Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka. Gevan masuk dengan wajah yang sudah segar dan tercium harum oleh cila
Cila menggigit bibir, lalu melangkah mendekat. “Mas... aku pulang dulu, ya.”
Baru saja Gevan mau mengangguk, Cila menambahkan dengan suara genit, “Tapi kalau Mas Gevan kangen, bilang aja, aku bisa balik lagi. Free ongkir lho~”
Gevan berhenti di tempat. Perlahan ia menoleh ke arah Cila.
Cila melanjutkan, dengan gaya bercanda yang selalu dia pikir bisa mencairkan suasana, “Atau, ya... kalau misalnya butuh istri dadakan buat jagain anak, aku bisa siap sedia. Tinggal kasih kode.”
Diam.
Lama.
Tatapan Gevan tajam, bukan malu, bukan kikuk—tapi jelas tak suka.
“Cila.”
Cila mengedip. “Iya, Mas?”
“Aku udah bilang kan, jangan main-main kayak gitu.”
Suara Gevan dalam, dingin.
Cila tertawa kecil, mencoba menormalkan situasi. “Hehe... ya ampun, Mas. Aku cuma bercanda—”
“Aku gak suka.”
Kalimat itu membuat tawa Cila terhenti.
“Aku gak ngajak kamu ke sini buat digoda. Aku minta tolong karena Gio butuh dijaga, bukan karena aku butuh kamu godain aku tiap lima menit.”
Cila membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar.
“Kalau kamu gak bisa jaga jarak, lebih baik gak usah datang lagi,” lanjut Gevan.
Seketika ruang tamu itu terasa seperti kulkas. Beku.
Cila menunduk pelan. Senyumnya memudar.
“Oke.”
Dia memungut tasnya, lalu berdiri tegak. “Maaf kalau aku kelewatan. Aku cuma pengen bikin suasana gak kaku. Tapi kayaknya... aku salah tempat.”
Langkahnya cepat menuju pintu. Tapi sebelum keluar, dia sempat menoleh dan berkata, dengan suara jauh lebih pelan dari biasanya:
“Aku gak niat ganggu, Mas. Aku cuma... ya, jadi diri sendiri. Tapi tenang. Mulai besok, aku balik jadi orang luar lagi.”
Pintu tertutup dengan suara pelan. Tapi dampaknya... seperti pukulan di dada Gevan.
Dia mendesah, lalu menatap ke arah kamar Gio yang tertutup.
Sekali lagi, suasana rumah kembali sepi. Bahkan lebih sepi dari biasanya.
-♡-♡-♡-
Cila membuka pintu rumah pelan-pelan. Seperti maling masuk rumah sendiri. Takut-takut.
“Maaak...?” panggilnya dengan nada manis.
Tak ada jawaban. Rumah itu sunyi. Hanya suara kipas angin tua yang berputar dari ruang tengah.
Dia melepas sepatunya, lalu langsung masuk dapur. Hari ini udah cukup bikin hatinya remuk—dimarahi dosen, disidang di kampus, ditolak halus (dan nggak halus) oleh Gevan. Tapi dia tetap punya satu misi lagi:
Meluluhkan Mama.
Dengan langkah mantap (tapi isi hati kerontang), dia membuka kulkas.
“Keju... susu... telor... Alhamdulillah bahan aman.”
Cila mulai bekerja. Dengan apron warna pink bergambar donat, rambut diikat asal-asalan, dan tangan belepotan adonan, dia berdiri di depan oven sambil bernyanyi pelan lagu-lagu patah hati. Seperti peserta MasterChef yang gagal move on.
“Biarpun aku gagal jadi calon mantu idaman, setidaknya... aku bisa jadi anak yang taubat hari ini,” gumamnya sambil menyeka keringat di dahi.
Setengah jam kemudian, aroma cheesecake memenuhi rumah. Aroma manis yang biasa jadi kode perdamaian antara Cila dan Mama.
Dan benar saja...
Dari balik tirai, muncul sosok wanita paruh baya dengan daster dan alis yang baru dicabut setengah.
“Hm... ini bau apa ya?” suara Mama terdengar.
Cila buru-buru memasang wajah ceria. “Cheesecake spesial rasa permintaan maaf dan cinta sejati dari anakmu yang paling kamu sayang~”
Mama mendengus. “Yang kamu maksud anak satu-satunya, kan?”
“Yah... iya juga sih,” cila nyengir, meletakkan piring kecil berisi potongan cheesecake ke hadapan mamanya.
Mama menatap kue itu, lalu menatap anaknya.
“Apalagi yang kamu rusak hari ini?”
Cila tertawa getir. “Hati orang.”
Mama mengerutkan alis. “Kamu ngerusak hati siapa lagi, Cila?”
Cila duduk di samping Mama. “Mas Gevan... kayaknya aku kebanyakan becanda sampai dia beneran marah. Terus aku juga... bikin masalah sama kampus. Aku di-‘liburkan sementara’.”
Mama menatapnya, setengah terkejut, setengah udah pasrah.
“Cila...”
“Aku tahu, Ma. Aku salah. Tapi serius deh, aku tuh gak pernah niat cari masalah. Aku cuma... suka ngelucu biar semua orang senang. Tapi ternyata gak semua orang suka yang kayak gitu.”
Mama terdiam. Perlahan memotong cheesecake dan mencicipinya.
Cila menunggu seperti terdakwa nunggu vonis. Tapi Mama hanya mengunyah pelan, lalu menghela napas.
“Enak.”
Cila membelalak. “Hah?”
“Cheesecake-nya enak. Tapi kelakuan kamu tetep bikin Mama pengen lempar loyang.”
“Ya udah gak apa-apa, Ma. Asal loyangnya kosong, jangan loyang isi...”
Mereka berdua tertawa kecil. Tawa itu masih setengah kaku, tapi cukup untuk membuat dada Cila yang sesak tadi... agak lega.
Setelah itu, mereka duduk di ruang tengah sambil nonton acara masak sore-sore. Cila menyandarkan kepala di pundak Mama, pelan-pelan.
“Ma, makasih ya... gak ninggalin aku meski aku bandel.”
Mama membelai rambut Cila. “Mama juga bandel dulu. Tapi kamu lebih parah.”
“Hehe. Emang sih.”
Di luar, langit mulai gelap. Tapi di dalam rumah, kehangatan kecil mulai menyala lagi. Meskipun dunia luar belum sepenuhnya bersahabat, tapi rumah... selalu jadi tempat paling aman untuk pulang.
Dan untuk Cila, hari itu bukan hanya tentang dimarahi—tapi juga tentang belajar menahan diri, dan tetap sayang... meskipun gak dibalas.
-♡-♡-♡-
Rumah Gevan terasa lebih rapi, lebih tenang, lebih... kosong. Tidak ada lagi suara sendal jepit berisik di lantai, atau tawa genit yang melengking dari dapur. Tidak ada aroma masakan aneh yang bikin Gevan curiga isinya bumbu atau bubuk sulap. Dan yang paling terasa: tidak ada suara nyaring memanggil, “Mas Gevan~ buka pintuuu~ pengantar cinta datang~!”
Semua hilang. Dalam sekali hentak.
Di dalam kamar, Gevan duduk di meja kerjanya, laptop menyala, tapi halaman kosong. Dia bersandar, tangan terlipat di dada. Matanya sesekali melirik benda kecil berwarna ungu yang tergeletak di sudut meja: bando dengan dua kuping kelinci yang biasanya Cila pakai waktu nemenin Gio nonton film animasi.
Dia menghela napas. Sudah tiga hari bando itu di sana. Nggak dia pindahkan. Tapi juga nggak dia kembalikan.
Gio mengetuk pintu. “Pa, Ata e ana sih?”
Gevan mendongak. “Kakak Cila sibuk. Lagi banyak urusan.”
“Kenapa gak ke sini lagi?” tanya Gio polos.
Gevan terdiam. “Karena Papa... minta dia jangan datang dulu.”
“Oh,” sahut Gio, lalu duduk di lantai. “Capi iyo kanyen.”
Gevan menatap putranya lama, sebelum akhirnya mengusap kepala anak itu. “Papa juga...”
Gio mendongak. “Papa uga kanyen?”
Gevan buru-buru berdiri. “Udah sana, sikat gigi dulu. Udah malam.”
“Yaaaah,” Gio ngeluh, tapi akhirnya beranjak juga. Tinggal Gevan sendiri di kamar.
Ia kembali duduk. Menatap layar laptop. Tangannya membuka chat. Nama “Cila” masih ada di daftar teratas. Dia klik.
Ketik:
Cila...
Tapi lalu... dihapus.
Lama dia menatap layar kosong itu, sebelum akhirnya mematikan laptop dan berdiri. Satu langkah menuju tempat tidur, tapi dia balik badan. Mengambil bando kelinci itu dan... menaruhnya di laci. Hanya itu. Tapi rasanya berat.
Di sisi lain...
Cila duduk di dalam kamarnya, memeluk bantal. Di depannya, kotak plastik isi perintilan make-up, cat kuku, dan... bando ungu kelinci satunya lagi. Yang satunya lagi—dia sadar baru malam ini—masih di rumah Gevan.
Dia senyum tipis. “Ya udah deh. Satu kuping di sana, satu kuping di sini. Kayak hubungan kita. Gak lengkap.”
Cila mendesah, lalu meraih buku kecil yang ada di meja. Buku dongeng Gio.
Dia buka halaman tengah. Ada gambar stickman yang Gio gambar: Ayah, Gio, dan Cila. Di bawahnya ditulis: “Keluarga kecil, tapi rame.”
Cila menutup buku itu cepat-cepat, air mata menggenang.
“Ya Tuhan... kenapa sih gue gini banget...”
-♡-♡-♡-
Salam Othor❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments