Bersama Uda dan Bunda yang berjalan di belakangku yang sedang mendorong kursi roda ayah. Kami terus berjalan menuju pintu keluar bandara.
Ayah tampak sehat. Mungkin karena ayah baru bertemu putri kesayangannya. kondisi ayah yang menggunakan kursi roda di persilahkan untuk turun dari pesawat lebih dulu.
Tak di sangka, Uni Raisa menunggu kami di tangga turun pesawat dan membawa kami ke ruangan khusus sambil menunggu bagasi.
"Maaf ayah, Uni tidak bisa mengantarkan Ayah".
Uni menggenggam erat tangan ayah. Tangisan yang terdengar ketika Uni memeluk ayah tadi mereda sudah. Aku hanya duduk diam sambil memainkan handphoneku memberi kabar pada Raiyan. Tak kusangka, Raiyan dengan cepat membalas chat yang kukirimkan.
#My Little Bro
"Apa ada adegan drama uni?"
#Me
"tumben membalas cepat?"
#My Little Bro
"Lagi istirahat makan siang. Uni belum menjawab pertanyaanku."
#Me
"Drama apa yang kamu maksud?"
#My Little Bro
"Kita sama sama tau bagaimana Uni Raisa. Jadi Uni jangan berbohong padaku. Apa Uni Raisa memainkan perannya dengan baik?"
#Me
"Hush, jangan seperti itu. Jangan membicarakan saudara sendiri. Ayah juga lagi sakit."
#My Little Bro
"Uni Raima terlalu polos. Sifat uni seperti itu yang suka dimanfaatkan Uni Raisa."
#Me
"Uda sudah kembali. Kami akan segera pergi. Nanti Uni kabari lagi. Jaga kesehatan disana ya dek."
#My Little Bro
"Siap Uniku sayang. Jaga Ayah dan Bunda ya Uni".
#Me
"Insya Alloh"
Aku memasukan handphoneku kembali ke dalam tas.
"Ayo dek Ima, barang barang sudah ada semua"
"Baik Uda"
Aku bersiap keluar ruang tunggu khusus dimana tadi Uni Raisa membawa kami untuk beristirahat sejenak sambil menunggu bagasi.
"Mobil sudah siap di depan. Begitu kembali, Raisa langsung kesana."
Uda hanya mengangguk sambil memeluk Uni Raisa.
"Tenanglah, ada kami yang menjaga ayah"
Uni Raisa juga memeluk bunda dan ayah baru kemudian memelukku.
"Titip ayah dek Ima".
"Tentu, Uni jangan khawatir".
Tentu saja aku akan menjaga ayah, ini juga ayahku, Uni. Batinku dalam hati.
Kalian pikir aku akan berani mengutarakan isi hatiku? tentu saja tidak!. Tidak pernah sekalipun aku mengutarakan semua yang mengganjal di dalam hatiku.
Mobil milik maskapai tempat uni berkerja sudah menunggu kami. Tentu saja uni akan memberikan fasilitas terbaiknya untuk ayah, termasuk mobil mewah yang sekarang kami naiki.
"Pimpinan Raisa meminjamkan mobil ini, uda. Tapi hanya untuk memgantar ke homestay saja. Dari homestay ke Rumah sakit dekat. Bisa menggunakan taksi online nanti".
"Sampaikan terima kasih pada pimpinanmu. Untuk selanjutnya uda bisa pikirkan nanti. Kamu tidak usah mengkhawatirkan itu".
Uni Raisa hanya menggangguk. Dan melambaikan tangan ketika mobil sudah mulai bergerak.
Aku yang duduk di belakang bersama beberapa tas kecil hanya bisa diam. Diantara kami berempat, hanya akulah si paling pendiam. Aku bukan anak penurut, tapi aku yang jarang berbicara. Aku tidak suka basi basi yang bisa berakhir menjadi seorang penjilat. Juru bicara dan tamengku di dalam segala hal adalah Raiyan. Raiyan si bungsu yang paling vokal, yang paling berani mengutarakan pendapatnya. Bahkan si sulung uda Raihan pun masih takut jika harus berdebat dengan ayah. Beda dengan Raiyan. Tidak akan pernah takut, apalagi jika yang dikatakan atau dilakukannya itu adalah hal yang benar.
Jalanan ibu kota yang padat merayap membuat perjalanan memakan waktu lebih lama. Aku pun terlelap dengan mudah di kursi belakang.
"Raima, sayang. Bangun nak"
"Tidur dia bunda?"
"Iyo"
Kudengar sayup sayup suara Uda dan Bunda.
"Ayo sayang, kita sudah sampai"
Aku pun berusaha untuk membuka mataku. Entah kenapa, sulit bagiku untuk membuka mata.
Nafasku sedikit sesak.
"Bunda masuk saja, ayah sudah didalam. Biar Uda yang bangunkan dek Ima."
Kembali kudengar suara Uda.
Uda menepuk pipiku.
"Dek, kamu merasa sesak?"
Uda mengangkat sedikit tubuhku lebih tinggi.. Memasang sesuatu di hidungku.
"Gak di bawa turun saja pak?"
Supir mobil tadi rupanya ada di dekat uda.
"Jangan, nanti di lihat ayah saya. Ini cuman sebentar, adek saya memang suka begini jika salah posisi tidur".
