19

Tok.. Tok.. Tokk!!

"Masuk.." seru Celsa. Sepagi ini sudah ada yang mengetuk pintu kamarnya, di saat ia sedang bersiap untuk berangkat ke sekolah.

Celsa menyisir rambut panjangnya ketika bi Darmi masuk tergopoh-gopoh ke dalam kamar. "Non, ini sarapannya bibi masukkan ke kotak bekal aja ya.." ucap Bi Darmi sembari memasukkan kotak bekal ke dalam tas Celsa.

"Kenapa Bi?"

"Den Juan baru pulang dalam keadaan teler, non.. Cepetan non berangkat sekolah, dan jangan lewat pintu depan. Bibi takut non diapa-apain lagi sama den Juan.."

Celsa menghela nafas. Sekarang masih jam 6 pagi. Dia akan berangkat paling awal kalau jam segini sudah berangkat. Tapi yaaa.. Daripada cari masalah sama Kak Juan. Bisa-bisa dia bonyok lagi hari ini. Ditambah dia bisa telat datang ke sekolah.

"Ya udah lah Bi.. Celsa pakai sepatu dulu."

Namun ungkapan hari sial tak ada di kalender, benar adanya. Celsa sengaja lewat pintu belakang. Tapi justru bertemu dengan Juan yang baru saja memuntahkan isi perutnya di wastafel dapur. Celsa hendak memutar arah, namun terlambat. Juan lebih dulu mencekal lengannya.

"Mau kemana?" tanya Juan.

"Sekolah." jawab Celsa. "Hari senin gini bukannya lo ada kuliah pagi. Napa malah ga pulang semalem? Malah teler pagi-pagi."

Sungguh, kalau saja ukuran badannya lebih besar dan tenaganya lebih kuat, Celsa pasti sudah membanting kakak kandungnya ini agar cepat sadar. Ia sudah kehabisan kata untuk menyadarkan kakaknya bahwa selama ini yang ia lakukan adalah salah.

Hidup sang kakak berantakan sejak orang tua mereka meninggal. Kuliahnya terbengkalai. Juan juga kecanduan alkohol dan ob at terlarang. Setiap saat ia mabuk, ia akan meracau dan mengumpati Celsa sepuas hati, bahkan tak jarang melakukan kekerasan fisik pada adik kandungnya sendiri.

Juan mencengkram kuat rahang Celsa. "Lo ngerti apa, anj ing?!"

Juan menatap tajam Celsara. Netranya yang sudah memerah itu, menandakan tingkat kesadaran Juan yang semakin menipis. Melihat itu, Bi Darmi bergegas lari keluar rumah. Memanggil bantuan dari tetangga sekitar.

Celsa mulai menitikkan air mata. Karena sakit di rahangnya, juga batinnya yang sudah sangat lelah menghadapi situasi seperti ini berulang kali. "Jadi kakak gue lagi, please..! Jadi kak Juan yang sayang sama gue lagi."

Dugg!!

"Aahh..!" Celsa memekik kesakitan. Juan membenturkan kepala Celsa ke meja pantry di dekatnya.

"Jangan mimpi! Gue gak sudi punya adek pembawa sial kayak lo! Jangan lupa, lo yang udah bunuh mama papa!!" Juan mengayunkan lengannya. Tangannya yang mengepal siap menghantam Celsa sekali lagi.

"Itu, pak..! Disana.. Mereka di sana!" seruan Bi Darmi dan tiga orang tetangga yang masuk bersama mengejutkan Juan. Dengan tangkas tiga pria berbadan besar itu mencekal Juan. Sedangkan Bi Darmi membawa Celsa keluar rumah.

"Non, sakit banget ya non?" Bi Darmi mengobati memar di dahi Celsa. Saat ini mereka sedang duduk di rumah salah seorang tetangga dan mengoleskan salep untuk memar.

Celsa mengusap air mata yang membasahi pipinya. Ia tidak mengucap sepatah katapun. Tidak ada sakit yang melebihi hancurnya hati.

"Hari ini ga usah sekolah dulu ya, non.. Istirahat aja."

Celsa menggeleng. Di sekolah sepertinya lebih baik daripada ia harus meratapi hidupnya di rumah. Sendirian.

...----------------...

Jam istirahat sekolah, Celsa membuka bekal dari Bi Darmi. Ia sengaja melewatkan sarapan tadi pagi, karena butuh waktu tambahan untuk merias wajahnya, agar memar di pelipis tertutup sempurna. Melelahkan.

Farra dan Tyas makan di kantin. Sehingga Celsa melahap bekalnya seorang diri. Bi Darmi membawakan bekal sandwich tuna dengan saus mayonaise pedas, lengkap dengan buah semangka dan sekotak susu full cream. Benar-benar bekal sehat.

Baru selesai ia menghabiskan bekalnya, ketika ponsel Celsa berdenting menandakan ada pesan chat masuk. Celsa pun membuka notifikasi di ponselnya. Tertarik dengan nama pengirim pesan tersebut.

Meyza : dateng ke lab biologi. Ada yang mau gue omongin.

"Mau ngomongin apa lagi nih si cecunguk..?" gumamnya seorang diri.

Meski enggan, namun rasa penasaran membawa langkah kaki Celsa tetap menuju ke lab biologi. Di sana Meyza tidak sendiri. Cewek itu bersama Alisha, anak IPS yang pernah duduk mepet mendekati Gama secara terang-terangan.

"Dih, temen lo random amat.." cibir Celsa dengan smirk mengejek di hadapan Meyza. "Emang lo ga punya temen di kelas lo sendiri? Pick me sih lo jadi cewek.. Jadi pada males temenan sama lo."

"Ga usah banyak bacot." sahut Meyza.

"Laah.. Lo nyuruh gue kesini bukannya buat ngebacot bareng?"

Meyza beralih pada Alisha. "Al, sorry.. Lo tunggu gue di luar ya.."

Alisha mengangguk. Ia berjalan ke luar lab dan menutup pintu.

Celsa bersedekap di dada. Netranya mengedar di sekitar ruangan laboratorium. Enggan melihat wajah sok kalem Meyza. "Cepetan ngomong. Gue gak punya banyak waktu."

Plakk !

Celsa membelalak. Gak ada angin, gak ada hujan, Meyza menamparnya. Celsa mengusap pipi kirinya.

"Puas lo! Gara-gara lo ngebacot di depan kakek, gue dilarang main lagi sepulang sekolah. Nyokap gue bahkan nyariin les tambahan buat gue!"

"Buahahahahaha...!!" Celsa tergelak. Ia tau Meyza sangat kesal setiap kali mamanya menyuruh les ini itu. "Untungnya gue kenyang pukulan dari kak Juan. Jadi tamparan lo tadi enteng, kayak ditabok kucing."

"Makanya, bacot lo juga dijaga. Ngapain lo cerita tentang gue ke nyokap lo. Nyokap lo jadi bernafsu banget kan pengen jatuhin gue di depan kakek. Coba kalau lo bisa nyumpal mulut nyokap lo dikit aja, ya gue juga gak bakalan usil bahas lo depan kakek kok.."

Meyza mengeraskan rahangnya. Ia kesal setengah mati pada cewek bar-bar di depannya ini. Rasanya tidak cukup dibalas dengan satu tamparan. "Lo udah bikin gue sengsara. Nyokap gue sampai nyuruh gue putusin Anzel.. Tapi lo gak ada nyesel-nyeselnya. Malah cengengas-cengenges.. Nyesel gue dulu pernah temenan sama lo."

Celsa terkekeh. "Sama! Gue juga nyesel kenal manusia serakah kaya lo."

Sekalipun mulutnya tertawa, jauh di lubuk hati Celsa teramat pedih. Ia hanya ingin orang-orang di sekitarnya menyayanginya. Merangkulnya. Ia hancur. Namun keluarganya seolah tidak puas akan kehancuran Celsa. Kak Juan, Meyza, tante Linda, kakek Bhrata. Mereka berlomba meluluh lantakkan mental gadis yang usianya belum genap 18 tahun itu.

"Mulai sekarang, gue mau lo jauhin Gama! Jauhin geng 0! Mereka punya gue dan cuma boleh temenan sama gue."

Celsa tergelak. "Hahahaha... Ambil dah ambil.. Lima-limanya buat lo." kelakar Celsa. "Pacar lo satu doang nyokap lo udah ngamuk. Gimana kalau pacar lo jadi lima? Apa gak makin mencak-mencak ntar tante Linda. Hahahaa.."

"Diem gak lo?!" sentak Meyza. Bersamaan dengan itu, ia melihat Gama berada di luar ruangan lab biologi. Cowok itu mengintip dari pintu kaca yang terbuka.

Sebersit ide jahat muncul di kepala Meyza. Tidak ada waktu untuk memikirkan konsekuensinya. Gama sudah memutar handle pintu ruang lab. Ia hanya ingin keadaan kembali seperti semula. Gama, Anzel, dan geng 0, tetap berpusat padanya. Tanpa Celsa di sekitarnya.

"Gue harus minta maaf berapa kali, biar lo maafin gue? Apa lo mau gue mutusin Anzel buat lo?" dengan gerakan cepat Meyza meraih lengan Celsa, lantas mendorong tubuhnya sendiri ke belakang. Seolah-olah Celsa menghempaskannya dengan kuat.

Brakk!!

"Awwh!" Meyza terjatuh dengan punggung terbentur meja.

Gama yang baru masuk lab, diikuti oleh Alisha, sangat terkejut. Mereka bergegas menghampiri dua cewek yang sedang berseteru di depannya.

Celsa mengernyit keheranan. "Laah.. Bikin drama apa lagi lo?"

"Mey, lo gak papa?" tanya Gama khawatir.

"Meyza lo gak apa-apa?" tanya Alisha. Gadis itu berjongkok untuk memastikan keadaan Meyza. "Gama, Meyza pingsan."

"Bawa ke uks, cepet." perintah Gama.

Celsa yang melihat kehadiran Gama mulai bisa membaca situasi. Ia tertawa keras dibuatnya. "Anjeeer... Ternyata lo ngundang tamu vvip buat nonton drama lo? Pantesan lo totalitas banget. Hahahahaa.."

"Jangan bawa ke UKS. Mending langsung bawa aja ke UGD. Kayaknya kepala ibu peri kita ini butuh di CT scan deh.." kelakar Celsa. Sumpah, ia ingin sekali memberi penghargaan untuk akting Meyza yang sangat menjiwai.

"Cel!"

Plakk!!

Mendengar tawa Celsa dan raut wajah tanpa penyesalan, mendadak Gama meradang. Bagaimana bisa Celsa tertawa saat ada orang lain yang terluka karenanya?

Sedetik setelah mendaratkan telapak tangannya di pipi mulus Celsa, ada penyesalan yang terbersit. Gama memandangi tangan yang ia gunakan untuk menampar gadis itu. Ini adalah kali pertama ia memukul perempuan. Ia tau tak seharusnya ia lepas kendali. Tapi bukannya gadis ini yang keterlaluan?

Sedangkan Celsa memegangi pipinya yang sudah kena tamparan 2 kali dalam waktu dekat. Bolehkah ia menangis? Bukan karena sakit di pipi. Tapi karena hatinya yang berkali-kali dihancurkan. Baru saja ia merasa nyaman bersama Gama. Merasa cowok itu tidak buruk juga untuk dijadikan teman.

Rupanya, keadaan menyadarkannya berkali-kali untuk tidak lagi berharap bisa merasakan kebahagiaan.

.

.

...----------------...

BERSAMBUNG 🥀

Terpopuler

Comments

Neneng Dwi Nurhayati

Neneng Dwi Nurhayati

terutama gama yg gak bisa ngehargain atau baik ke celsa

2024-09-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!