XIV

Pagi itu terasa lebih sepi dari biasanya. Tapi bukan karena rumah mendadak sunyi. Justru karena Cila tidak membuat keributan seperti biasa. Aneh. Sangat mencurigakan.

Mama sempat curiga anaknya kesurupan. Tapi ternyata Cila cuma duduk termenung di ruang tengah, pakai daster kelinci bolong, rambut dicepol kayak sarang burung, dan ekspresi seperti habis ditinggal nikah.

“Cila, kamu kenapa?” tanya Mama.

“Ma, kalau manusia hidup tapi jiwanya kosong... itu tandanya apa ya?”

“Tandanya kamu belum sarapan,” jawab Mama datar.

Belum sempat Cila membalas, pintu diketuk. Pak Satpam depan komplek datang bawa satu surat resmi.

“Ini buat Cila Aulia Rahmani.”

Begitu melihat logo kampus di amplop cokelat itu, Cila langsung panik seperti detektif yang nemu bukti pembunuhan di balik kulkas.

“YA AMPUN! INI UDAH DATANG! AKU DIPECAT DARI PERADABAN!”

Mama kaget. “Surat apa itu, Cil?”

“Surat cinta dari kampus... yang isinya pasti neraka.”

Cila lari ke kamarnya, mengunci pintu seperti akan membuka segel masa lalu. Duduk di kasur, tangannya gemetar buka amplop. Amplop itu terasa lebih menyeramkan dari soal UAS filsafat.

Matanya membaca cepat. Tapi isi surat itu malah bikin dia pengen masuk ke kasur dan nggak keluar sampai semester depan.

Dengan ini kami menyampaikan surat peringatan akademik kepada saudari Cila Aulia Rahmani atas insiden “keracunan massal di kelas Kewirausahaan” akibat membagi-bagikan kue buatan sendiri yang mengandung sambal.

Kami mengingatkan bahwa tindakan tidak bertanggung jawab seperti ini tidak bisa ditoleransi. Surat ini adalah peringatan pertama. Jika kembali terjadi, akan ada sanksi lanjutan.

“OH TIDAK! INI GARA-GARA KUE SAMBAL ITU?! PADAHAL ITU CUMA KUE EKSPERIMEN UNTUK UJICOBA PRODUK KEWIRAUSAHAAN!”

Flashback cepat muncul di otaknya: kue bolu isi sambal yang katanya "fusion modern" ala Korea-Indonesia. Dia bawa ke kelas, kasih ke teman-teman. Lima menit kemudian: kelas kosong, lima mahasiswa muntah di toilet, dosen panik, dan satu orang—Keyla—teriak “INI KUE ATAU SENJATA BIOLOGIS?!”

Cila menjerit sambil guling-guling di kasur. “Hidupku tamat. T.A.M.A.T. Ini pasti masuk di buku hitam kampus! Nama aku di blacklist! Dosen-dosen bakal takut tiap lihat aku!”

HP-nya tiba-tiba berdering.

Mas Lope 💋❤️calling...

Cila langsung duduk tegak, lalu mengatur suara dan ekspresi. Tapi tetap dengan gaya mellow dramatis.

“Halo, Mas…”

Suara Gevan terdengar di seberang, datar tapi jelas:

“Kenapa kamu spam chat dan voice note kayak orang panik?”

Cila menghela napas dramatis. “Karena aku emang panik, Mas. Aku barusan dapet surat teguran dari kampus!”

Gevan hening beberapa detik. “Teguran apa?”

“Aku… nyoba bikin inovasi bolu isi sambal buat tugas kewirausahaan. Terus aku bagi-bagi ke temen-temen pas mata kuliah. Eh, beberapa muntah. Satu pingsan. Terus dosen panik, akhirnya kampus kirim surat.”

Gevan menghela napas. “Kenapa kamu melakukan hal sebodoh itu?”

Cila melotot meski gak kelihatan. “Aku tuh serius, Mas! Itu tugas! Aku cuma mau beda dari yang lain.”

“Nggak semua hal harus beda cuma buat kelihatan unik. Dan... aku gak ngerti juga kenapa kamu harus cerita ini ke aku.”

“Ya... karena aku panik... dan bingung harus cerita ke siapa.”

“Cila, kita belum sedekat itu.”

Cila langsung bungkam. Suasana hening beberapa detik. Dingin. Kayak dilempar es batu ke dada.

“Oh. Iya. Maaf, Mas.”

“Aku nggak bilang kamu gak boleh cerita. Tapi jangan anggap aku bisa langsung ngerti dan ikut campur dalam semua dramamu.”

“Paham, Mas.” Suara Cila mengecil.

Tapi Gevan masih lanjut. Nadanya mulai sedikit melunak, tapi tetap jaga jarak.

“Kalau kamu butuh bantu cek surat klarifikasinya, kirim aja. Biar aku bantu dari sisi penulisan. Bukan karena kita deket, tapi karena aku gak suka ngelihat orang kena masalah gara-gara tulisan kacau.”

Mata Cila membulat. “Beneran?”

“Ya.”

“Terus... Mas gak marah?”

“Aku bukan siapa-siapanya kamu buat marah. Tapi ya... jaga sikap aja lain kali.”

Cila mengangguk pelan, walau gak bisa dilihat.

“Siap, Mas. Makasih... meskipun Mas ngomongnya kayak email HRD.”

“Bagus kalau kamu paham.”

Klik. Telepon ditutup.

Cila menatap layar HP.

“Hadeh... dingin, tapi masih aja bikin aku deg-degan. Dasar Mas Galak.”

Cila menatap layar HP yang baru saja mati.

“Dingin banget... tapi kenapa aku malah makin panas?”

Ia bangkit dari kasur, menyambar laptop, dan duduk di meja belajarnya yang sudah seperti ladang perang—kertas, buku, dan sisa keripik berserakan.

“Oke. Surat klarifikasi. Harus formal. Harus serius. Harus... oh, biarin aja ngalir dulu.”

Ia membuka dokumen baru, mengetik cepat:

Kepada Yth. Ibu Rika, dosen kewirausahaan tercinta dan terhormat,

Dengan segala kerendahan hati dan penyesalan terdalam, saya ingin menyampaikan permohonan maaf atas insiden yang terjadi pada hari Rabu, di mana saya membagikan bolu isi sambal buatan saya sendiri kepada teman-teman satu kelas.

Saya tidak menyangka bahwa inovasi ini akan menyebabkan kegaduhan massal, muntah berjamaah, dan satu pingsan yang legendaris.

Cila membaca ulang tulisannya dan langsung menutup wajah dengan kedua tangan.

“Ya Allah, ini surat klarifikasi atau naskah drama teater?”

Ia menghapus sebagian, mengetik ulang lebih rapi:

Saya, Cila Afrilia, mahasiswa semester empat dari jurusan Akuntansi S1, menyampaikan klarifikasi atas insiden yang terjadi pada kelas Kewirausahaan. Produk makanan yang saya bawa sebagai bagian dari tugas praktik kewirausahaan menyebabkan reaksi tidak diharapkan dari sebagian mahasiswa...

“Hm, kayaknya udah mulai bener...”

Tapi kemudian dia menambahkan satu kalimat terakhir:

Saya bersedia tidak membawa produk makanan ke kelas lagi, kecuali sudah diuji coba ke Mama, tetangga, dan Mas Gevan—eh, coret... bukan, maksud saya, diuji coba secara profesional.

Ia terkekeh, lalu menghapus cepat-cepat nama Gevan sebelum keburu dikirim.

Setelah yakin dengan suratnya, Cila mengirim email itu ke Gevan dulu, sesuai janji Mas Galak tadi.

Tak sampai lima menit, balasan datang.

📩Dari: Gevan A.

Subjek: Koreksi surat klarifikasi

“Kalimat ‘muntah berjamaah’ tidak perlu disebutkan.

Ganti ‘insiden’ dengan ‘kejadian’.

Ubah penutup jadi lebih sopan.

Sisanya, cukup baik. Kirimkan ke dosennya.

Dan tolong, jangan eksperimen lagi pakai bahan sambal untuk bolu.”

Cila menahan tawa.

“Masih aja dingin. Tapi... ngebales secepat ini. Hm... tumben.”

Ia pun mengirim surat itu ke dosen, lalu bersandar di kursi dengan lega.

Setengah lega karena masalah kampus hampir selesai.

Setengah lagi... karena dia sadar, bahkan Gevan yang galak pun masih nyempetin bantu dia di tengah semua keasingan mereka.

Cila menatap layar kosong.

“Kalau Mas Galak bisa bantu aku keluar dari surat teguran... apa mungkin suatu hari dia juga bantu aku keluar dari hati yang penuh luka ini?”

Dia menampar pipinya sendiri.

“Cila! Fokus. Jangan ngarep. Masih level ‘kita belum sedekat itu’, inget?!”

Tiba-tiba terdengar suara dari luar kamar.

“Cilaaa! Mie instanmu meledak di panci!”

“YAAAAA MAA! AKU GAK SIAP DENGAN DRAMA BARU!”

"astoge lupa gue, tambah ngamuk ni mamake," menutup pintu dengan pelan agar tidak menambah level kemarahan sang mama.

-♡-♡-♡-

Berbuat lah baik meski tidak terlihat baik di mata orang, yang penting niat. Karena sejati nya Penilai terbaik adalah Allah SWT.

Salam Othor❤️

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!