 81. Balas Dendam
82 Epilog
Episodes

Updated 82 Episodes

1
1. Beda Takdir
2
2. Lupa Nama
3
3. Jangan Nikung
4
4. Dendam
5
5. Cinta Merubah Cara Pandang
6
6. jadilah lebih Dewasa
7
7. Jangan Berharap
8
8. Biar Lengket
9
9. Akhir Part
10
10. Senam Jantung
11
11. Jalan Tanpa Bawa Perasaan
12
12. Gelembung Sabun
13
13. Janji Gak Akan Gila
14
14. Terjatuh
15
15. Teman
16
16. Pulang
17
17. Lebih Baik Menjauh
18
18. Sosok Asing
19
19. Butuh di Puk-puk
20
20. Gosip
21
21. Bokek
22
22. Bidadari
23
23. Rumus The King
24
24. Mata Duitan
25
25. Foto Alay
26
26. Baik dan Jahat
27
27. Cuma Pena
28
28. Antara Grup
29
29. Kepala Berisik
30
30. Pergeseran Peran
31
31. Aroma Uang
32
32. Mati Rasa
33
33. Ribet
34
34. Battle of Brains
35
35. Keponakan
36
36. Coba Tebak?
37
37. Gelas
38
38. LSD
39
39. Parno
40
40. Narkoba?
41
41. Pacran?
42
42. Jadilah Anak Penurut
43
43. Saling Memanfaatkan
44
44. Egois
45
45. Dosis
46
46. Berbagi
47
47. Mental
48
48. Nyakitin Diri Sendiri
49
49. Reaksi Kimia
50
50. Informasi
51
51. Yang Berkuasa Yang Menang
52
52. Tertekan
53
53. Bidak Catur
54
54. Ilusi
55
55. Hirarki
56
56. Kejam
57
57. Hati-hati
58
58. Sky
59
59. Bebas
60
60. Suara
61
61. Bayangan
62
62. Gelombang Kecemasan
63
63. Explo
64
64. Sakit Jiwa
65
65. Bukan Penguasa Utama
66
66. Resiko
67
67. Drama
68
68. Di Balik Layar
69
69. Semuanya Berubah
70
70. Terjebak Dalam Ilusi
71
71. Genting
72
72. Dia Bisa Mati
73
73. Including death
74
74. Berakhir Seperti Semestinya
75
75. Dunia ini Keras
76
76. Kaset Usang
77
77. Garis Lurus
78
78. Uang
79
79. Terlalu Gelap
80
80. Bisa Aja Dia Mati
81
81. Balas Dendam
82
Epilog

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!