15

"Siapa yang ngajarin lo naik motor gede?" tanya Gama memecah keheningan diantaranya dan Celsa. Mereka berdua saat ini sedang duduk di trotoar tak jauh lokasi balapan beberapa menit lalu.

Galtero dan Raka sudah pulang lebih dulu. Gama meminta mampir di kios rokok yang ada di dekat sirkuit balapan untuk membeli rokok dan sekaleng soft drink. Celsa pun ikut membeli minuman sebotol teh dingin, menenggaknya sembari duduk santai di pinggir trotoar.

"Bokap gue."

Gama menaikkan sebelah alisnya. Ia menatap Celsa karena tertarik dengan cerita selanjutnya. "Keren dong bokap lo.. Bokap gue aja yang cupu, udah mewanti-wanti gue buat stop balapan kalau gue udah lulus SMA nanti."

Celsa tersenyum. Meski netranya jauh menerawang, ia tetap tersenyum. "Dulu, papa gue jago balap motor. Mau balap liar, mau balapan legal, dijabanin semua.. Beliau banyak menangin berbagai kejuaraan. Tapi setelah papa ketemu mama yang seorang seniman sejati, demi mengambil hati mama, papa langsung tobat dan ga pernah nyentuh motornya lagi."

Gama tertawa. "Aneh banget. Emangnya kenapa harus berhenti balapan?"

"Mama ga suka naik motor. Apalagi kalau balapan, mama selalu bilang itu berbahaya. Yaa.. Emang bahaya sih.." celsa tersenyum lagi. "Tapi papa rela lepas hobinya buat mama. Beliau malah menjadikan motor sebagai bisnis barunya setelah menikah dengan mama. Papa buka showroom motor-motor gede. Terus ngajarin gue dan kakak gue naik motor.."

"Oh lo punya kakak.." gumam Gama.

Celsa mengangguk. "Dulu gue sering balapan sama kakak gue sendiri. Balapan iseng-iseng aja sih.. Menang atau kalah, ga pernah dapet apa-apa juga dari papa." Celsa terkekeh. Mengingat banyak kenangan manis yang terjadi di masa lalu. Tanpa sadar sudut matanya berair. Cepat-cepat ia seka, sebelum terlihat oleh Gama.

"Karena itu lo jago banget bawa motornya.." gumam Gama lagi.

Celsa mengangguk-angguk. "Yaa.. Karena gue udah berhasil kalahin juara nasional kayak lo, padahal udah dua tahun gue vakum ga pegang motor, bisa dibilang emang gue jago sih.."

"Dih songong lo.."

Gama dan Celsa tertawa.

Tengah malam di pinggir jalan yang sepi, tawa mereka terdengar renyah dan tanpa beban. Sepasang teman yang berbagi cerita. Entah kenapa jantung Gama jadi berdentam tak karuan. Ia melihat sisi lain gadis bar-bar yang dikenalnya ini. Gadis yang sorot matanya menerawang jauh entah kemana. Gadis yang meskipun tertawa, namun netranya menyiratkan kesedihan.

"Kalau gue dengar sepenggal cerita lo, keluarga lo harmonis deh kayaknya.." Gama tak dapat menahan rasa penasaran dalam dada. Ia ingin sekali mengorek sisi terdalam gadis ini. Gama tak dapat membohongi dirinya sendiri. Ia tertarik pada Celsa. Ya, hanya tertarik.

"Ya, terus?"

"Kenapa rumah lo selalu keliatan kosong? Selalu cuma ada lo tiap kali gue dateng.."

"Hampir tiga taun yang lalu, mama dan papa gue meninggal dunia karena kecelakaan mobil. Waktu itu gue masih umur 14 tahun.. Di saat tepat satu hari sebelum ulang tahun gue yang ke 15 tahun."

Netra Gama membulat. Ia menatap intens Celsa yang masih terus menatap kosong jalanan di depannya. "Jadi karena itu lo..."

"Gue kenapa?" Celsa beralih menatap Gama. Lelaki yang masih memperlihatkan wajah kagetnya itu membuat Celsa geli. "Lo mau tanya, karena itu gue jual diri?"

Uhuuk.. Uhukk..!!

Gama terbatuk. Kaget juga mendengar Celsa secara gamblang mengutarakan maksudnya. "Ehmm.. Maksud gue.."

"Kenapa lo jadi gagap gitu? Keselek knalpot lo?" canda Celsa.

"Breng sek lo!"

Celsa terkekeh melihat Gama yang salah tingkah tak jelas. 'Percuma juga gue jelasin Gam.. Mana mungkin lo percaya. Lo pasti lebih percaya sama Meyza kan..?'

Gama berdehem sekilas. Menetralkan degup jantung, yang entah kenapa berdentam hebat tak seperti biasanya. Dia sampai berulang kali menghela nafas panjang. Bodoh kalau ia tidak sadar. Gama hanya menampik kenyataan jika ia gugup saat berbicara dengan Celsa.

Please deh, seorang Gamaliel gugup saat mengobrol dengan cewek? Gak pernah! Dan gak mungkin.

"Kalau gue minta lo berhenti open Bo mau gak?" Gama kembali berdehem. "Gue bisa ngomong ke mami gue, buat transfer duit ke lo setiap bulan. Bisa lo pake buat biaya sekolah lo, biaya makan lo, uang saku lo, buat apa aja terserah.."

Tawanya hampir meledak, tapi Celsa tahan sekuat tenaga karena ingin mendengar kelanjutan ucapan Gama.

