Hazel berdiri di depan papan tulis dengan postur tubuh yang agak terdiam. Tangan kirinya memegang erat selembar kertas yang terlihat penuh dengan coretan dan tulisan. Di sisi lain, tangan kanannya dengan mantap memegang sepidol.
Sesekali, dengan gerakan halus, Hazel melirik ke belakang. Matanya menangkap ekspresi Tania yang tengah mengamatinya dengan seksama. Ekspresi Tania yang serius dan penuh penelitian membuat Hazel merasa sedikit tertekan
"Kerjain, soal modelan gini mah gampang buat lo, gak ada apa-apanya," ucap Tania dengan nada santai.
Hazel menghadap papan tulis dengan perasaan yang campur aduk. Ada sedikit rasa miris yang menghantui hatinya.
"Otak gue jarang dipakai untuk mikir yang berat-berat," batinnya.
Rasanya seperti otaknya sudah terlatih untuk berlari-lari di lintasan yang datar, tanpa harus memanjat dinding yang curam.
Tangan Hazel mulai menari di papan tulis dengan lancar. Entah bagaimana, otaknya bekerja dengan normal hari ini. Tanpa ragu, ia mulai menulis aturan tata nama alkana dengan huruf-huruf yang jelas dan rapi.
"Alkana itu hidrokarbon jenuh yang rantainya cuma ada ikatan tunggal doang. Cuma ada ikatan satu-satu gitu," ucap Hazel dengan nada yang riang.
Ia melanjutkan, "Nah, formula umum alkana itu CnH2n+2. Jadi, misalnya kita punya metana, itu C1H4, etana C2H6, propana C3H8, dan seterusnya."
Setiap kata yang diucapkannya disertai dengan gerakan tegas sepidol di papan tulis, mencatat rumus-rumus kimia dengan jelas. Ekspresinya terlihat antusias dan penuh semangat, meskipun terkadang ia tersenyum kecil sambil memikirkan cara terbaik untuk menjelaskan.
"Butana. C4H10, karena kalau dihitung dengan formula umum CnH2n+2, n-nya itu 4. Jadi, namanya butana," jelas Hazel sambil menulis formula butana di papan tulis dengan garis-garis yang tegas.
"Lalu, C5H12, karena n-nya itu 5. Jadi, rantainya pentana," tambahnya lagi sambil menggarisbawahi kata "pentana" dengan penuh percaya diri.
Tania duduk di belakang, memperhatikan Hazel dengan ekspresi campuran antara kagum dan kebingungan.
"Dia pinter kayak biasanya," gumam Tania dalam hati, mengakui keahlian Hazel dalam menjelaskan. Namun, ia tidak bisa menghilangkan perasaan aneh yang masih menyelimuti pikirannya tentang Hazel.
Tania terus memandang Hazel dengan seksama, mencoba mencari tahu apa yang membuatnya merasa tidak nyaman. Gerakan-gerakan tangan Hazel yang lincah dan ekspresi wajahnya yang fokus, menunjukkan betapa seriusnya ia dalam menjelaskan materi.
"Entah kenapa, gue masih ngerasa aneh sama Hazel," ucap Tania dalam hati, memutar-mutar pikiran untuk mencari jawaban atas kebingungannya.
***
Malam itu, di ruang tamu yang tenang, Hazel duduk dengan senyum yang sulit untuk dibendung. Sebuah buku kimia terbuka di pangkuannya, dan matanya terlihat bersinar menyala ketika ia memikirkan materi yang baru saja dipelajarinya.
"Kamu kenapa?" tanya Revan, kakaknya, yang masuk ke ruangan dan melihat Hazel tersenyum sendiri.
Hazel tersentak dan menatap Revan dengan tatapan yang berbinar. "Kakak," serunya lalu berdiri dan menghadap Revan dengan cepat, membuat kakaknya sedikit terkejut dengan reaksi mendadak adiknya itu.
"Padahal biasanya dia kelihatan takut kalau lihat aku," batin Revan, mengingat kembali interaksi mereka yang selalu terasa kaku dan jaraknya terlalu jauh.
Mereka memiliki hubungan yang rumit, dengan sebuah "pembatas transparan" yang terasa di antara mereka. Meskipun Revan tegas dalam mengasuh Hazel, dia juga merasa bersalah karena mungkin telah terlalu kasar.
Tanpa menunggu lebih lama, Hazel menatap Revan dengan penuh harapan.
"Boleh peluk gak?" tanya Hazel dengan suara lembut.
Sebelum Revan sempat menjawab, Hazel sudah melangkah mendekati dan memeluknya dengan erat. Revan merasa kaku di awal, tidak terbiasa dengan kedekatan seperti ini dengan adiknya sendiri setelah begitu lama.
