Celsa merias diri sesimpel yang ia bisa. Memakai make up tipis untuk menutup bekas lebam di tulang pipi yang masih sedikit membekas meski sudah lewat 3 hari. Memakai dress manis berwarna pastel pink sebab tak ingin tampak mencolok. Ia bersiap untuk datang ke perayaan ulang tahun kakeknya, Bhrata Arkadinata. Acara tahunan yang paling menyebalkan bagi Celsa.
Disana, semua keluarga besarnya akan berkumpul. Berlomba-lomba mencari muka untuk merebut perhatian sang kakek. Sumpah, Celsa tak tertarik sedikitpun.
Jika dulu saat orang tuanya masih hidup, Celsa tak merasa ada masalah saat ada acara apapun dengan keluarga besarnya. Namun, setelah mereka tiada, Celsa dan Juan harus tetap datang. Harus tetap menghormati kakeknya yang otoriter itu. Menyebalkan, bukan?
Brakk!! Braakk! Braakk!!
"Buruan, Cel! Atau gue tinggal lo.." teriak Juan dari luar kamar setelah menggedor pintu kamar Celsa.
"IYA !!" balas Celsa, sembari bergegas keluar. Ia merapikan dirinya sebelum keluar kamar dan pergi ke rumah kakeknya.
Sesampainya di rumah Bhrata, Celsa duduk menyendiri di bangku batu yang ada ada di sudut taman yang dijadikan tempat berlangsungnya pesta keluarga. Pesta yang setiap tahunnya dihadiri tiga keluarga dari ketiga anak Bhrata itu menjadi ajang reuni keluarga. Tentu saja hanya Celsa dan Juan yang tidak didampingi oleh orang tuanya.
Celsa hanya mengamati interaksi orang-orang dewasa di sekitarnya. Kak Juan yang berbaur dengan sepupu-sepupu lelaki yang sebaya dengannya. Sepupu yang masih anak-anak berlarian kesana kemari. Juga Meyza yang terus menempel di lengan sang mama. Tante Linda. Adik kedua mendiang papa Celsa.
"Kak Cels.. Ngapain sendirian disitu?" seru salah seorang sepupunya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
"Gak papa, kakak capek aja.." jawabnya sekenanya.
"Disuruh kakek masuk kak, acaranya mau mulai."
"Oke, Ray.. Thanks yaa." Celsa berjalan lemas. Mengutuk dalam hati kenapa acara semacam ini harus tetap ada di saat orang tuanya sudah tiada.
Ia jengah bukan main. Setelah prosesi tiup lilin, akan ada penyerahan kado untuk kakek. Jika dua tahun yang lalu Celsa tidak terpikir untuk memberi kado pada sang kakek. Tahun ini ia membawa kado alakadarnya saja. Kakeknya suka, syukur. Gak suka juga bodo amat. Yang penting ia sudah punya inisiatif untuk memberi.
Sedangkan ajang memberi kado ini kerap kali dijadikan ajang perebutan hati kakek Bhrata. Om-om dan tante-tantenya akan berlomba-lomba memberikan kado mahal. Ada yang memberikan tiket liburan keluar negeri, jam tangan branded dengan harga fantastis, setelan jas dari desainer ternama, dan yang paling kocak; sekian persen saham perusahaan yang sedang happening, Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk cari muka?
"Celsa dan Juan kasih apa nih..?" celetuk tante Linda, yang juga merupakan mama dari Meyza. Celsa hanya membuang muka. Sebal pada satu-satunya adik papa yang amat sangat julid itu. Entah ini perasaan Celsa, atau memang benar adanya, jika tante Linda tampak sangat tidak menyukai Celsa. Ah, bodo laah..
Kak Juan mengangsurkan kotak berpita biru yang manis. Entah kapan orang itu menyiapkan kadonya. Celsa ikut melirik penasaran, apa gerangan isi kado dari kak Juan.
"Oh, ternyata jam tangan juga. Sama kayak kado dari om Pram dong. Tapi itu merknya masih kalah jauh dari yang dibeliin om Pram, Juan.." celoteh tante Linda dengan kekehan sok asik.
"Tidak apa-apa.. Terima kasih Juan." sahut kakek Bhrata. "Juan kan masih anak kuliahan, jangan disamakan dengan Pram yang sudah bekerja jadi manager cabang dong.."
Juan tersenyum miring. Merasa menang di atas angin karena sudah dibela kakek. "Sama-sama Kek.."
"Celsa, kamu gimana? Bawa kado apa buat kakek?" tanya tante Linda lagi. "Tante sudah woro-woro loh di grup keluarga, sudah dari 2 minggu lalu. Cukup harusnya buat siapin kado. Apalagi dari dua tahun lalu, kamu ga pernah kasih kado apa-apa buat kakek kamu.."
"Lah emangnya Meyza juga kasih kado sendiri buat kakek, Tan?" balas Celsa tengil.
"Meyza kan kadonya jadi satu sama mama papanya.."
"Ooh, terus yang ga punya mama papa harus bawa kado sendiri-sendiri, begitu Tan?" bukan Celsa namanya kalau tidak membuat keributan. Juan kembali tersenyum miring. Ia tahu betul ketangguhan adiknya.
"Iya, mbak Linda.. Kado dari Juan, anggap saja perwakilan buat Celsa juga." sahut tante Rita, istri dari om Pram.
Tante Linda mencebik sewot. "Ya, kan saya cuma nanya. Kalau kamu ga bawa kado, ya tinggal bilang aja gak bawa. Ribet amat."
"Sudah. Jangan ributin kado. Kakek bersyukur keluarga kita bisa kumpul malam ini. Jangan ada ribut-ribut."
Celsa maju menghampiri sang kakek. Duduk di sisi pria tua itu seraya meraih lengannya. "Celsa bawa kado kok buat kakek. Harusnya sih udah dateng. tunggu sebentar ya Kek.."
"Oh ya..?"
Sedetik kemudian, seorang asisten rumah tangga meminta ijin masuk sambil membawa benda pipih berukuran cukup besar. Ia meletakkannya di tengah ruangan.
"Ini kado buat kakek?"
Celsa mengangguk. Ia mempersilahkan kakeknya untuk membuka penutupnya. Dengan cekatan, pria yang usianya sudah 78 tahun namun masih tampak bugar itu, merobek kertas coklat tersebut.
"Wow.. Ini lukisan kamu Cel?" binar netra Bhrata tak bisa ditutupi. Beliau terkagum-kagum melihat gambar dalam lukisan tersebut. Lukisan abstrak, namun menggambarkan latar kehidupan tahun 70an. Unik, berkesan, dan luar biasa indah.
"Iya dong Kek.. Maaf Celsa ga bisa beliin barang mahal. Cuma bisa kasih ini. Semoga kakek suka.."
"Suka banget, nak.. Ini sangat bagus. Hahaha.. Kamu memang berbakat seperti mamamu, Celsara. Kakek bangga sama kamu." puji Bhrata seraya menepuk-nepuk bahu Celsa. Senyum dan tawa bernada bass itu pertanda kalau orang tua itu benar-benar menyukai kado dari Celsa.
"Ton, Tono.. Bawa ini. Pasang di ruang kerjaku." seru kakek memanggil asistennya. "Bawanya hati-hati Ton, awas rusak."
"Sudah, sudah.. Ayo kita makan. Hahahaa.. Kakek senang banget malam ini."
Celsa mengekori om dan tantenya menuju meja makan. Tak lupa ia mengibaskan rambut panjangnya di depan tante Linda, untuk mengejek orang tua itu. Membuat Linda mencebik kesal. Ia memutar otak untuk kembali membalas anak ingusan itu.
Di meja makan, sudah terhidang banyak sekali makanan. Meski enggan, Celsa tetap menyendok makanan. Untuk sekedar beramah tamah saja. Ia berharap malam ini cepat berakhir dan ia pulang dengan damai.
Tentu saja itu hanya akan jadi angan-angan Celsa. Mana mungkin ia bisa damai berkumpul dengan keluarga besar yang orang-orang di dalamnya selalu bertopeng dan bermuka dua?
.
.
...----------------...
BERSAMBUNG 🥀
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Neneng Dwi Nurhayati
double up kak author
2024-09-12
2