"Ya, gak ada kata terlambat buat berubah jadi diri lo yang lebih baik, Cel.. Setidaknya, nanti kalau lo ketemu cowo yang lo suka, lo ga akan malu dengan profesi lo.."

"Buahahahahaaa!!"

Gama menjitak kening Celsa. "Anji ng lo! Gue udah serius ngomongnya, lo malah ngakak. Apanya yang lucu sih, kocak lo!"

"Sakit, bego!" Celsa meringis kesakitan, tapi juga tak bisa menghentikan tawanya. Ia menepuk dadanya sendiri untuk meredam gelaknya. "Enggak deh, makasih tuan muda Gamaliel... Maap-maap aja, gue ga butuh duit lo."

"Ya daripada lo-"

"Heh, jamal.. Gue makan pake duit sendiri aja, mulut lo semena-mena banget menghina gue.. Apalagi kalau gue hidup dari duit ortu lo? Bisa mati ngenes gue.. Tertekan sama semua hinaan lo.. Ogah deh, makasih.."

Celsa melanjutkan, "Papa gue ninggalin harta yang cukup kok buat gue dan kakak gue hidup. Papa punya saham di perusahaan keluarga yang sekarang dikelola kakek setelah papa meninggal. Penghasilan dari showroom motor papa gue juga lancar. Belum lagi dari sanggar seni milik mama gue. Walaupun gue ga setajir lo, tapi kehidupan gue sampai sepuluh tahun mendatang masih bisa dibilang terjamin laah.."

Gama menyipit dan berpikir serius. Mencerna setiap kata yang dilontarkan Celsa. "Kalau begitu.. Lo harusnya bisa berhenti jadi pe la cur dong.."

"Bisa banget.." Celsa menyahut cepat. Ia menggeleng geli setelahnya. "Udah ah, pulang yuk."

Gama mengangguk, lalu beranjak dari duduknya. Celsa mengikuti cowok itu berjalan menuju motornya. Sesaat kemudian Gama kembali menghentikan langkahnya hingga Celsa nyaris menubruk tubuh kekar lelaki itu.

"Apaan sih segala pake ngerem dadakan.." gerutu Celsa.

"Gue mau jadi pacar lo beneran, bukan cuma pura-pura depan geng 0. Asal lo berhenti party dan ju al diri Cel.." ya, butuh perdebatan panjang di otak dan hati Gama sebelum mengucapkan itu. Tapi cowok itu telah bertekad. Ia tertarik dengan Celsa. Titik.

"Gue gak sudi."

"Kenapa? Segitu sukanya lo sama dunia malam dan se ks bebas?"

"No! Maksud gue, gue gak sudi jadi pacar lo.."

Gama mengernyit. "Kenapa? Gue ganteng, smart, gue juga setia.."

"Gue percaya lo setia. Sekarang aja lo setia banget sama Meyza, padahal dia pacar orang lain. Lo mau ngelakuin apa aja buat memastikan kebahagiaan dia.." Celsa menghela nafas panjang. "Gue pastikan gue ga akan ada sangkut pautnya lagi sama Anzel.. Jadi lo ga perlu bertindak sejauh ini buat jaga perasaan Meyza."

'Meyza? Nama cewek itu bahkan terlupakan sepenuhnya sejak gue ngabisin waktu sama nih cewek. Aneh banget..' Gama tertegun. Padahal sejak sore tadi ia memergoki Meyza berciuman dengan Anzel, detik ini ia bahkan melupakan kegundahannya. Tak terbersit sedikitpun bayangan Meyza di benaknya.

Gama semakin yakin, Celsa punya daya tarik yang cukup kuat membekas di hatinya.

"Gue salut sih sama lo.. Kok lo bisa sih ngeliat orang yang lo cintai deket sama orang lain..? Apalagi itu temen lo sendiri."

"Gak laah. Bagi gue, yang penting orang yang gue sayang bahagia, gue juga ikut bahagia." Gama menelan saliva setelahnya. Ucapannya memang ada benarnya. Namun tidak sepenuhnya. Nyatanya, saat melihat Anzel dan Meyza saling mencumbu siang tadi, hatinya tak baik-baik saja.

"Lo gak cemburu gitu?" Celsa menaikkan sebelah alisnya. Tak habis pikir dengan jalan pikiran seorang Gama. "Kalau gue liat orang yang gue sukain pelukan atau ciu man sama cewek lain, udah gue jambak tuh cewek."

Gama tergelak. "Rasa cemburu sih ada.. Tapi gue bukan orang rendahan kayak lo yang lampiasin emosi dengan cara yang bar-bar dan gak berkelas."

Celsa mencibir.

"Trus kenapa lo ga ngerebut Anzel dari Meyza? Kenapa gak lo jambak aja tuh si Meyza?" giliran Gama balik bertanya.

"Karena gue kecewa. Sejak gue tau Anzel jadian sama Meyza, gue kecewa banget. Saking kecewanya, gue udah ga ada perasaan apa-apa lagi sama tuh cowok.. Jadi gak ada keinginan buat ngerebutin tuh cowok breng sek." jawab Celsa lugas.

Gama hanya mengangguk. Meski di dalam kepalanya kini berkecamuk berbagai asumsi. Gama sadar, ia hanya mendengar cerita dari satu sudut pandang saja. Yaitu hanya berdasar atas cerita Meyza. Ia tak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi. Baik dari sudut pandang Celsa, maupun dari Anzel, si aktor.

Dan kini Gama sadar. Ia sudah terlalu dalam mencampuri urusan Celsa - Meyza - Anzel. Tanpa tau cerita yang sebenarnya mendasari.

.

.

...----------------...

BERSAMBUNG 🥀

.

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!