Pagi itu, aroma rencana Arum dan Nita sudah menyeruak di udara. Dua emak itu sibuk ngetik chat reminder ke anak-anak mereka.
📩 Arum: “Ingat ya, jam 10 di Dapur Ceria! Bawa semangat dan hati yang terbuka~”
📩 Nita: “Jangan lupa senyum, Cila! Senyum bisa nambah rasa manis di masakan, loh~”
Cila membaca pesan itu sambil selonjoran di kasur, wajahnya ceria tapi matanya sedikit sembap. Semalam dia lihat nama “Dea” muncul di notifikasi ponsel Gevan saat cowok itu ninggalin HP-nya di meja makan. Bukan cuma nama... tapi isi pesannya:
“Boleh ketemu? Aku pengin ngobrol, tentang kita… dan Gio.”
Tentang kita? Emangnya masih ada kita? batin Cila, senyum miris
Tapi ya udah. Dia bukan tipe yang nangis di pojokan. Dia... Cila! Pemeran utama dalam hidupnya sendiri. Hari ini harus tetap heboh dan centil, biar gak ada yang sadar hatinya ngilu.
Di Kelas Masak
Dapur Ceria ternyata nggak seceria namanya. Kelas hari ini cuma berdua—Gevan dan Cila. “Private class” katanya. Tapi Cila mendadak merasa ini kayak audisi MasterChef... versi romantis.
Chef Instruktur mereka, Bu Rani, langsung menyambut dengan senyum lebarnya.
“Baik, hari ini kita akan masak chicken teriyaki with a twist of sambal teri—permintaan khusus dari salah satu peserta, ya?”
Gevan melirik Cila. “Kamu request?”
“Biar ada ‘twist’nya, Mas. Hidup tanpa kejutan itu hambar~” katanya sambil kedip sebelah.
Masakan pun dimulai.
Cila sibuk mengiris bawang bombay, tapi matanya malah panas bukan karena bawang. Ia kepikiran Dina. Si mantan istri. Si cantik yang dulu pernah jadi segalanya buat Gevan.
Sementara Gevan sendiri... mulai gak fokus. Dia belum bales chat itu, tapi kepala dan hatinya lagi duel jurus kungfu. Kalau gue ketemu Dina, itu berarti ngasih harapan? Atau cuma penutupan?
“MAS!!! TANGKEP!!!”
Cila tiba-tiba melempar wortel dari seberang meja.
Gevan reflek nangkep. “APAAN SIH?!”
“Lagi melamun, ya? Hadeuuh, ini masak, bukan drama kolosal!” Cila nyengir, tapi senyum itu penuh kepalsuan.
Gevan cuma menghela napas. “Maaf... Saya lagi... kepikiran aja.”
Cila meletakkan pisau dan mendekat. Suaranya sengaja dibuat ceria banget. “Hmm... Mas Gevan lagi naksir siapa nih sampe susah fokus?”
“Enggak, bukan gitu…”
“Cieee... jangan bilang... mantan ya?” katanya sambil tertawa ngakak. Tapi tawanya gak nyampe ke matanya.
Gevan diam.
Dan diam itu lebih nyakitin dari jawaban apapun.
Tangan Cila bergetar sedikit. Tapi dia langsung ambil panci dan pura-pura sibuk numis sambal teri.
“Gak papa kok, Mas. Kalau mau ketemu mantan, ya ketemu aja. Aku ngerti... aku kan bukan siapa-siapa...”
Gevan akhirnya angkat suara, pelan. “Cila, kamu... penting. Tapi ini gak segampang itu. Ada Gio juga.”
Cila tetap membelakangi. “Justru karena ada Gio, harusnya Mas tahu... siapa yang sekarang nemenin kalian tiap hari.”
Hening. Cuma bunyi minyak panas dan sendok kayu yang diaduk dengan emosi.
Tapi lagi-lagi, Cila menarik napas dalam dan balik badan sambil senyum lebar.
“Udah ah, masak lagi! Nanti gosong kayak harapan aku!”
Setelah kelas selesai
Cila jalan cepat ke parkiran. Dia butuh udara. Tapi Gevan nyusul, narik tangan Cila pelan.
“Cila, tunggu. Saya tahu kamu lihat chat itu.”
Cila menoleh, senyumnya lelah.
“Mas... kalau masih ada ruang buat orang lain di hati Mas, aku gak maksa buat masuk. Tapi tolong... jangan suruh aku pura-pura gak ngerasa apa-apa.”
Gevan mengangguk pelan. “Saya gak minta kamu pura-pura. Saya cuma... bingung.”
“Kalau gitu, aku kasih waktu. Tapi jangan kelamaan, Mas. Soalnya... aku gak janji bakal nunggu selamanya.”
Gevan mau ngomong, tapi Cila udah balik centil. “Mas, cobain deh... sambal terinya udah pas belum?”
Dia suapin pakai sendok kecil, paksa masukin ke mulut Gevan. Cowok itu kaget, tapi akhirnya ngunyah.
“…Enak,” gumamnya.
“Kan! Rasa boleh pedas, asal hatinya tetep manis.”
Dia lalu melangkah pergi.
Dan Gevan cuma bisa berdiri di sana, sambil mikir—tentang masa lalu, tentang Cila, dan tentang sambal teri yang anehnya... sekarang jadi rasa yang paling ngangenin.
Di Rumah
Arum dan Nita lagi evaluasi sambil ngopi.
“Gimana tadi kelasnya?” tanya Nita.
“Gevan pulang diem. Cila juga cuma bilang ‘seru, Ma’ tapi nadanya... kok kayak abis nelen kaktus.”
“Kamu yakin gak ada yang salah?”
Arum mengernyit. “Jangan-jangan... ada gangguan sinyal dari masa lalu...”
Nita langsung berdiri. “Waktunya Plan C.”
“Plan C?”
“Cewek Heboh Gak Gampang Nyerah. Kita latih Cila buat... tetap jadi dirinya. Tapi lebih cerdas, bukan cuma heboh.”
Mereka saling tos.
Operasi masak-masak mesra boleh goyah, tapi misi cinta belum berakhir.
Di Rumah Keyla
Sore itu, Cila ngebut naik Motor ke rumah Keyla. Belum sempat ganti baju kelas masak, dia udah duduk ngedeprok di sofa rumah sahabatnya itu sambil nelen es krim langsung dari wadah.
“Jadi... mantannya ngechat?” tanya Keyla, duduk bersila sambil nontonin Cila ngunyah galau.
Cila mengangguk, mewek dikit. “Ngechat, ngajak ketemu. Gak jelas banget, kayak hantu mantan yang muncul tanpa permisi!”
Keyla mengelus kepala Cila. “Sabar... lo tuh udah keren banget. Masih bisa senyum, masih bisa ngasih sambal teri...”
“Sambal teri itu penuh perasaan, tau gak?!” seru Cila.
“Tau, tau. Tapi... ya ampun, Cil. Lo yakin gak salah lihat? Jangan-jangan itu Dina Lorenza, bukan mantannya Gevan.”
“Key, ini bukan sinetron jadul!” Cila langsung lempar bantal.
Mereka tertawa sebentar. Tapi kemudian, suasana berubah serius lagi.
“Lo masih sayang, ya?” tanya Keyla, lembut.
Cila mengangguk pelan. “Sayang. Tapi kayaknya gue cuma ‘pengisi kekosongan’. Bukan tujuan akhir.”
Keyla diam sejenak. Lalu berdiri, ambil remote TV, dan nyalain channel musik Korea.
“Udah ah. Lo terlalu lama berkubang di kesedihan. Sekarang waktunya... ritual penyembuhan.”
“Ritual apaan?”
“Debat idola. BTS vs EXO. Let’s go.”
“YA AMPUN NIH ANAK—”
“BTS forever, babe!”
“EXO dong! Visual! Vocal! Stage presence! Jangan debat!”
“Ealah, EXO udah kayak abang-abang pensiunan!”
“Mendingan pensiun, daripada BTS yang gaya rambutnya kayak sedotan bekas capuccino!”
Dan begitulah. Dua jam kemudian, Cila lupa kalau dia sempat sakit hati. Lupa kalau ada Dina. Yang dia ingat cuma teriakan-teriakan absurd dan lemparan bantal sambil ngebahas siapa yang lebih pantas jadi “suami ideal.”
Di tengah debat konyol itu, Cila tiba-tiba terdiam sejenak. Hatinya hangat.
Gak semua luka harus di sembuhin dengan cowok. Kadang... sahabat, bantal, dan lagu idolamu cukup bikin hidup lebih ringan.
Mereka tertawa keras sampai lemas, dan baru berhenti setelah suara ringtone ponsel Cila menyela kehebohan.
“Woi centil kecil, lo di mana?!” suara Mama Cila langsung meledak dari speaker.
Cila menjauhkan ponsel dari telinganya sambil meringis. “Ya ampun, Ma! Kuping Cila belum diasuransi, loh!”
“Jangan banyak gaya! Ini udah jam berapa, anak gadis orang masih kelayapan! Pulang! Mama masak sop kaki sapi spesial. Tapi sopnya tinggal kuah, karena kakinya Mama makan duluan.”
Keyla ngakak di samping. “Sumpah, mama lo stand-up comedian alami.”
“Jangan ketawa-ketawa lo, Key! Lo juga belum ngembaliin Tupperware Mama! Yang warna biru muda, bentuknya kayak cinta tak berbalas!”
“BAHAHAHA!”
Cila nyaris jatuh dari sofa. “MA! Itu drama banget sumpah.”
“Pokoknya pulang sekarang, atau Mama sebar foto lo waktu kecil pake kostum lebah! Sekolah lo masih inget gak tuh drama ‘Lebah Imut Cari Madu’?!”
“MAMAAA—!!” Cila langsung berdiri, panik. “OKE OKE CILA PULANG!!”
Keyla menepuk pundaknya. “Lo kalah sama ancaman lebah.”
“Lo gak akan ngerti trauma masa kecil gue,” kata Cila dengan dramatis, lalu memeluk Keyla sekilas. “Thanks ya, Key. Tadi gue beneran pengen nangis, tapi lo malah ngajakin debat BTS-EXO. Gila lo emang. Tapi lo sahabat terbaik.”
Keyla tersenyum. “Sama-sama, lebah imut.”
“JANGAN MULAI LAGI!”
-♡-♡-♡-
Cinta Itu ada dua yaitu Pahit dan manis, sama seperti makan Coklat. Di nikmati aja dulu. Kalau terasa pait berarti kamu lagi apes.
Salam Othor❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments