#11 Pasangan Selektif

Setelah melakukan kesepakatan bersama dalam video call tadi malam bersama Uni Raisa dan Raiyan.

Maka Ayah akan dibawa ke Jakarta untuk mencari pendapat dokter yang lain tentang sakitnya Ayah.

Dan aku yang baru saja pulang kampung, akan kembali ke Jakarta untuk menemani Bunda menjaga ayah.

Rayyan mengirim uang kepadaku.

"Buat jaga jaga uni." begitu ucapan Raiyan ketika kutanya uang itu untuk apa.

Uni Raisa yang membelikan tiket untukku, bunda dan ayah. Sedang Uda membeli tiketnya sendiri.

Aku hanya bisa diam. Walaupun aku ikut menyumbang dana, palingan itu hanya cukup untuk ongkos taksi. Maklumlah aku hanya pengangguran yang masih berusaha mencari kerja.

"Uda urus dulu semua prosedurnya. Kalo sudah selesai semua, baru kita bawa ayah ke Jakarta. Kita lihat dulu kondisi Ayah. Karena perjalanannya jauh. Kasian ayah kalo lelah di jalan."

Kami semua serempak mengangguk

"Raiyan belum bisa ijin Uda. Karena Rayyan sudah mengajukan cuti untuk lebaran nanti."

"Iya dek, kami mengerti. Yang penting dek yan jangan terlalu banyak berfikir. Ada kami yang menjaga dan merawat ayah. Berdoa untuk kesembuhan ayah."

"Kabari Raisa ya uda, kapan berangkatnya".

"Iya, uda akan urus secepatnya. Ada Raima di sini, jadi Uda sedikit lebih tenang. Ada yang menemani Bunda, jika Uda tinggal."

"Kabari juga Raiyan ya Uda, Uni Ima. Sms saja jika Raiyan tidak bisa di telpon."

"Iya dek" Aku yang menjawab Rayyan.

"Uni Ima juga harus jaga kesehatan. Jangan terlalu lelah. Ingat jantungnya Uni."

"Iya bawel. Uni sudah lebih sehat sekarang. Jarang kumat lagi."

"Tapi tetap saja harus jaga kesehatan. Jangan sampai uni pma ikut di rawat juga bersama ayah."

" Iya iya. Uni paham."

" Untuk tempat menginap, Raisa akan cari dekat rumah sakit saja Uda. Biar akomodasinya mudah."

"Kamu atur saja yang mana baiknya Sa, kamu lebih tau Jakarta dibanding kami semua."

Uni mengangguk. Uda pun menyudahi video call kami dengan berbagai pesan pada dek Raiyan dan Uni Raisa. Supaya mereka semua tetap menjaga kesehatan dan selalu berdoa untuk kesehatan Ayah.

Setelah itu Uda melakukan panggilan Video call ke istri dan anak perempuannya. Aku sempat berbincang sebentar dengan Uni Vio sebelum akhirnya aku memutuskan untuk ke musholla rumah sakit.

Aku belum melaksanakan sholat Isya. Badanku pun rasa remuk redam, lelah karena perjalanan yang ku tempuh dari Yogya. Aku ingin membaringkan tubuh sebentar di Musholla.

Ruangan ayah tidak begitu luas, dipakai bunda berbaring pun sudah terasa sempit. Karenanya aku dan Uda menggelar karpet di luar ruangan Ayah. Tapi jika aku berbaring sekarang, masih banyak orang yang berlalu lalang karena hari belum terlalu malam. Masih banyak keluarga pasien yang datang sekedar mengantarkan baju ganti atau makanan buat yang berjaga.

Rumah sakit di daerah tidak begitu besar. Lorongnya pun kecil, di tambah lagi dengan kursi kursi yang juga di letakan di lorong lorong. karenanya agak sulit bagi keluarga pasien untuk tidur di luar ruangan menggelar karpet kecuali tidur di kursi tunggu.

Aku menyelesaikan kewajibanku pada sang pencipta. Bermaksud berbaring tanpa melepas mukena. Sebelum seseorang menyapaku hingga membatalkan niatku untuk berbaring.

"Kamu Raima kan?"

Aku mengangguk sambil memandangi sosok cantik di hadapanku.

"Masya Alloh, Ai??"

Kami berpelukan.

"Sempat ragu buat sapa, soalnya pake kerudung. Gak kenal aku. Apa kabar Ma?"

"Alhamdulillah baik, kamu?"

"Seperti yang kamu lihat. Sehat kan aku?"

"Kamu kerja di rumah sakit?"

Kuperhatikan pakaian yang dipakai Aisha, teman sekolahku dari taman kanak kanak sampai menengah atas.

"Aku dokter magang di sini"

"Alhamdulillah. Cita cita jadi dokter tercapai juga."

"Beasiswa aku Ma".

"Alhamdulillah. Alloh kasih jalan kan buat kamu."

"Iya, alhamdulillah. Kalo tidak beasiswa mana bisa aku Ma, tau sendiri kan bagaimana orangtuaku dulu".

"Oh iya, gimana kabar orangtua mu?"

"Akhirnya mereka bercerai Ma, aku ga dengar lagi kabarnya ibuku. Hilang begitu saja. Eh, lupakan tentang orangtuaku. Aku sudah dengar tentang ayahmu. Bagaimana ayah sekarang? Sayang aku tidak bertugas di ruangan ayahmu."

"Sudah lebih baik sekarang. Rencana Uda akan membawa ayah ke Jakarta. Tunggu ijin dulu dari dokter yang merawat ayah disini."

"Iya, aku ada lihat dokter Raihan beberapa hari yang lalu. Aku pikir ada keperluan saja dokter Raihan di sini, ternyata ayahmu yang sakit."

Aisha melihat jam di tangannya.

"Kamu jaga ayahmu?"

Aku mengangguk.

"Aku kembali ke poliku dulu. Nanti aku berkunjung ke sana. Aku minta nomor ponselmu Ma."

Setelah bertukar nomor hape, Aisha pun pamit. Kulihat semakin banyak orang yang berbaring di dalam musholla. Ternyata mereka semua memiliki pemikiran yang sama denganku. Aku pun merapikan peralatan sholatku dan beranjak keluar.

"Lamo nian? Tidur kau?"

"Ketemu Aisha uda, teman sekolah Ima dulu. Uda ingat?"

"Dokter kan dia? Ada uda ketemu. Dia sapa uda lebih dulu".

"Iya, masih magang dia disini. Akhirnya, tercapai semua cita citanya."

"Dia yang dulu suka kerumah, menangis pada bunda karena di pukuli ibunya kan?"

Aku mengangguk.

"Kasian dulu dia. Ayahnya suka main judi dan mabuk mabukan. Ibunya melampiaskan semuanya pada dia."

"Tapi sekarang semua sudah baik baik kan?"

"Katanya tadi ayah dan ibunya bercerai. Ibunya pergi. Ima juga tidak bertanya dengan siapa dia tinggal. Sepertinya Aisha tidak ingin membicarakan tentang keluarganya."

"Ya, semoga dia kedepannya bahagia".

"Amiiinnn".

"Bukannya dulu Raiyan suka dengan Aisha?"

"Hahahaha uda ingat itu?"

"Ingatlah, Raiyan suka mengantarkan Aisha pulang. Raiyan juga bilang mau jadi penegak hukum buat melindungi Aisha."

"Dek Iyan ingat gak ya Uda, jika kita ingatkan itu."

Uda tertawa.

"Kalo memang jodoh tidak akan kemana. Akan ada jalan Alloh untuk mempertemukan dan mempermudah jalan mereka".

"Amiinn. Ima senang jika Ai yang jadi iparnya Ima. Kami bisa menjadi ipar yang kompak dan solid".

"Dengan Uni Vio tidak?"

"Bukan begitu Uda, Ima kan jarang bertemu Uni Vio. Berkumpul pun cuma sebentar setelah Uda menikah. Karena Uda harus kembali bertugas ke Batam."

"Kalo kamu bekerja di Jakarta. Dapat jodoh orang Jakarta. Kamu juga tidak akan berkumpul dengan Aisha. Belum lagi jika Aisha di bawa Raiyan bertugas".

Aku hanya menunjukkan cengiran pada Uda.

"Liat nanti lah Uda. Siapa tau Ima dapat jodoh orang sini".

"Kamu lihat daftar nama yang ada di Bunda. Kamu tinggal pilih. Salah satu dari mereka siap menikahi kamu jika kamu menerima lamarannya."

Aku menarik nafas panjang.

"Tidak untuk saat ini Uda. Mungkin tiga tahun lagi".

"Lari mereka semua. Tidak ada yang mau menunggu selama itu."

"Berarti bukan jodoh Ima. Simpel kan Uda?"

Aku menarik turunkan alisku sambil tersenyum pada Uda.

Uda mengelus kepalaku.

"Uda selalu berdoa, ade adenya Uda selalu sehat, diberikan rezeki yang luas dan mendapatkan pasangan yang baik, yang saling menyayangi. Terutama Kamu dan Raisa. Uda harap suami kalian nanti benar benar tulus dan sayang pada kalian. Sehingga Ayah,Bunda, Uda dan Dek Iyan tenang melepas kalian untuk dibawa pasangan masing masing."

"Jika pasangan kalian orang yang kasar, tidak tulus. Itu akan jadi beban Uda dan Dek Iyan. Kami pasti akan turun tangan. Tidak akan membiarkan kalian disakiti"

"Jadi jangan marah, jika nanti kami selektif terhadap orang orang yang datang melamarmu dan Raisa. Karena semua untuk kebahagiaan kalian."

Aku memeluk Uda.

"Terima kasih Uda"

"Hus, lepas. Nanti orang salah sangka. Dikira ngapain ini peluk pelukan."

Aku melepas pelukan pada Uda dan mencium sekilas pipi Uda.

"IMA SAYANG UDA"

Tenang Uda, Ima akan selektif dalam mencari pasangan. Ikutan ajang mencari jodoh bisa kali yaa 😁

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!