Tidak ada suara lagi yang kudengar. Aku mencoba mengatur nafasku. Ketika akhirnya aku bisa membuka mataku kulihat uda menarik nafas lega.
"Lebih baik?"
Aku mengangguk.
"Ikut periksa sekalian ya besok".
"Gak usah uda. Ima sudah baikan".
"Ayo!"
Uda memapahku untuk keluar mobil.
"Katanya sudah lama gak kumat?"
Bunda menyambutku di depan pintu dan mengambil alih aku dari uda.
"Ayah mana bun?"
Uda bertanya pada bunda yang membawaku ke sofa ruang tamu.
"Bunda istirahatkan di kamar. Dari pada nanti liat Ima lagi begini. Kamu kecapean ma?"
Bunda bertanya padaku sambil memijit tanganku pelan. Aku hanya tersenyum pada bunda. Kulihat uda kembali keluar rumah tempat kami menginap sekarang ini. Mungkin menemui pak supir sambil mengangkat barang barang kami. Kasian uda, aku belum bisa membantu. Entah kenapa tubuhku terasa lemas. Dan aku pun kembali tertidur di sofa.
"Raima tidur lagi bun?"
Sayup-sayup kudengar suara Uda sebelum akhirnya aku kembali tertidur pulas.
#######
"Maaf, Ima buat repot uda dan bunda."
Aku terbangun sudah berada di dalam kamar dan dengan kondisi tangan di tusuk jarum infus. Entah berapa lama aku tertidur.
"Bicara apa kamu sayang. Ima kan anak Bunda. Bunda tidak merasa di repotkan".
"Bunda sudah menjaga ayah, sekarang harus menjaga Ima."
"Istirahatlah, bunda bilang ke ayah kalo kamu terlalu lelah. Jadi kamu tertidur lama. Sebentar lagi infusannya habis. Temui ayah biar tidak curiga".
Aku mengangguk sambil memandang pintu kamar yang terbuka. Tampak uda masuk bersama seorang laki laki.
"Sudah bangun? Ima ingat sahabat uda yang di yogya?"
Aku mengangguk.
"Bagaimana Ima bisa lupa dengan anak ibu kost Ima?"
Sahabat Uda tertawa sambil mendekatiku.
"Syukurlah masih ingat sama mas. Kirain dek Ima sudah lupa. Mas pangling lho liat dek Ima sekarang. Tambah cantik pake hijab."
Sahabat Uda duduk disisi tempat tidur sambil memasang stetoskop di telinganya.
"Sering mengalami begini?"
Aku menggeleng.
"Dulu, waktu KKN"
"Wah, sindrom tempat baru sepertinya ya"
"Hehehehe. Masa iya mas"
"Buktinya, dek Ima setiap datang ke tempat baru kan jadi begini. Tidur seperti orang pingsan".
"Iya juga ya mas". Aku kembali terkekeh
"Besok, pas ayah ke rumah sakit. Dek Ima temui mas ya, kita cek lengkap".
"Gak usah mas, biar urus ayah dulu".
"Ayah kan sudah di tangani dokter lain. Nah, dek Ima ini, mas yang tanganin. Iya kan Raihan?"
Uda yang berdiri di belakang Mas Faris mengangguk dan tersenyum padaku.
"Cek sekalian ya dek. Uda khawatir liat kamu tiba tiba tidur seperti itu".
"Yang di cek apanya?"
Aku bertanya dengan polos.
"Bagian mana yang dek Ima rasa sakit?"
Mas Faris yang menjawab pertanyaanku.
"Dada. Rasanya sesak".
"Kita cek besok bagian dadanya yaa"
Mas Faris berkata sambil tersenyum.
Reflek aku menutupi dadaku dengan kedua tangan.
Mas Faris dan Uda tertawa kecil.
"Sampai ketemu besok dek Ima. Nanti biar Raihan yang buka infusnya. Paling lama lima belas menit lagi. Mas Faris pamit dulu ya dek".
"Terima kasih Mas".
Mas Faris pun pamitan pada Bunda yang sedari tadi hanya diam.
"Istirahat ya, Bunda liat ayah dulu".
Aku mengangguk dan tersenyum pada Bunda.
Ya Tuhan, kenapa aku jadi ikut ikutan sakit sih. Bukannya menjaga ayah, aku malah yang ikut dijaga.
Tak lama Uda kembali masuk kekamarku.
"Asma nya Ima kumat ya Uda?"
"Ima kan bukan hanya punya Asma. Tapi ingat, kalo Ima juga ada riwayat jantung. Karenanya Uda minta Ima mau di cek lengkap oleh Faris besok."
"Ima memalukan ya Uda."
"Kok seperti itu?"
"Bukannya menjaga ayah, eh Ima ikutan di jaga".
Uda hanya tersenyum sambil mengelus kepalaku yang masih tertutup hijab dengan lembut.
"Jangan berpikiran yang berlebihan. Berpikirlah untuk cepat sehat, cepat bantu bunda buat jaga ayah".
Aku mengangguk sambil tangan menunjuk ke arah infusan. Uda pun membuka infusanku dengan lembut dan hati hati.
"Istirahat, setengah jam lagi keluarlah kamar, biar ayah tidak curiga".
Aku kembali hanya mengangguk. Uda kembali mengelus kepalaku sebelum keluar kamar. Meninggalkan diriku. Si Raima yang tegar namun lemah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments