Suasana di belakang sekolah terasa cukup tenang, seolah tidak ada yang tahu bahwa di sana sedang terjadi konflik.
Hazel, yang kini terpojok di sudut tembok, berhadapan dengan Zen dan teman-temannya. Zen menyunggingkan senyum miring, menatap Hazel dengan tatapan penuh kemenangan.
"Lari ke mana lo?" tanyanya dengan nada mengejek, senyum miringnya semakin lebar.
Hazel menatap Zen dengan mata yang menyala penuh kebencian, merasa muak dengan sikap arogan yang diperlihatkan oleh Zen.
"Mukanya ngeselin banget, minta di tonjok," batin Hazel, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini.
Mata Hazel bergerak cepat, memeriksa sekeliling untuk mencari jalan keluar. Fokusnya tiba-tiba tertuju pada pohon kedondong yang tumbuh di dekat tembok.
Buahnya yang menggiurkan seakan memberi Hazel ide gila untuk mengalihkan perhatian Zen dan teman-temannya.
"Kak, nyolong kedondong yok?" ajak Hazel tiba-tiba dengan nada yang tidak terduga, alisnya naik turun, mencoba memasang wajah senakal mungkin.
Zen terkejut dengan ajakan Hazel yang tiba-tiba. Tawanya yang awalnya penuh kemenangan berubah menjadi tawa kebingungan.
"Hah? Nyolong kedondong?" ulang Zen, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
***
Di luar pagar sekolah, Panji berdiri dengan waspada, matanya mengawasi setiap sudut, memastikan tidak ada yang memperhatikan aksi mereka yang tengah berlangsung.
Di atas tembok yang mengelilingi halaman belakang sekolah, Tian duduk dengan santai namun tetap waspada, menunggu Hazel yang bersiap-siap untuk mengulurkan tangannya.
"Jangan ngintip loh. Kalau ngintip, matanya bintitan," ancam Hazel dengan nada setengah bercanda.
"Iya-iya. Cepetan sebelum ada yang lihat," ucap Zen, nadanya terdengar agak tergesa-gesa namun tetap tenang.
Entah bagaimana, tiba-tiba mereka berempat malah terlibat dalam aksi nyolong kedondong.
Salah satu kaki Hazel dengan hati-hati menginjak bahu Zen, mencari tumpuan yang stabil. Zen, yang sedikit membungkuk untuk memudahkan Hazel naik, merasakan beban ringan Hazel di pundaknya.
Dengan cengkeraman yang kuat pada bahu Zen, Hazel mengangkat kakinya yang lain dan mencoba menyeimbangkan tubuhnya.
"Enteng banget, nih cewek kayak gak makan," batin Zen sambil menahan tawa kecil.
Zen, yang sudah bersiap, perlahan-lahan berdiri tegak, memastikan Hazel tetap stabil. Hazel, sambil menahan napas, merasakan tubuhnya terangkat lebih tinggi, memungkinkan tangannya untuk mencapai tangan Tian yang terulur dari atas tembok.
Tian, yang duduk di atas tembok dengan satu kaki bergelantung ke bawah dan satu kaki terlipat, menggenggam tangan Hazel dengan erat.
"Tarik pelan-pelan, Tian," ucap Hazel dengan sedikit cemas, matanya fokus pada tangan Tian.
Tian mengangguk dan mulai menarik tangan Hazel dengan lembut, membantu Hazel untuk memanjat lebih tinggi. Hazel menggunakan kedua tangan untuk menarik dirinya, sementara kaki yang menapak di bahu Zen perlahan-lahan dipindahkan ke tembok.
Dengan sedikit usaha dan dorongan dari Zen, Hazel berhasil mengayunkan kakinya ke atas tembok dan akhirnya duduk berhadapan dengan Tian.
"Langsung aja loncat, Hazel. Gue di sini siap nangkap lo," kata Panji dengan nada meyakinkan, membuka tangannya lebar-lebar.
Hazel mengangguk, merasa yakin dengan kata-kata Panji. "Oke, gue loncat," katanya dengan suara yang lebih tegas, mempersiapkan dirinya untuk loncatan berikutnya.
Tian memegang tangan Hazel sejenak untuk memastikan keseimbangan Hazel sebelum dia melompat. "Hati-hati, ya," ucap Tian
Hazel tersenyum meyakinkan. "Gue siap," katanya, lalu melepaskan genggaman Tian dan berdiri di atas tembok, mengatur napasnya sekali lagi.
Hazel melompat dengan lincah, tubuhnya melayang sejenak di udara, tampak seolah-olah waktu berhenti. Sesaat kemudian, dengan suara gedebuk yang terdengar cukup keras, dia mendarat di tanah.
Namun, Panji yang belum sepenuhnya siap gagal menangkapnya dengan sempurna, membuat Hazel kehilangan keseimbangan dan terjatuh dengan posisi tengkurap.
"Aduh!" seru Hazel, mengernyitkan wajahnya menahan nyeri.
Perlahan-lahan, Hazel mencoba bangkit. Dia mengangkat kepala sedikit demi sedikit, merasakan denyut nyeri di jidatnya. Kemudian, dengan raut wajah yang menahan sakit, dia mulai mengangkat tubuh bagian atasnya dengan bertumpu pada tangan dan lututnya.
"Astaga, Hazel! Maaf, gue nggak siap," Panji bergegas menghampiri dengan langkah cepat, wajahnya penuh penyesalan dan kekhawatiran.
Dia segera menunduk untuk melihat Hazel lebih dekat, tangannya terulur dengan maksud membantu Hazel bangkit.
Hazel, meski menahan sakit, menerima uluran tangan Panji. Dengan perlahan, dia meraih tangan Panji dan mencoba berdiri. Panji dengan hati-hati menarik Hazel ke atas, membantu menstabilkan tubuhnya yang masih terasa lemas akibat jatuh.
Sementara itu, Zen dan Tian yang masih berada di atas tembok melihat kejadian itu dengan tatapan terkejut. Tian buru-buru melompat turun dengan lebih hati-hati, memastikan dirinya mendarat dengan aman.
Kakinya menyentuh tanah dengan lembut, tanpa suara keras. Begitu kakinya menyentuh tanah, dia segera berlari mendekati Hazel, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Lo nggak apa-apa?" tanyanya dengan nada cemas, sambil meletakkan tangannya di bahu Hazel untuk memberi dukungan.
Hazel tertawa kecil, mencoba mengurangi ketegangan di antara mereka. "Gue nggak apa-apa. Cuma sedikit sakit," ucapnya sambil meringis, satu tangannya mengusap jidatnya yang terasa nyeri.
Dia mencoba berdiri tegak, meskipun rasa sakit masih terasa di jidatnya, berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja kepada teman-temannya.
Zen melompat turun dari tembok dengan lincah, mendarat dengan mantap di tanah. Dia berlari mendekati mereka, matanya penuh kekhawatiran dan sedikit penyesalan karena tidak bisa membantu lebih cepat.
"Maaf, Hazel. Kita nggak nyangka lo bakal jatuh," ucap Zen sambil mengusap rambutnya sendiri dengan gelisah.
***
Hazel duduk dengan tenang di bawah naungan pohon, menjaga dengan cermat buah-buah kedondong yang berhasil mereka petik. Posisi duduknya nyaman, dengan kaki disilangkan dan punggung bersandar pada batang pohon.
Zen dan Tian dengan cekatan memanjat pohon, tangannya cepat meraih buah yang menggantung. Panji, dengan tugasnya sebagai pengumpul, mondar-mandir di sekitar mereka.
Setelah beberapa saat, mereka memutuskan untuk menghentikan kegiatan mereka dan mulai membagi buah-buah tersebut dengan adil.
Segera setelah menggigit buah itu, wajah Panji berubah. Alisnya mengernyit dan matanya menyipit seolah mencoba menahan rasa asam yang tiba-tiba meledak di mulutnya. Bibirnya mengerut dan ia menghela napas panjang, menahan rasa kecut yang begitu tajam.
"Yang ini kecut banget dah," keluh Panji sambil menahan rasa kecutnya.
Dia menahan buah itu di tangannya, seolah-olah memeriksanya lagi untuk memastikan apa yang baru saja dia alami. Dia menggeleng-gelengkan kepala sedikit, mencoba mengusir rasa kecut itu.
"Yang gue manis kok," ucap Zen sambil membuang kulit kedondong dengan mulutnya.
Tian yang duduk berseberangan dengan Hazel, memeriksa buah di tangannya sebelum menggigitnya. Ekspresinya sedikit berubah saat rasa sepat menyentuh lidahnya, tapi dia tidak seberapa mengeluh.
"Punya gue lumayan sepet sih. Punya lo gimana, Zel?" tanya Tian, penasaran.
Hazel, yang sejak tadi memperhatikan teman-temannya, mengambil satu buah kedondong yang sudah dia pilih sebelumnya. Dia menggigitnya dengan tenang dan tersenyum tipis. "Manis kok," jawab Hazel dengan tenang.
"Ini kebun punya siapa?" tanya Panji dengan rasa penasaran, sambil mengunyah kedondong yang kali ini lebih manis rasanya.
"Katanya punya keluarga Davian," jawab Zen dengan santai, sambil membuang kulit kedondong.
"Tanah seluas ini sayang banget kalau dianggurin," celetuk Hazel, pandangannya melayang-layang ke sekitar kebun yang cukup luas ini.
"Katanya masih proses pembebasan lahan gitu. Kalau udah sepenuhnya hak keluarga Davian, katanya mau dibangun gedung buat les privat, ruang belajar, pokonya banyaklah rencananya," jelas Zen dengan penuh pengetahuan tentang situasi kebun ini.
Panji mengangguk mengerti, mengunyah kedondong dengan rasa puas. Dia memandang sekeliling kebun yang terawat dengan baik, membayangkan rencana masa depan yang sedang direncanakan untuk tempat ini.
"Mungkin lo juga bisa ikut les privat di sini kalau udah jadi," ujar Tian, yang sebelumnya hanya diam menyimak pembicaraan mereka.
"Siapa tahu," sambung Hazel, tersenyum cerah.
"Kalian.."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments