XVII

Gevan berdiri di depan jendela kantornya. Matanya memandangi langit Jakarta yang mendung, sambil menggenggam gelas kopi yang sudah dingin sejak satu jam lalu.

Rapat pagi barusan berlalu begitu saja. Dia duduk di ruangan, ikut mengangguk, sesekali komentar, tapi pikirannya gak benar-benar hadir. Bahkan saat rekan kerjanya, Mita, melempar candaan, dia cuma senyum tipis.

Sejak Cila pergi, ada ruang dalam dirinya yang diam-diam terasa lengang. Awalnya dia pikir itu cuma efek rumah yang lebih tenang. Tapi ternyata... ketenangan juga bisa terasa menyiksa.

Apalagi saat Gio mulai kehilangan semangat makan, dan tiap malam nanya hal yang sama:

“Pa, ata kapan ke cini?”

Gevan mendesah. Matanya menatap layar ponsel. Chat terakhir dari Cila masih belum dibalas. Bukan karena dia gak mau. Tapi karena... dia gak tahu harus bilang apa.

Apa saya nyesel udah usir dia?

Pintu ruangannya diketuk.

“Mas Gevan,” ujar satpam, “Ada tamu... katanya mau nganter makanan.”

Gevan mengerutkan dahi. “Siapa?”

“Katanya sih, namanya... Cila.”

Darah Gevan langsung naik ke kepala. Campur aduk—antara terkejut, deg-degan, dan... senang?

“Oke. Suruh dia tunggu di ruang tamu.”

Gevan berdiri, merapikan kerah kemeja. Tapi belum sempat dia tenang, pintu terbuka pelan.

“Mas...”

Cila muncul dengan wajah canggung dan senyum setengah takut. “Sorry nyelonong. Satpamnya bilang boleh langsung masuk.”

Di tangannya, kotak makan warna pastel. Wajahnya polos. Rambut dikuncir asal. Gak ada riasan heboh, cuma lip balm dan bedak tipis.

Gevan melipat tangan di dada. “Ngapain ke sini?”

Cila tertawa gugup. “Bawa makanan. Sekalian... bawa rindu.”

Gevan menatapnya tajam. Tapi bukan marah. Lebih ke... bingung. Jelas-jelas dia kangen, tapi otaknya masih sibuk menahan ego.

Cila maju, meletakkan kotak itu di meja. “Aku masak semur tahu dan sambal teri kesukaan Gio. Tapi kalo Mas Gevan mau ikutan nyicip, ya... silakan. Gak beracun, kok.”

“Cila,” suara Gevan berat. “Aku gak minta kamu datang.”

“Aku tahu,” jawab Cila pelan. “Tapi aku datang bukan buat ngemis diminta. Aku cuma... pengen tahu kabar kalian. Dan jujur aja, aku kangen. Banget.”

Gevan terdiam. Cila menunduk, meremas jemarinya sendiri.

“Maaf ya... aku emang kadang kelewatan. Tapi aku juga manusia. Bisa nyesel. Bisa belajar. Dan bisa... kangen juga.”

Sejenak, hanya bunyi AC kantor yang terdengar. Lalu Gevan menghela napas, pelan.

“Kamu bikin keadaan makin rumit, tahu gak?”

Cila mengangguk. “Aku tahu. Tapi jauh dari kalian lebih rumit.”

Gevan memejamkan mata sebentar. Dalam hati, dia ingin memeluk gadis itu. Tapi dalam pikirannya, masih ada suara yang terus bertanya: Apa saya udah siap buka hati lagi? Apa saya cuma takut sendirian?

Sementara itu, Cila menarik napas panjang, menahan air mata.

“Oke. Aku cuma pengen bilang itu aja. Kalau Mas Gevan gak suka aku datang, gak apa-apa. Tapi jangan marah kalau... aku tetap peduli.”

Dia mundur dua langkah, menoleh sebentar, lalu berjalan menuju pintu.

Sampai suara Gevan terdengar.

“Cila...”

Cila menoleh cepat. Harap-harap cemas.

Tapi Gevan cuma berkata, pelan:

“Titip salam buat Mama kamu.”

Cila senyum kecil. “Siap.”

Dan dia pun pergi, meninggalkan kotak makan di meja. Gevan duduk pelan di kursinya. Memandangi kotak itu. Tangannya ragu membukanya. Tapi akhirnya, dia buka juga.

Aroma semur tahu langsung menyapa hidungnya.

Dia tersenyum. Tipis. Tapi nyata.

-♡-♡-♡-

Setelah kepergian Cila, ruangan itu kembali sepi. Tapi kali ini... bukan sepi yang menenangkan. Melainkan sepi yang menekan.

Gevan duduk diam, memandangi kotak makan di mejanya. Masih hangat. Warna pastel itu—warna yang biasanya gak akan pernah dia lirik di toko mana pun—kini terasa familiar. Terlalu familiar.

Ia membuka tutup kotak itu perlahan. Di dalamnya, semur tahu berwarna kecokelatan dengan potongan cabe hijau dan tomat merah, tertata rapi. Di sisi lain, sambal teri yang harum menyengat. Ada tulisan kecil di dalam tutup kotaknya:

“Jangan dimakan pas lagi marah. Bikin tambah eneg. Tapi kalau lagi kangen, ini obatnya.” — Cila.

Gevan mendengus pelan. Campuran antara kesal, geli, dan... rindu.

Dia menyendok sedikit semur tahu dan mencicipinya.

Rasa manis gurih itu membanjiri lidahnya. Dan entah kenapa, ada sensasi perih di dada.

Bukan karena makanannya... tapi karena kenangan yang ikut masuk bersama suapan itu.

Suara tawa Cila yang suka tiba-tiba nyelonong di tengah percakapan. Caranya cerewetin Gio soal gosok gigi tapi pakai suara tokoh kartun. Dan... cara Cila bikin rumah itu terasa hidup.

Gevan menghela napas panjang. Dia tidak pernah menyangka akan kehilangan suasana seperti itu. Selama ini, hidupnya terlalu tertata, terlalu tenang. Tapi sejak Cila datang, ada kekacauan baru. Kekacauan yang anehnya... bikin dia merasa lebih hidup.

Sementara itu, di luar kantor Gevan, Cila duduk di halte seberang sambil memeluk lutut.

Hatinya masih campur aduk. Tadi dia nekad datang karena udah gak tahan lagi. Tapi sekarang, dia merasa seperti orang bodoh yang berusaha keras menjangkau seseorang yang mungkin gak akan pernah balik.

Dia mengeluarkan ponsel, membuka kamera depan. Rambutnya acak-acakan, alisnya nyaris hilang, dan eyeliner-nya udah luntur.

“Calon mantu gagal versi lusuh,” gumamnya, lalu tertawa sendiri.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Keyla:

📩Keyla: “Gue baru liat pengumuman ulang! Nama lo masih di daftar mahasiswa yang harus ketemu Kaprodi, Cil. Serius lo gak datang tadi?”

📩Cila: “Gak kuat, Key... mental gue udah remuk. Tadi aja dosen killer itu ngegas banget di kelas. Gue cuma nanya ulang tugas malah disindir depan semua orang.”

Keyla: “Ya Allah... itu dosen emang ngeselin. Tapi lo harus hadapin, Cil. Jangan kabur terus. Semester empat tuh udah mulai diawasi ketat.”

Cila menatap layar lama. Tangannya mengetik pelan:

📩Cila: “Gue tuh gak niat bikin masalah. Tapi kenapa kayaknya tiap gue ngomong, semua orang salah paham? Gue cuma pengen bikin suasana gak tegang...”

📩Keyla: “Karena gak semua orang ngerti gaya becanda lo. Kadang lo juga harus tahu tempat. Tapi bukan berarti lo harus berubah jadi bukan diri lo.”

Kalimat terakhir bikin Cila termenung.

“Tahu tempat.”

Dia menghela napas. Pandangannya kosong. Tangannya refleks menggambar bentuk hati di sampul buku catatan.

Teringat wajah Gevan.

Teringat tatapan dingin itu.

Dan hatinya... nyeri lagi.

-♡-♡-♡-

Satu jam kemudian...

Di rumah, Cila duduk di depan laptop. Dia membuka dokumen tugas akhirnya, lalu mencoba membaca ulang. Tapi fokusnya buyar. Kata-kata di layar terlihat seperti semut berjalan.

Akhirnya dia menyerah. Menutup laptop, dan mengambil buku catatannya. Di dalamnya, tergores-gores coretan iseng yang sering dia buat kalau lagi bosan. Tapi malam ini, dia menulis lebih serius.

Kalau cinta harus ditahan, kapan bisa bebas? Kalau sayang harus disembunyikan, kapan bisa nyampe? Kalau rindu cuma bisa ditulis, apa dia pernah tahu?

Cila melempar pena, lalu menutup wajah dengan bantal.

“Gevan... kenapa sih susah banget dibaca?”

-♡-♡-♡-

Di kantor, Gevan masih menatap layar kosong di laptop. Tugas-tugas menumpuk, tapi pikirannya menolak kerja.

Dia memegang ponsel. Jemarinya membuka galeri. Foto-foto Gio, beberapa makanan, dan... satu video.

Video pendek. Gio dan Cila sedang berdandan jadi superhero dan monster di ruang tengah.

“Ayooo Monster Cila! Serahkan kue-kue itu!” “Tidak! Aku akan memakan semua sambil joget TikTok!”

Tawa Gio dan suara cempreng Cila memenuhi ruangan. Gevan memutar video itu dua kali. Tiga kali.

Dan pada akhirnya... senyum itu muncul.

Bukan senyum puas. Tapi senyum rindu.

Malamnya, saat pulang ke rumah, Gevan melihat Gio sudah tertidur di sofa sambil memeluk boneka beruang.

Di sampingnya, ada kertas gambar. Gambar tiga orang stickman. Lagi-lagi: Papa, Gio, dan Cila. Kali ini, di atas kepala mereka ada gambar bintang.

Gevan duduk di lantai, mengambil gambar itu. Lalu memandang Gio dengan pelan.

“Mau kamu, ya? Biar Kak Cila balik?” bisiknya.

Gio bergumam dalam tidur, “Papa ajat kalo ucir ataa...”

Gevan menutup mata, menahan napas.

-♡-♡-♡-

Cinta tidak dapat di paksa, Tapi kita bisa meminta Pencipta Untuk menumbuhkan rasa.

Salam Othor ❤️

Terpopuler

Comments

Maulana ya_Rohman

Maulana ya_Rohman

knp air mata ku gak mau berhenti keluar...😭😭😭....
ikutan nyesek banget...
pada gak mau tau isi hati Cila yang sebener nya.....🤧

2025-04-10

1

Wanita Aries

Wanita Aries

Hiks kasian cila 😩

2025-04-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!