Sampai di rumah, Cila langsung masuk dengan langkah dramatis, menyeret kaki seperti habis perang dunia.
“Assalamualaikum rumah yang penuh tekanan batin,” serunya sambil membuka pintu dengan gaya bak aktris sinetron.
Dari arah dapur, terdengar suara nyaring khas mamanya, Bu Nia.
“Itu suara anak Mama ya? Yang pulangnya udah kayak habis liputan perang di Gaza?!,”
Cila memutar mata, menendang sandal ke arah rak. “Mamaaa… Cila tuh capek banget, tau nggak. Mental ini udah kayak tahu putih dilempar ke tembok!,”
“Belum Seharian keluar rumah, pulang udah drama,” timpal Pak Heru, ayah Cila, yang muncul dari balik koran sambil menyeruput kopi .
“Pak, Cila tuh berjuang demi anak orang, Pak. Dengerin dulu kisah heroik ini sebelum menghakimi,” Cila menjatuhkan diri ke sofa, satu tangan ditaruh di dahi ala adegan pingsan.
Bu Nia datang dengan tangan berkacak pinggang. “Berjuang demi anak orang? Cila, kamu tuh baru juga kenal itu anak, udah baper, udah kayak tante online!”
“Enggak, Ma! Gio tuh... precious banget! Dia tuh kayak… anak kucing yang lagi nyangkut di pohon. Harus diselamatkan! Dan Gevan itu, itu tuh... satpam kompleks yang malah marahin penolongnya!” ujar Cila penuh semangat.
Pak Heru terkekeh, “Bapaknya judes, anaknya manis. Ini sih sinetron jam tujuh.”
“Bener, Pak! Tapi sinetronnya bukan sembarang sinetron! Ini tuh… kombinasi antara 'Si Doel Anak Sekolahan' dan ‘Harry Potter’. Ada komedi, ada magis, dan tentu saja… ada mangga!”
Bu Nia mendelik. “Jangan bilang kamu panjat pohon mangga lagi?”
Cila terdiam sejenak. Lalu mengangkat satu jempol.
“Cila!”
“Demi Gio, Ma!” Cila bersandar lagi di sofa. “Tapi tenang, Cila udah cuci tangan kok, nggak ada getah nempel!”
“Yang nempel tuh beban hidup Mama kalau kamu terus begini,” Bu Nia geleng-geleng sambil menuju dapur lagi.
Pak Heru hanya terkekeh sambil menepuk sofa. “Sini-sini, ceritain semua dari awal. Biar Papa bikin sinetronnya.”
Cila pun duduk dan menceritakan ulang semuanya dari A sampai Z, dari mangga, kejar-kejaran sama anjing, hingga adegan diusir secara halus sama Gevan. Tentu dengan bumbu dramatis khas Cila.
Setelah puas cerita, Cila masuk ke kamarnya dan mengganti baju jadi piyama lucu bergambar awan dan pelangi.
“Nah, sekarang waktunya jadi Kakak Cila si Pendongeng Hebat,” katanya sambil membuka rak buku, memilih buku dongeng yang paling penuh warna.
Dia membuka ponselnya, dan seperti janjinya, menelpon rumah Gevan.
Drrtt… Drrtt…
Sambungan diangkat oleh Mama Gevan, yang langsung menyapa ceria, “Halo, Kakak Cila sudah siap nih? Ada yang udah nunggui di kasur dari tadi!”
Terdengar suara kecil Gio di latar belakang, “Onyeng! Onyeng! Ata udah di kasuw!”
“Siap dong,” sahut Cila, menekan tombol video call.
Tampilan layar langsung memperlihatkan Gio yang sudah dibalut selimut, kepala bertumpu di bantal, dan mata berbinar-binar.
“Hai pangeran kecil!” sapa Cila sambil melambaikan tangan.
“Haiii ata!” balas Gio riang.
“Siap dengerin kisah tentang Mangga Ajaib dan Pangeran Gio?”
“Siyaaap!”
Cila mengambil buku dongeng, meski sebagian besar ia karang sendiri malam ini. Dia duduk di kasurnya, memposisikan kamera, lalu mulai dengan suara mendayu.
“Pada suatu hari di sebuah kerajaan bernama Kampung Durian Runtuh... eh salah, Kampung Mangga Rontok, hiduplah seorang pangeran tampan bernama Gio...”
Gio langsung cekikikan, “Itu aku!”
“Iya dong! Suatu hari, sang pangeran bertemu dengan... seekor anjing galak berkepala tiga!”
Gio ternganga, matanya membulat. “Hiiiii!”
“Tapi jangan takut! Karena muncul seorang ksatria cantik dan sangat drama—namanya Kakak Cila!”
Gio tertawa, “ayak ata!”
“Dia menyelamatkan sang pangeran dengan... satu buah mangga ajaib! Tapi bukan mangga biasa, karena mangga itu bisa bicara!”
Cila mengganti suaranya jadi suara cempreng, “Halo, saya Mangga! Saya bisa bikin semua orang jujur!”
Gio terpingkal.
Dongeng pun berlanjut selama hampir lima belas menit, dengan Cila berganti-ganti suara: jadi pangeran, jadi mangga, jadi anjing, bahkan jadi pohon mangga tua yang bijaksana.
“Dan akhirnya, sang pangeran pun tidur nyenyak karena dongeng dari kakaknya yang super duper keren!” tutup Cila sambil mengedipkan mata ke kamera.
Gio sudah mulai menguap, senyum masih tersungging.
“Maaci, ataa.. Onyengnya lucu...”
“Iya dong. Sekarang pangeran kecilnya bobok ya.”
“cewe mimpi mangga,” gumam Gio, lalu perlahan tertidur.
Mama Gevan mengambil alih ponsel, wajahnya hangat.
“Terima kasih, Cila. Gio senang banget.”
Cila tersenyum lebar, “Aku juga senang banget, Tante. Selamat malam, ya.”
Sambungan dimatikan.
Cila menatap ponsel beberapa detik. Kemudian dia menyandarkan diri ke dinding, masih mengenakan piyama, memeluk buku dongengnya.
Tiba-tiba pintu kamar diketuk.
“Masuk,” sahut Cila.
Muncul Mama dan Papa-nya, masing-masing membawa semangka dan cemilan.
“Kita mau nonton sinetron kamu nih,” kata Pak Heru sambil mengangkat remote.
Bu Nia duduk di samping anaknya, memeluk Cila dari belakang.
“Kamu nyebelin sih, Cil... tapi bikin hangat juga,” gumamnya.
Cila mendengus. “Itu kayak deskripsi Gevan ke aku deh.”
“Tuh kan, makin lama makin baper,” ujar Papanya sambil tertawa.
Cila mengangkat tangan ke atas, pura-pura drama lagi.
“Hidup ini... penuh mangga... dan cinta!”
Lalu mereka bertiga tertawa, menutup malam itu dengan tawa, cemilan, dan sedikit rasa haru yang diam-diam tumbuh di antara mereka.
Dan di luar sana, seseorang yang bernama Gevan, diam-diam menatap ke layar ponselnya—menunggu notifikasi baru yang tak kunjung datang.
Tapi senyumnya pelan-pelan terbit... entah karena dongeng itu, atau karena Cila.
-♡-♡-♡-
Salam othor🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Wanita Aries
Novel sbagus ini knp sepi yaa..
semangat trus berkarya ka
2025-04-09
1