Budi terus berjalan menyusuri koridor rumah sakit, hingga akhirnya tiba di ruangan rawat putri semata wayangnya.
"Bagaimana, Yah? Mana Bastian?" tanya Ani yang masih duduk di samping ranjang tempat Ingrid terbaring.
"Masalahnya tidak sesederhana yang kita pikirkan, Bun," sahut Budi menghela napas yang terasa berat.
"Tidak sederhana? Maksud ayah?" tanya Ani nampak semakin penasaran.
Akhirnya Budi membawa Ani keluar dari ruangan itu ke taman yang ada di rumah sakit itu. Budi menceritakan apa yang diceritakan Hugo tadi pada istrinya. Ani sangat terkejut setelah mendengar semuanya.
"Yah, apa Bastian masih mau melanjutkan pernikahan ini? Terus, jika dilanjutkan, apa tidak akan terjadi masalah dalam rumah tangga mereka nanti karena kejadian semalam? Tapi kalau tidak dilanjutkan, berarti Bastian harus menceraikan Ingrid dan Marcel harus menikahi Ingrid," ujar Ani menghela napas panjang membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
"Kita akan bicarakan semuanya setelah semuanya kumpul. Ayah akan pergi untuk bicara pada petugas pengurus ruangan dulu. Kita harus memindahkan Ingrid ke ruangan lain. Kita tidak akan mampu membayar biaya rumah sakit, jika Ingrid ditempatkan di ruangan itu. Ayah tidak ingin mengharapkan Bastian dan keluarganya membayar biaya rumah sakit dan pengobatan Ingrid," sahut Budi kemudian meninggalkan Ani.
Ani hanya bisa menghela napas panjang menatap suaminya yang melangkah semakin jauh darinya.
Sebenarnya sejak masuk ke ruangan Ingrid di rawat, Budi dan Ani bertanya-tanya, kenapa putri mereka di tempatkan di ruangan VIP.
Budi nampak menghela napas berkali-kali, "Biayanya pasti sangat mahal. Aku akan meminta pihak rumah sakit untuk memindahkan Ingrid ke ruangan rawat yang biasa saja," gumam Budi terus berjalan menuju ruangan petugas pengurus ruangan.
Tak lama kemudian, Budi pun sampai di tempat petugas pengurus ruangan.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya petugas wanita itu sopan.
"Saya ingin meminta pindah ruangan untuk putri saya, Ingrid," ucap Budi pada petugas itu.
"Dengan alasan apa, Pak?" tanya petugas pengurus ruangan itu.
"Saya tidak mampu membayar, jika putri saya di tempatkan di ruangan VIP," sahut Budi jujur.
"Tapi orang yang mengantar ibu Ingrid yang meminta agar ibu Ingrid ditempatkan di ruangan VIP, Pak. Bahkan orang itu bersikeras meninggalkan deposit dengan jumlah besar untuk biaya perawatan ibu Ingrid dan meminta dokter terbaik di rumah sakit ini untuk merawat ibu Ingrid," sahut petugas pengurus ruangan itu.
Budi nampak terkejut mendengar penjelasan petugas pengurus ruangan itu.
"Kalau boleh saya tahu, siapa yang mengantar putri saya ke sini?"
"Seorang pria yang memakai topi dan masker. Saya tidak bisa melihat wajahnya,"
"Siapa namanya?" tanya Budi semakin penasaran.
"Maaf, orang itu meminta identitasnya dirahasiakan,"
Budi menghela napas panjang. Petugas itu benar-benar tidak mau memberitahukan padanya tentang orang yang mengantar Ingrid ke rumah sakit dan juga membiayai biaya berobat Ingrid.
Akhirnya Budi pun kembali ke ruangan putrinya dan memberitahukan tentang hal ini pada istrinya. Ani juga terkejut mendengar tentang hal ini. Tapi Budi dan Ani sepakat merahasiakan hal itu dari siapapun. Mereka yakin, suatu hari nanti orang misterius yang membayar biaya berobat Ingrid itu akan muncul.
*
Saat hari beranjak siang, Ingrid pun mulai sadar.
"Ayah, Bunda.." gumam Ingrid lirih.
Melihat putrinya sadar, Budi pun langsung menekan tombol untuk memanggil dokter.
"Akhirnya kamu sadar juga," ucap Ani tersenyum lega dengan sebelah tangan menggenggam jemari tangan Ingrid, sedangkan sebelahnya mengusap lembut kepala Ingrid.
"Bunda.. Ayah..aku..aku.." Ingrid nampak ragu untuk bicara dan matanya nampak berkaca-kaca.
"Kamu tidak perlu menceritakan apapun. Pikiran saja kesehatan kamu," ujar Budi yang tidak ingin menanyakan apapun pada putrinya sebelum putrinya siap bercerita.
Budi tahu, Ingrid pasti sangat syok dan terpukul dengan kejadian semalam.
*
Siang telah berganti malam. Sesuai perintah papanya melalu sambungan telepon tadi, Marcell pulang saat jam makan malam. Tak lama kemudian Bastian juga pulang dan langsung menuju ruangan makan dimana Hugo, Marcell dan Ema sudah duduk di tempat duduk mereka masing-masing.
Ema adalah ibu Bastian, istri pertama Hugo. Sedangkan Marcell adalah anak dari seorang wanita yang diperkosa Hugo saat Hugo mabuk. Hugo menikahi ibu Marcell secara siri, karena Ema tidak memberi izin pada Hugo untuk menikahi ibu Marcell secara resmi di mata hukum. Ibu Marcell pun tidak mau tinggal di rumah Hugo karena tidak ingin memiliki konflik dengan istri sah Hugo.
Saat Marcell lulus sekolah dasar, ibu Marcell meninggal dunia karena melahirkan. Bahkan adik Marcell pun ikut meninggal. Setelah itu akhirnya Marcell dibawa ke rumah Hugo.
Ema tidak menyukai Marcell, karena setelah menikah dengan ibu Marcell, ternyata Hugo jatuh cinta pada ibu Marcell. Selama Marcell tinggal di rumah itu, Ema pun enggan untuk bicara dengan Marcell. Begitu pula dengan Bastian yang tidak menyukai Marcell. Apalagi sejak tinggal di rumah Hugo, Marcell mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang berlimpah dari Hugo. Hal itulah yang membuat Ema dan Bastian semakin tidak menyukai Marcell.
Marcell tersenyum samar saat melihat Bastian masuk ke ruangan makan. Sedangkan Ema dan Hugo nampak terkejut melihat Bastian.
"Bas, apa yang terjadi padamu? Kenapa wajahmu babak belur seperti itu?" tanya Ema yang langsung beranjak dari duduknya menghampiri Bastian.
"Nggak apa-apa, ma," sahut Bastian nampak malas membahas tentang lukanya.
"Apa kalian berkelahi lagi?" tanya Hugo menatap Bastian dan Marcel bergantian.
"Beraninya kamu membuat anakku seperti ini. Dasar anak haram! Anak wanita murahan!" teriak Ema dengan penuh amarah menghampiri Marcell.
"Ema!" bentak Hugo dengan intonasi suara yang tinggi, karena merasa tidak suka Ema mengatai Marcell anak haram dan juga mengatai ibu Marcell wanita murahan.
"Plak"
Ema hendak menampar Marcell, tapi Marcell langsung menangkap tangan Ema, hingga tidak bisa menamparnya.
"Ibuku bukan wanita murahan. Ibuku tidak pernah merayu papa untuk ditiduri. Dan aku juga tidak pernah minta dilahirkan di dunia ini sebagai anak haram. Jadi, jangan pernah menghina ibuku lagi!" ucap Marcell dengan suara penuh penekanan menatap tajam Ema.
Ema menghentakkan tangannya hingga pegangan tangan Marcell di tangannya terlepas.
"Tidak mungkin ibumu tidak menggoda suamiku. Lihatlah buktinya! Sifat kamu sama persis dengan ibumu. Sama-sama perebut milik orang. Jika ibumu adalah pelakor, kamu adalah pebinor. Kamu meniduri istri Bastian. Apa namanya kalau bukan perebut bini orang? Dasar brengseek! Bisanya hanya membuat malu keluarga. Nongkrong sana nongkrong sini, ikut geng, tawuran, kuliah juga lulus dengan nilai pas-pasan. Seharusnya kamu mati saja bersama ibumu yang berprofesi sebagai penjaja cinta satu malam itu daripada membuat malu keluarga," sarkas Ema penuh emosi.
"Ema! Jaga bicaramu!" bentak Hugo dengan suara lebih tinggi dari sebelumnya.
"Ibuku bukan wanita seperti itu!" teriak Marcell tidak terima ibunya di tuduh yang tidak-tidak. Meskipun ibunya telah meninggal, tetap saja Marcell tidak rela ibunya di hina dan dijelek-jelekkan.
"Ibumu memang pela.."
"Brakk"
"Cukup!" bentak Hugo menggebrak meja memotong kata-kata Ema. Sendok di atas meja sampai terpental, kuah sayur dan air dalam gelas juga sedikit tumpah karena aksi menggebrak meja Hugo itu.
"Jangan menghina dan menuduh ibu Marcell lagi! Dia adalah wanita baik-baik. Dia masih perawan saat aku tiduri. Dia juga tidak pernah menggoda aku, bahkan dia tidak pernah menuntut apapun dariku selama menikah denganku. Dia menerima apapun yang aku berikan tanpa mengeluh. Jadi jangan pernah mengatakan ibu Marcell wanita murahan," tandas Hugo yang sampai saat ini masih merasa bersalah karena tidak bisa menjadi suami yang baik bagi ibu Marcell.
Ibu Marcell meninggal karena terlambat di bawa ke rumah sakit. Sebab waktu itu Hugo sedang berada di rumah yang ditempatinya bersama Ema. Hal itu menjadi penyesalan Hugo hingga saat ini. Seandainya dirinya berada di samping ibu Marcell saat itu, mungkin ibu Marcell dan adik Marcell tidak akan meninggal.
Ema nampak bersungut-sungut, lalu duduk di tempatnya semula. Sedangkan Marcell nampak mengepalkan kedua tangannya menahan emosi.
"Mulai makan dan jangan bicara apapun di meja makan!" ujar Hugo dengan suara yang terdengar dingin.
Akhirnya empat orang itupun makan dalam keheningan. Namun mereka nampak tidak berselera makan karena pertengkaran tadi.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Hilda Yanti
buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
2024-11-26
1
Tarmi Widodo
pak Hugo toh,Marsel balas dendam
2024-07-16
2
Mr.VANO
jadi hugo biang kerokny...mulai terbuka rahsia keluarga mereka
2024-06-06
2