Masih POV UDA Raihan

Kembalinya aku dan bunda ke ruang rawat inap ayah di sambut tatapan dingin dari Raima.

Raima menunggu kami di depan pintu.

"Ayah sudah tidur, Ima?"

Bunda yang bertanya.

"Sudah. Bunda sama Uda dari mana?"

"Duduk duduk di taman. Jenuh dikamar terus. Bunda masuk dulu ya sayang".

Bunda pun melewati Raima sambil mengelus kepala Raima dan masuk ke dalam ruang rawat ayah.

Raima memandangiku dengan wajah penuh curiganya.

"Apa yang Uda sembunyikan dari Ima?"

"Menurut Ima apa?"

"Jangan bohong. Ima melihat dari jendela kamar. Bunda menangis ketika bicara dengan Uda".

Aku terkejut. Rupanya Raima melihat semua dari jendela kamar.

Aku tersenyum.

"Ima mau Uda cerita sekarang?"

Raima mengangguk kemudian menarikku ke kursi tunggu di depan kamar ayah.

"Tentang sakitnya ayah ya uda? Apa kata dokter?apa ayah harus dioperasi?"

"Hus, nanya kok rombongan begitu".

"Uda penuh teka teki"

Aku kembali tersenyum.

"Bukan tentang ayah. Dokter bilang, ayah belum bisa di operasi, karena tekanan darah dan gula ayah masih diatas normal".

"Lalu, kenapa bunda menangis? Apa Uda cerita tentang Uni Raisa pada Bunda".

"Uda sudah menceritakan semuanya pada Bunda. Karena bunda heran kenapa hari ini Raisa tidak datang".

"Jadi benar. Bunda sedih karena uni Raisa?"

"Sebagian karena Raisa, sebagian lagi bukan".

Raima memandangku dengan tatapan penuh tanda tanya.

Aku menarik nafas panjang sejenak.

"Pagi tadi Faris memberitahu Uda hasil pemeriksaan kau, Raima".

Aku memandang Raima. Melihat reaksi apa yang di tampilkannya. Tapi Raima hanya diam, menungguku kembali berbicara.

"Dokter Sutarjo ingin melakukan beberapa tes lagi. Secepatnya. Agar cepat dilakukan pengobatan".

Raima masih diam.

"Dek, kamu mendengar Uda?"

"Ima rasa, hasil pemeriksaan Ima lebih parah. Karena Ima melihat wajah Uda, Mas Faris dan Mas Agung yang berubah khawatir pada Ima tadi pagi ketika kalian bertiga kembali masuk sehabis berbicara di luar. Ima benar kan Uda?"

Aku kembali menarik nafas sebelum mengangguk.

"Ceritakanlah Uda. Ima baik baik saja. Ima akan mendengarkan Uda".

"Ada kelainan pada katup jantungmu dek. Namanya atresia jantung. Katup jantung tidak bisa membuka dan menutup dengan normal. Sehingga darah tidak bisa mengalir ke paru paru".

"dokter Sutarjo memperkirakan, ini sudah terjadi ketika lahir prematur. Gejala pastinya baru terasa sekarang karena aktifitas fisik, yang semakin bertambahnya umur semakin banyak aktifitas. Pola makan, pola hidup juga mempengaruhi".

Raima tetap masih diam mendengarkan. Tidak ada air mata yang keluar dari kedua matanya.

Itu membuatku semakin cemas. Aku lebih senang jika Raima menangis mengeluarkan semua unek uneknya, dari pada hanya diam seperti ini.

"Faris meminta Uda untuk memberitahu kau, Ima. Kau harus tau semua tentang penyakitmu. Agar kau bisa menjaga pola makan dan pola hidup".

Kali ini Raima mengangguk menanggapi kata kataku.

"Apa saja yang tidak boleh Ima lakukan?"

"Besok kau temui Faris. Dia akan menemanimu menemui dokter Sutarjo. Semua akan di jelaskan oleh beliau".

"Apa beliau juga akan menjelaskan berapa lama lagi waktu Ima tersisa di dunia ini?"

"Dek, apa.maksudmu?"

"Hehehe, Ima hanya bercanda, Uda. Jangan terlalu serius"

"Uda akan memberikan pengobatan untukmu dek"

"Uda fokus saja pada ayah. Ima baik baik saja. Uda juga punya keluarga yang harus Uda biayai"

"Dek, Raiyan juga sudah tahu. Dia juga akan membantu Uda. Jangan khawatirkan apa pun."

"Raiyan belum menikah. Dia harus menabung untuk masa depannya nanti. Uda jangan memberatkan Raiyan. Ima akan cari uang sendiri. Toh, Ima juga sudah menerima tawaran pekerjaan dari keluarga Barata.

"Yakin untuk bekerja pada keluarga Barata? Uda khawatir!".

"Apa yang Uda khawatirkan? Takut penyakit Ima kambuh? Ada Mas Faris kan yang bisa Ima telpon".

"Kau akan jauh dari keluarga. Uda tidak bisa membiarkanmu sendiri di sini".

"Ima juga dulu sendiri di Yogya. Ima baik baik saja. Uda tidak usah khawatir, Uda bisa menitipkan Ima pada Mas Faris atau Mas Agung. Mereka berdua pasti senang hati akan menjaga Ima. Atau, Uda terima saja lamarannya Mas Faris atau siapapun yang tinggal di Jakarta ini. Kali ini Ima akan menerimanya dengan senang hati".

"Jangan seperti itu. Baiklah, Uda akan mengijinkanmu bekerja di sini. Ada Raisa juga di sini. Biar bagaimanapun, dia pasti akan menjagamu".

"Tapi Ima tidak mau satu kost dengan Uni. Ima akan mencari tempat tinggal yang dekat dengan kantor Ima nanti".

"Uda mengerti. Yang penting, tetap jaga kesehatanmu. Terus berobat. Dan jangan menyembunyikan sesuatu dari kami semua".

"Ima mengerti Uda. Ima janji, akan bercerita pada Uda tentang apapun. Karena Ima tidak ingin membuat Uda dan yang lainnya khawatir. Keluarga kita sudah cukup mengkhawatirkan penyakitnya ayah. Ima tidak ingin menambah beban itu".

Aku memeluk Raima. Adik perempuanku yang dari lahir sudah rapuh. Lahir prematur kemudian di tinggal ibu pergi untuk selamanya. Selalu mengalah dengan Raisa, padahal Raima yang lebih muda. Mengalami ketidakadilan dari ayah karena rasa bersalah ayah atas kepergian Ibu. Dan aku pun selama ini kurang memperhatikan Raima karena fokusku belajar untuk mengejar gelar dokterku.

Untungnya ada Bunda dan Raiyan. Adik beda ibu kami yang terpaut satu tahun umurnya dari Raima. Rasa sayang Raiyan pada Raima melebihi kami saudara satu ibu dan ayah.

Bahkan aku pernah mencurigai hubungan mereka. Aku curiga Raiyan menyukai Raima bukan layaknya saudara. Tapi semua terbantahkan. Rasa sayang Raiyan tulus karena Raima yang diperlakukan beda oleh ayah.

Dan sekarang aku merasa bahwa sebagai seorang anak laki laki tertua, aku tidak berguna sama sekali. Aku terlalu fokus pada karierku. Mengejar spesialis tanpa memperhatikan kedua adik perempuanku.

Raisa dengan kehidupan glamour nya yang baru saja kuketahui. Dan Raima yang selama ini menyembunyikan dengan rapi rasa sakit yang selalu di deritanya.

Jika saja aku lebih peka dan perhatian pada mereka. Tidak akan terjadi hal dimana Raisa akan terjerumus jauh pada kehidupannya yang sekarang. Dan Raima juga akan cepat di ketahui penyakitnya.

Sakitnya ayah yang juga baru kuketahui beberapa bulan belakangan ini sudah membuatku merasa tidak berguna sebagai seorang anak. Hidup yang terpisah kota dengan ayah membuatku juga tidak memperhatikan ayah. Dan sekarang aku dihadapkan lagi oleh satu kenyataan yang lain tentang kedua adik perempuanku. Semoga saja Raiyan yang berbeda pulau dengan kami saat ini baik baik saja dan tidak membuat kabar mengejutkan lainnya.

Dan kali ini aku bertekad. Akan menjadi seorang kakak yang bisa menjadi panutan untuk seluruh keluargaku.

POV UDA RAIHAN OFF.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!