XIII

Hari itu langit berawan, dan angin pagi meniup lembut dedaunan yang gugur di taman dekat rumah Cila. Setelah seharian penuh drama di kampus—ribut dengan dosen, debat kecil dengan Keyla, dan cekcok lagi dengan Mama di pagi harinya—Cila memutuskan untuk jalan kaki ke taman. Dia butuh udara segar untuk mendinginkan kepala dan hati.

Dengan sandal jepit dan sweater oversize kebanggaannya (yang sudah mulai berbulu tapi tetap dia bela-belain pakai karena "ini baju penuh sejarah," katanya, dia duduk di bangku kayu yang menghadap kolam ikan kecil. Matanya menatap kosong ke air yang tenang, pikirannya masih berputar-putar seperti benang kusut. Masalah di kampus belum kelar, pertengkaran dengan Mama masih terasa membekas, dan sekarang... rasa hampa tiba-tiba menyeruak tanpa permisi.

“Cila?”

Suara asing tapi anehnya familiar itu membuat Cila menoleh. Seorang perempuan berdiri beberapa meter darinya. Wajahnya cantik, riasan tipis, rambut tergerai rapi, dan baju yang—menurut Cila—terlalu kece untuk ukuran sore santai di taman perumahan.

“Eh?”

Perempuan itu tersenyum tipis. “Aku Keira.”

Cila mengernyit. “Keira...?”

“Anaknya Papa Rahman,” ujar perempuan itu, menambahkan dengan ringan, “anak pertamanya.”

Cila diam. Nama itu menamparnya seperti angin dingin menusuk dada.

Papa Rahman.

Papa kandungnya.

“Oh.” Itu saja yang keluar dari mulut Cila.

Keira melangkah pelan dan duduk di ujung bangku yang sama. “Maaf aku datang tiba-tiba. Aku cuma... penasaran,” katanya dengan nada terlalu ramah. “Kamu adik tiriku.”

Cila menatap lurus ke depan. Bibirnya mengatup rapat.

“Papa sering cerita soal kamu dulu. Katanya kamu mirip Mama waktu muda. Tapi aku baru bisa percaya setelah lihat langsung,” lanjut Keira.

Cila tersenyum sinis. “Lucu ya. Dulu waktu Papa masih di rumah, dia lebih sering bilang gue keras kepala kayak orang nggak tau diri.”

Keira tampak sedikit kikuk, tapi mencoba tersenyum lagi. “Yah, Papa juga keras sih. Tapi dia tetap papa kita.”

“Papa lu kali. Bukan papa gue,” potong Cila, menoleh dengan tatapan tajam.

Keira terdiam. Udara sejenak jadi kaku dan dingin.

--- FLASHBACK ---

Cila masih kecil. Suara teriakan memenuhi rumah. Piring pecah. Tangisan mamanya yang terisak sambil memeluk Cila kecil di sudut dapur.

“Papa jangan pukul Mama!”

“Tutup mulut kamu, dasar anak kurang ajar!”

Suara keras itu menampar telinga kecil Cila. Dia ingat betul malam itu.

Malam di mana Mama diseret ke ruang tamu. Ingat saat pertama kali melihat mamanya berdarah di pelipis. Ingat bagaimana mereka kabur malam-malam. Hanya dengan satu koper dan tas kain berisi baju Cila.

Mereka menginap di rumah Bu Wulan, tetangga sebelah. Lalu pindah-pindah kosan. Hidup susah. Tapi lebih baik hidup susah tanpa rasa takut.

Ada malam-malam di mana mereka tidur beralaskan tikar, dengan kipas tangan karena tidak mampu bayar listrik. Tapi dalam semua keterbatasan itu, Cila selalu ingat satu hal: pelukan Mama yang hangat dan kata-kata, “Kita pasti bisa, Nak.”

--- FLASHBACK END ---

Cila menarik napas dalam. “Gue gak butuh dia. Gue punya Papa sekarang. Memang bukan kandung, tapi dia baik. Dan dia gak pernah bikin Mama nangis.”

Keira mengangguk pelan. “Aku nggak di sini buat bela siapa-siapa. Aku cuma mau kenal kamu. Kita saudara.”

“Kita bukan apa-apa, Keira. Kita cuma kebetulan punya setengah darah yang sama. Itu nggak bikin kita keluarga.”

Keira tampak terluka, tapi tetap tersenyum. Senyum yang Cila nilai... terlalu dibuat-buat.

“Ya ampun, kamu galak juga ya. Tapi kayaknya kamu butuh kakak yang bisa ngajarin kamu dandan deh. Lihat deh sweater kamu, udah kayak kaus pel lho,” Keira tertawa kecil sambil menepuk-nepuk bahunya sendiri.

Cila melotot. “Ngomong aja sih kalo lu pengen kelihatan lebih tinggi derajatnya. Gak usah ngatain gaya orang.”

“Eh, bukan maksud gitu, Cila. Aku kan cuma bercanda,” Keira mencubit pelan lengan Cila, tapi Cila menepis.

"Gue gak butuh gaya sok akrab lu. Kita beda dunia. Lu bisa lanjut hidup sempurna lu, dan gue? Gue juga bisa hidup tanpa lu.”

Keira berdiri, ekspresinya berubah jadi lebih dingin. “Yaudah. Tapi kalau someday kamu butuh seseorang buat ngobrol soal Papa... aku ada.”

Cila gak menjawab. Dia menatap permukaan kolam yang beriak karena angin. Ada riak di dadanya juga. Tapi bukan rindu. Hanya luka yang sudah lama disimpan.

Keira berjalan menjauh, tapi sempat menoleh, “By the way, kamu cantik kok. Walau bajunya... ya, gitu deh.”

Setelah Keira pergi, Cila mencengkeram ujung sweaternya. Matanya panas. Tapi bukan karena sedih. Karena marah. Karena luka lama yang dipaksa buka lagi.

Dia menunduk, membiarkan satu air mata jatuh diam-diam. Tapi kemudian ia menyeka air matanya cepat-cepat.

“Cukup. Aku udah cukup kuat. Aku punya Mama. Aku punya Papa sekarang. Dan... aku punya Gio.”

Ia menarik napas dalam-dalam dan berdiri. Sambil berjalan pelan menyusuri sisi taman, ia mengingat bagaimana dulu dia sering berkhayal di taman ini. Tentang keluarga yang utuh. Tentang ayah yang mencintainya tanpa kekerasan. Tapi khayalan tetaplah khayalan.

Langkahnya terhenti ketika melihat sepasang anak kecil berlarian di rerumputan. Mereka tertawa riang, seperti dunia mereka hanya diisi kebahagiaan. Senyum Cila terbit pelan. Dia ingin memastikan Gio tumbuh seperti itu. Tanpa luka seperti dirinya.

Sesampainya di rumah, Mama menyambut dari ruang tengah.

“Nak, dari mana?”

“Tadi ke taman, Ma,” jawab Cila sambil menggantung jaketnya.

“Ketemu siapa, kok cemberut gitu?”

“Orang gila,” gumam Cila, lalu berjalan masuk ke kamarnya.

Di sana, ia menyalakan lampu kecil dan duduk di tepi kasur. Tangannya mengambil buku tulis kosong dan mulai menulis:

_Hari ini aku bertemu Keira. Kakak tiriku. Anak dari Papa kandung. Dia cantik, pintar ngomong, dan... annoying. Tapi lebih dari itu, dia bagian dari masa lalu yang selalu kucoba kubur._

_Aku tahu, sekuat apapun aku menolak, darah yang sama tetap mengalir. Tapi aku berhak memilih siapa yang boleh masuk dalam hidupku. Dan untuk sekarang, jawabannya bukan dia._

Setelah menulis, Cila menatap meja belajarnya yang penuh kertas berceceran.

“Ya ampun tugas Bu Rika!”

Dia langsung panik membuka laptop. Deadline tugas esai filsafat Ekonomi tinggal tiga jam lagi, dan dia baru nulis satu paragraf pembuka. Tangan langsung bergerak cepat, mengetik dengan gaya khas Cila yang dramatis.

“Filsafat adalah... eh, kayaknya terlalu berat. Filsafat tuh... kayak mantan. Ada terus, tapi gak keliatan bentuk nyatanya!”

Dia terkekeh sendiri. Tapi buru-buru menghapus kalimat itu.

“Filsafat adalah cabang ilmu yang berusaha memahami kebenaran secara mendalam...”

Setelah dua paragraf serius, Cila mulai ngelantur.

“Dalam konteks kehidupan, filsafat mirip seperti saat kamu lapar tapi nggak tahu mau makan apa. Kamu tahu kamu butuh sesuatu, tapi kamu bingung bentuknya. Nah, itulah filsafat!”

“Cilaaa!” suara Mama memanggil dari dapur.

“Iyaaa, bentar Ma! Lagi filsafat!”

“Lagi apa?”

“Filsafat lapar, Ma!”

Cila tertawa sendiri. Tugas itu akhirnya selesai tiga menit sebelum deadline. Dengan dada deg-degan, ia klik tombol submit. Lalu menjatuhkan tubuh ke kasur dengan dramatis.

“Hidup mahasiswa itu... antara nulis tugas dan nulis kisah cinta yang gak kesampaian.”

“Laper jiwa dan raga, Ma. Ada mie instan?”

“Kita cuma punya rasa soto dan rasa ayam bawang. Mau yang mana?”

“Campur aja dua-duanya. Biar hidup aku yang campur aduk ini dapet solidaritas rasa.”

Mereka tertawa kecil. Di antara semua luka, setidaknya masih ada momen receh yang bisa jadi penyelamat malam.

Cila menutup bukunya dan berbaring, memeluk bantal. Di luar, angin malam masih berhembus pelan. Tapi di dalam dadanya, badai mulai reda.

-♡-♡-♡-

Salam Othor❤️

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!