Namun, dalam pelukan itu, Revan mulai merasakan kehangatan dan kebahagiaan yang ditransmisikan oleh Hazel. Ia mulai melonggarkan ketegangan di tubuhnya, merasakan kelembutan dari adiknya yang begitu lama terabaikan.
"Ya ampun, gue makin seneng hidup di sini. Punya wajah cantik, otak pinter, dan kakak yang enak dipandang setiap saat," batin Hazel dalam pelukannya, mengungkapkan perasaannya yang hangat dan penuh kebahagiaan.
Revan menyadari bahwa mungkin caranya yang terlalu tegas dan kasar selama ini telah membangun dinding antara mereka. Namun, malam ini adalah bukti bahwa di antara mereka masih ada kehangatan yang tak terungkapkan secara verbal.
***
Liliana menatap layar handphonenya dengan ekspresi campur aduk, terbaring santai di atas kasurnya. Pikirannya melayang-layang ke masalah yang sedang membelitnya. Ananta, Hazel, dan segala kompleksitas hubungan di antara mereka menjadi pusat perhatiannya.
"Kenapa gue biarin Ananta deketin Hazel? Walau cuma untuk mainin perasaannya. Tapi lihat mereka, malah gue sendiri yang ngerasa dipermainin," batin Liliana dalam keheningan kamarnya.
Dia merenungkan semua keputusan dan konsekuensi dari tindakannya, merasakan remuk di dalam hatinya sendiri.
Tiba-tiba, ketukan pelan terdengar di pintu kamarnya. Dengan cepat, pintu terbuka, dan muncullah sosok Devano, kakaknya yang memakai baju lengan pendek. Wajahnya serius, tanpa senyuman di wajahnya ketika berbicara dengan Liliana.
"Kakak mau bicara sama kamu," ucap Devano dengan suara yang mantap, namun terdengar juga penuh perhatian dan kekhawatiran.
Liliana langsung merasa panas dingin. Dia tahu, jika Devano sudah mengambil inisiatif untuk bicara seperti ini, artinya masalah yang dihadapinya sangatlah serius.
***
Liliana duduk di samping Devano dengan pemandangan kolam renang yang luas di depan mereka, lampu hias yang tersebar di sekitar kolam memancarkan cahaya lembut yang mempercantik suasana malam itu.
Kedua saudara ini duduk dalam keheningan yang tegang, atmosfernya terasa sarat dengan ketegangan yang tersirat dari percakapan yang akan mereka lakukan.
"Berhenti membuat masalah dengan Hazel," pinta Devano dengan suara yang tenang namun tegas.
Liliana mendengus ringan, menggelengkan kepala dengan penolakan yang halus.
"Dia duluan, Kak," belanya, mencoba membela tindakannya kepada Devano.
"Dia bilang dia bakalan nikah sama Kakak dan mengusir aku dari rumahku sendiri," tambah Liliana dengan nada sedikit kesal.
Devano mengangkat alisnya, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Matanya menatap Liliana dengan serius, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Baginya, Hazel adalah orang yang terlihat sangat polos dan baik, jauh lebih baik daripada adiknya sendiri.
"Kamu ngaco," tawa sinis keluar dari bibir Devano, menunjukkan ketidakpercayaannya pada alasan yang Liliana berikan.
"Dia sendiri yang bilang. Dia mau rebut ayah dan bunda, dia juga mau merebut kakak dariku," ucap Liliana dengan nada yang frustasi, mencoba menjelaskan situasinya kepada Devano.
Hatinya merasa muak dengan Hazel yang terlihat begitu baik di depan semua orang, sementara sebenarnya dia merasa Hazel adalah sosok yang jahat dan licik.
Liliana menatap ke lantai, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya.
"Dia tuh jahat, dia pura-pura baik, dia selalu gangguin aku, ngata-ngatain aku dengan kata-kata setajam pisau," tambahnya, suaranya tercekat oleh emosi yang memenuhi hatinya.
Devano menghela nafas dalam-dalam, mencoba menjaga ketenangan di tengah situasi yang semakin tegang.
"Jadilah lebih dewasa," ucapnya dengan lembut, meskipun suaranya terdengar tegas.
Kata-kata itu terasa seperti sebuah nasihat yang ingin ia berikan kepada adiknya, meski kadang sulit untuk mengendalikan perasaannya sendiri.
Setelah itu, Devano meninggalkan Liliana begitu saja, tanpa kata-kata lebih lanjut. Dia merasa perlu memberikan ruang kepada Liliana untuk merenungkan apa yang telah dikatakan dan untuk menemukan kejelasan dalam pikirannya sendiri.
Di baliknya, hati Devano terasa berat. Dia tahu bahwa permasalahan antara Liliana dan Hazel tidak akan mudah untuk diselesaikan, dan keputusan yang diambilnya mungkin akan memengaruhi hubungan mereka sebagai saudara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments