Pagi itu, Cila bangun dengan semangat palsu. Setelah drama semalam soal surat peringatan dari kampus karena aksi konyolnya di kelas, Mama langsung pasang wajah dingin semalaman.Dan sekarang, Cila harus menghadapi hari baru dengan reputasi yang makin ‘bersinar’ di mata dosen.
Di meja makan, suasananya seperti ruang interogasi.
“Makan.” suara Mama dingin, menyodorkan piring nasi goreng.
Cila mengambil sendok pelan-pelan. “Ma, aku udah mikirin semuanya. Aku janji nggak bakal main-main lagi di kelas.”
Mama hanya menoleh sekilas, lalu berdiri. “Kamu bukan anak kecil lagi, Cila. Harusnya nggak perlu diingatkan terus.”
Cila mengangguk pelan. Tapi dalam hati dia membatin, kalau aku anak kecil, setidaknya semua drama ini dianggap lucu.
Setelah sarapan yang hambar karena bukan Mama yang masak sambil nyanyi dangdut, Cila keluar rumah. Rencana hari ini? Kabur sejenak ke minimarket dekat rumah, beli es krim, lalu duduk di halte sambil mikirin cara minta maaf ke Bu Rika tanpa harus disuruh jadi ketua kelas sebagai hukuman.
Tapi baru lima menit duduk di halte, HP-nya bunyi. Nama yang muncul bikin jantungnya berdebar:
📞Mas Lope💋❤️
“Hallo?” suara Cila langsung berubah. Bukan centil, tapi cemas. Karena kalau Gevan nelpon, biasanya bukan kabar baik.
“Gio sakit,” suara Gevan terdengar panik, tapi tetap kalem seperti biasa. “Aku lagi ada rapat penting. Kamu bisa jagain dia sebentar di rumah?”
Cila langsung berdiri. “Bisa! Aku ke sana sekarang.”
“Dan Cila…”
“Ya?”
“Jangan main-main. Aku serius.”
Seperti biasa. Masih belum bisa percaya sepenuhnya. Tapi ya, siapa juga yang mau bercanda kalau urusan anak kecil begini?
Setengah jam kemudian, Cila sudah di rumah Gevan. Arum—Mama Gevan—menyambutnya dengan senyum setengah lega.
“Gio di kamar. Badannya anget. Tapi tadi masih bisa ngambek minta nonton kartun,” kata Arum sambil menepuk bahu Cila. “Kamu temenin ya. Biar Gio tenang.”
Cila mengangguk dan masuk ke kamar Gio. Anak kecil itu tampak meringkuk dengan selimut, wajahnya pucat, dan matanya setengah terbuka.
“Hai, pangeran tidur,” sapa Cila pelan sambil duduk di tepi kasur.
Gio membuka mata pelan. “ta Cila...?”
“Yap. Kak Cila datang bawa cerita dongeng dan niat mulia.”
“nyiat mulia pa?”
“Niat bikin kamu ketawa, biar virusnya ketularan kabur.”
Gio nyengir sedikit.
Cila lalu mengeluarkan boneka jari dari tasnya—hasil iseng beberapa waktu lalu. Dia mulai bercerita dengan suara dramatis ala Cila: kisah tentang pangeran kecil yang melawan monster flu dengan tawa.
Sampai akhirnya, di tengah cerita, HP Cila kembali bunyi. Telepon dari Gevan.
“Iya, Mas?”
“Gio gimana?”
“Udah ketawa dua kali. Tapi yang satu karena aku kepleset selimut sih.”
Gevan diam sejenak. “Makasih. Dan Cila...”
Cila menunggu, jantungnya berdetak aneh.
“Saya udah bilang jangan main-main sama makanan. Tapi... soal Gio, kamu bisa diandalkan.”
Cila nyengir sendiri. “Ya... makasih juga. Itu semacam pujian kan?”
“Jangan GR.”
Ah, klasik.
Tapi Cila tahu, perlahan-lahan ada celah kecil yang mulai terbuka di antara mereka. Bukan cinta. Belum. Tapi mungkin... percaya.
Dan untuk Cila, itu lebih dari cukup hari ini.
-♡-♡-♡-
Sementara itu, di sebuah ruangan kantor yang dingin oleh AC dan terlalu rapi untuk ukuran manusia normal, Gevan duduk di depan layar laptopnya yang menyala redup. Tangannya menopang dagu, tatapan kosong mengarah ke jendela yang memperlihatkan langit sore yang mulai berwarna jingga.
Laporan mingguan yang seharusnya ia kerjakan tak kunjung disentuh. Cursor di dokumen Word terus berkedip—seakan mengejeknya.
Pikirannya melayang. Ke masa lalu. Ke seorang perempuan yang dulu pernah ia janjikan masa depan.
Senyum itu. Tawa itu. Suara renyah yang selalu membangunkan pagi harinya dengan sapaan manja, “Mas Gevan... kamu tuh kalau ngantuk jangan sok cool deh.”
Semua itu kini tinggal kenangan. Kenangan yang kadang datang tanpa izin, seperti sekarang.
Ia menghela napas berat. Tangannya memutar-mutar bolpoin, lalu berhenti menatap layar ponsel. Ada pesan belum terbaca dari ibunya, ada juga pesan singkat dari salah satu rekan kerja, dan... satu dari nomor baru—yang ternyata, Cila.
Cila.
Gadis centil yang mendadak hadir dalam hidupnya dengan gaya lebay, suara keras, dan kelakuan absurd yang entah kenapa... mulai mengisi ruang di kepalanya.
Tapi Gevan buru-buru menepis pikiran itu.
“Gak, Van. Kamu belum siap,” gumamnya pelan. “Jangan gegabah.”
Dia bukan sekadar belum siap. Dia takut. Takut mengulang hal yang sama. Takut kecewa. Takut melihat anaknya, Gio, terluka kalau ia membawa seseorang yang salah lagi ke hidup mereka.
Ia menyandarkan tubuh ke kursi, menatap langit senja yang mulai menggelap.
Hatinya masih belum pulih sepenuhnya. Luka yang dulu sempat menganga memang sudah mengering, tapi bekasnya terlalu dalam untuk dihapus dengan sekadar tawa Cila atau keributan kecil di rumah.
Namun begitu, ia tak bisa membohongi dirinya.
Cila memang mengganggu.
Tapi mengganggu... dengan cara yang tidak membuatnya ingin pergi.
-♡-♡-♡-
Langkah kaki Gevan terdengar berat saat memasuki rumah. Sepatu kerjanya disimpan pelan di rak, dan dasi yang biasanya rapi sudah tergantung longgar di leher. Hari itu terasa panjang, dan pikirannya masih belum sepenuhnya lepas dari bayangan masa lalu.
Namun rumah terasa... sepi.
Terlalu sepi.
“Gio?” panggilnya pelan.
Tak ada jawaban. Tapi samar, terdengar suara dari arah kamar anaknya. Suara pelan, seperti sedang mendongeng.
Dengan langkah hati-hati, Gevan berjalan mendekat dan membuka pintu perlahan.
Pemandangan yang ia lihat membuatnya terdiam.
Cila duduk di samping tempat tidur Gio, dengan handuk kecil di tangannya. Wajahnya serius—berbeda dari biasanya. Ia tengah menepuk-nepuk dahi Gio yang tampak pucat, sementara mulutnya komat-kamit menceritakan kisah fabel aneh soal “ayam betina yang jadi pemimpin geng bebek liar karena punya sayap palsu dari daun pisang.”
Gio meringkuk di bawah selimut, matanya setengah terbuka. Tapi ia mendengarkan, sesekali tersenyum kecil, dan terlihat tenang.
Cila menoleh saat sadar pintu terbuka. Tatapannya bertemu dengan Gevan.
“Oh. Mas Gevan,” katanya cepat, sedikit gugup. “Tadi Gio demam. Aku udah kasih kompres. Barusan maksa makan bubur tiga sendok, dan sekarang udah agak baikan. Barusan juga sempet mimpi katanya jadi ninja yang bisa ngilang pas ulangan Matematika...”
Gevan masih berdiri di ambang pintu, matanya bergeser dari wajah anaknya ke wajah Cila. Sesuatu terasa menghangat di dadanya. Tapi seperti biasa, ia tidak pandai menunjukkannya.
“Kamu nggak perlu repot-repot,” ucapnya pelan.
Cila mengangkat alis. “Lah? Aku juga gak niat niat amat, Mas. Tapi tadi lihat Gio pucat, ya masa iya aku tinggal? Aku kan bukan... jahat-jahat amat.”
Gevan nyaris tersenyum—nyaris. Tapi ia tetap diam, lalu melangkah masuk dan duduk di sisi lain tempat tidur Gio.
Tangannya menyentuh dahi anaknya pelan. “Masih hangat... Tapi kamu udah minum obat?”
“Udah, Mas,” jawab Cila cepat. “Tadi aku tanya Mama Gevan—eh, Ibu Arum maksudnya—beliau bilang suruh kasih sirup yang di kulkas. Udah tak takar. Tenang, aku gak asal ngasih, kok. Aku... punya sertifikat jaga adik waktu kecil.”
“Adik?” Gevan melirik.
Cila sempat terdiam. Tapi kemudian tersenyum cepat. “Maksudnya... boneka. Boneka beruang. Namanya Dedek Kurus.”
Gevan tidak membalas. Tapi matanya masih tertuju pada Cila. Ada hal yang tak bisa ia jelaskan. Sesuatu yang membuat kehadiran Cila—meski berisik dan lebay—tidak terasa mengganggu saat ini.
Cila bangkit, mengambil gelas air putih di meja.
“Mas Gevan... kalau mau marahin aku karena tadi main-main di dapur, gapapa. Tapi boleh ditunda besok? Aku capek banget hari ini. Baru dapat surat cinta dari kampus, dimarahin Mama, dikasih kuliah gratis sama Bu Rika soal etika, terus sekarang jadi suster dadakan...”
Gevan menyandarkan punggung ke kursi. Ia masih diam. Tapi kemudian, dengan suara lebih lembut, ia berkata,
“Kamu bisa jaga Gio?”
Cila menoleh cepat. “Sekarang? Aku doang?”
“Dia udah tidur. Saya cuma mau... mandi dulu.”
“Oh. Bisa dong. Asal jangan minta aku nyanyiin nina bobo versi rock.”
Gevan akhirnya mengangguk pelan, lalu berdiri. Sebelum keluar kamar, ia sempat melirik ke arah Cila yang mulai membereskan handuk dan menyelimuti Gio lebih rapi.
“Makasih,” ucapnya, singkat.
Cila menahan senyum. Tapi ia hanya menjawab dengan lirih,
“Sama-sama, Mas...”
Ketika Gevan menutup pintu kamar pelan, senyap kembali memenuhi lorong rumah. Tapi kali ini... bukan kesepian. Hanya keheningan yang anehnya terasa nyaman.
Setelah Gevan keluar kamar, Cila duduk di lantai sambil menyandarkan punggung ke ranjang Gio. Lampu kamar diredupkan, dan hanya suara kipas angin yang menemani. Ia menatap langit-langit, matanya terasa berat. Tapi tiba-tiba, ponselnya bergetar pelan di saku sweaternya.
Nama yang muncul di layar membuat hatinya menghangat.
"Papa"
Dengan cepat ia angkat. “Halo...?”
“Cila?” Suara bariton yang familiar langsung menyentuh hatinya. Suara hangat yang selalu bisa membuat ia merasa aman, bahkan ketika dunia terasa terlalu ribut.
“Iya, Pa...” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.
“Kamu gak apa-apa, Nak? Tadi Mama kamu telepon Papa katanya kamu habis dapat surat dari kampus... Kamu gak kenapa-kenapa, kan?”
Cila menarik napas panjang, lalu menjawab, “Aku baik-baik aja, Pa. Cuma... hari ini emang agak hancur sih. Tapi gak sampai nangis kejer sambil gulung-gulung kok. Belum.”
Suara tawa kecil terdengar dari seberang. “Kamu masih aja dramatis. Tapi Papa tahu... kamu anak kuat.”
“Tapi kadang capek juga, Pa.”
“Kamu boleh capek, Cila. Tapi jangan pernah merasa sendirian. Kamu punya Papa. Punya Mama. Punya keluarga yang sayang sama kamu.”
Cila diam. Tenggorokannya tercekat. Ia ingin bilang banyak hal. Tentang betapa bersyukurnya dia punya papa yang bukan sekadar suami Mama, tapi benar-benar jadi ‘rumah’ buat dirinya.
“Pa... aku bukan anak kandung Papa... tapi aku nakal, bandel, dan kadang bikin malu, Papa masih mau jadi Papa aku gak?”
Suara di seberang langsung menjawab tanpa ragu.
“Cila, denger ya. Dari pertama kali kamu peluk Papa sambil ngomel karena gak dibeliin es krim rasa stroberi, Papa udah mutusin satu hal—kamu anak Papa. Titik.”
Cila tersenyum sambil menyeka matanya yang mulai berkaca.
“Kamu gak usah mikir kamu dari siapa. Papa gak lihat itu. Papa cuma tahu satu hal—kamu bagian dari hati Papa.”
“Pa... jangan bikin aku mewek, dong.”
“Mewek gapapa. Tapi abis itu harus bangkit. Karena kamu Cila. Anak paling rame yang pernah Papa kenal. Yang bisa bikin semua orang pusing tapi kangen juga.”
Cila tertawa kecil. “Kalau ada lomba bikin orang kesel tapi cinta, aku juara satu ya, Pa?”
“Udah dari lahir.”
Mereka tertawa bersamaan. Untuk sesaat, dunia yang berat terasa lebih ringan.
“Cila...”
“Hm?”
“Kamu gak sendiri. Jangan lupa itu.”
“Iya, Pa. Makasih ya. Aku sayang Papa.”
“Papa juga, Nak.”
Telepon ditutup, tapi perasaan hangat itu masih menetap. Cila memeluk lututnya sendiri, dan untuk pertama kalinya hari itu... ia merasa cukup.
-♡-♡-♡-
Salam Cinta😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Maulana ya_Rohman
ikutan sakit ya thor hatiku...
kenapa ada bawang😭😭😭😭...
mana tisue... mana tisue....🤧🤧🤧
2025-04-10
1
Maulana ya_Rohman
ikutan sakit ya thor hatiku...
kenapa ada bawang😭😭😭😭...
mana tisue... mana tisue....🤧🤧🤧
2025-04-10
1