Ceklek...
Aris langsung membuka pintu dan masuk ke dalam ruang kerjanya. Kemudian, dia berjalan menuju meja kerjanya. Dia lalu menaruh tas yang berisi laptop dan beberapa dokumennya di atas meja itu. Setelah itu, dia berjalan mendekat ke kaca jendela. Dia berdiri sambil melihat gedung bertingkat dan mobil yang berlalu lalang di jalan sekitar perusahaannya. Dia masih memikirkan soal kehamilan Istrinya. Awalnya saat mendengar kabar istrinya hamil, dia sempat bahagia. Tapi, tiba-tiba saja ada yang mengganggu perasaan bahagianya itu, yaitu penyakit yang sedang dia derita.
" sekarang aku merasa tidak tahu apakah aku harus merasa bahagia atau tidak ? Penyakit ini masih ada di dalam otakku dan terus membuatku kesakitan. Entah sampai kapan aku bisa bertahan dengan ini atau bisa saja aku segera berakhir " gumam Aris sambil menatap keluar lewat jernihnya kaca yang berada di depannya.
" aku hanya bisa berharap, agar aku masih bisa bertahan sampai anakku lahir. Tapi, rasanya mustahil jika penyakit ini masih bersarang di dalam kepalaku " Gumamnya kembali.
Beberapa saat kemudian, dia merasakan sakit kepala yang mulai merayap kembali di dalam kepalanya. Kemudian, satu tangannya memegangi kepalanya. Dia juga mulai terlihat meringis menahan sakit. Deretan gigi putihnya yang berada di bagian atas dan bawah tampak saling berbenturan.
" kenapa harus kembali seperti ini lagi ? " gumam Aris yang semakin tidak tahan dengan penyakitnya yang semakin hari semakin menyiksa dan semakin berulah. Dia terus memegangi kepalanya serta meringis kesakitan. Tidak lama kemudian, dia terjatuh ke lantai yang tampak putih bersih. Dia terbaring tak sadarkan diri di atas lantai itu.
Tok...tok...tok....
Di depan ruang kerjanya terdengar suara seseorang mengetuk pintu. Ternyata seseorang itu adalah Bu Susi yang sudah berdiri di depan pintu sambil menunggu Aris mengijinkannya masuk.
" Pak Aris, boleh saya masuk " ujar Bu Susi yang masih berdiri di depan pintu. Tapi, dia tidak kunjung mendengar jawaban dari direkturnya. Dia pun kembali mengulang perkataan itu. Namun, masih saja tidak ada suara yang dia dengar dari dalam ruangan.
Tok...tok...tok...
Bu Susi kembali mengetuk pintu. Dia pun masih tetap berdiri di depannya. Setelah itu, dia melirik ke jam tangannya.
" sudah 5 menit aku berdiri disini, apa mungkin Pak Aris tidak ada di ruangannya " gumamnya sambil menatap jam tangannya
" coba aku pastikan ke dalam " tangannya lalu dia arahkan ke gagang pintu. Dia pun langsung memegangnya. Perlahan pintu itu dia buka. Kosong, dia tidak melihat Aris berada di dalam.
" ternyata Pak Aris tidak ada di ruangannya, aku taruh sajalah dokumen ini ke atas mejanya " Bu Susi lalu melangkah menghampiri meja kerja Aris sambil membawa beberapa lembar dokumen di tangannya.
" Pak Aris !! " betapa terkejutnya Bu Susi saat sampai di depan meja itu. Matanya langsung terbelalak lebar dan menahan napas sesaat. Dia melihat direkturnya tergeletak di dekat jendela. Dia pun segera menaruh dokumen yeng dia bawa dan langsung menghampirinya.
" Pak Aris...Pak... " dia mencoba menggoyang-goyangkan tubuh Aris dengan satu tangannya. Lalu, jari telunjuknya dia dekatkan ke depan lubang hidung direkturnya itu. Dia masih merasakan ada aliran udara yang keluar masuk dan terasa hangat di kulit yang membalut tulang jari telunjuknya. Kini, dia tahu bahwa direkturnya pingsan, tidak sadarkan diri.
" aku harus apa ini ? " dia mulai kebingungan bagaimana cara menolongnya. Jika dia memanggil ambulans nanti akan membuat seluruh pegawai gempar dengan kondisi Aris. Dia pun kembali ingat jika direkturnya tidak ingin seluruh pegawainya tahu kondisi penyakit yang dia derita. Hal ini membuat Bu Susi semakin bingung untuk berbuat apa.
" Hmmm...aku harus bagaimana ini ? Pak Aris....Pak..." Dia kembali mencoba membangunkannya. Tapi, hingga beberapa menit berlalu tidak ada respon dari wajah Aris. Matanya masih saja terpejam dan mulutnya juga masih tertutup rapat.
" terpaksa aku harus memanggil ambulans " Dengan perasaan yang sangat-sangat terpaksa, Bu Susi langsung menelpon security lewat sebuah telepon yang terduduk di atas meja kerja Aris. Dia menginginkan agar petugas keamanan itu menghubungi ambulans sesegera mungkin.
" Pak Harun tolong panggilkan ambulans secepatnya " kata Bu Susi dengan tergesa-gesa
" apa Bu ? "
" tolong panggilkan ambulans, Pak Aris pingsan di ruangannya "
" baik, bu "
Bu Susi meletakkan kembali telepon yang dia dekatkan di telinganya ke dudukannya.
Setelah menunggu cukup lama. Akhirnya, sebuah mobil ambulans datang. Security lalu langsung memandu perawat yang datang bersama mobil itu menuju ke ruang kerja Aris yang berada di lantai 4. Langkah mereka tampak sangat tergesa-gesa. Beberapa orang pegawai yang melihat keadaan itu, merasa bingung. Mereka bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
" Ada apa ini, kenapa Pak Harun terlihat tergesa-gesa dan berjalan bersama dua orang perawat "
Setelah masuk ke ruangan dimana Aris pingsan. Dengan sigap perawat itu langsung mengangkat tubuh Aris ke atas tandu yang mereka bawa. Lalu mereka menandunya sampai ke mobil ambulans melewati tangga darurat. Aris yang masih belum sadar langsung di masukkan ke dalam ambulans. Kemudian mobil itu mulai berjalan sambil membunyikan sirinenya yang berteriak-teriak di keramaian jalan raya.
Aris langsung di bawa ke ruang gawat darurat. Di sana dia langsung mendapat penanganan dari dokter. Selang infus lalu dipasangkan ke pergelangan tangannya. Alat pendeteksi detak jantung juga di pasangkan di bagian dadanya.
Bu Susi terlihat khawatir dengan keadaan direkturnya itu. Dia tampak berdiri di depan pintu ruangan yang tertutup. Di dalam ruangan itulah Aris diperiksa oleh dokter.
" Semoga Pak Aris tidak apa-apa " gumam Bu Susi dengan perasaan cemas. Satu jam berlalu, pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka dan muncul seorang dokter yang akan keluar.
" gimana dok, kondisi direktur saya ? " tanya Bu Susi
" ibu yang bawa pasien itu kesini ? "
" iya dok "
" apa ibu masih ada hubungan keluarga dengannya ? "
" saya pegawainya dok "
" Begini, saya harus katakan kondisi pasien langsung ke keluarganya, apa anda bisa meminta salah satu anggota keluarga pasien kesini ? "
Aku harus hubungi siapa ? Aku saja tidak punya nomer istri Pak Aris Batin Bu Susi yang mulai bingung
" Bagaimana apa ibu bisa panggilkan ? " tanya dokter kembali
" gimana ya dok ? Saya tidak punya nomer salah satu keluarganya "
" Oh iya, ini ponsel milik pasien. apa ini bisa membantu ? " dokter itu mengeluarkan ponsel milik Aris dari saku celananya. Dia pun menyerahkannya ke Bu Susi yang berdiri di hadapannya. Perlahan tangan Bu Susi pun menerima ponsel itu.
" Bisa dok, ini bisa membantu "
" baiklah, mohon cepat dihubungi, saya akan menuju pasian lain "
" baik dok, terima kasih " dokter itu pun lalu melangkah pergi. Kini Bu Susi menatap layar ponsel Aris yang ada di genggamannya. Dia langsung menscroll untuk mencari nomer Istri direkturnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments