Masih Mas Faris..

Aku mengikuti berbagai rangkaian pemeriksaan yang aku sendiri tidak tau apa itu namanya. Mas Faris terus menemaniku sampai selesai. Bahkan Mas Faris rela membawakan tasku kesana kemari selama aku menjalani beberapa pemeriksaan.

Tatapan tatapan penuh tanya terlihat nyata yang tidak berani mereka tanyakan langsung pada kami. Hanya rekan sejawat mas Faris yang setingkat Mas Faris berani bertanya.

Dokter dokter muda terutama dokter wanita yang jelas terlihat mengagumi Mas Faris pun hanya bisa menatapku dengan tatapan tajam setajam siletnya mbak roseee.

"Mas Faris?"

Kini aku duduk bersama mas Faris di kantin rumah sakit. Mas Faris sudah tidak mengenakan jas dokternya lagi. Hanya baju hem yang tangannya di gulung.

"heemm"

"Kita di liatin mas"

"Biarin"

"Mas Faris idola di sini?"

"Hebatkan masmu ini".

"Cih, buta aja mata mereka itu mas".

Mas Faris hanya diam.

"Pemeriksaan ayah masih lama mas?"

"Ayah harus opname dek. Ada pemeriksaan lagi untuk besok pagi"

"Oh, jadi ayah opname? Kok gak bilang. Ima kan mo liat ayah".

"Nanti !. Selesaikan dulu makanmu. Mas antar setelah makan".

"Mas gak kerja?"

"Dinas malam".

"Irit banget sih pak dokter"

"Habiskan makannya, jangan banyak bicara. Mau mas suapin?"

Aku kembali memanyunkan bibirku. Tanpa kusadari, tingkah kami disalah artikan oleh orang lain.

Mas Faris terkejut ketika seseorang duduk disamping Mas Faris secara tiba tiba.

"Astagfirullah, kenapa ente? Tiba tiba gak ada angin ga da hujan".

"Lue tu Ris, yang gak da angin ga da hujan tiba tiba bawa cewek. Jadi trending topik di seantero rumah sakit"

"Lebay!"

"Kenalin dong Ris"

"Mau dek kenalan sama kembarannya wan abud yang pelihara onta?"

Mas Faris menatapku. Aku hanya tersenyum mendengar kata kata Mas faris.

"Saya Raima"

Aku menangkupkan tanganku di depan dada.

"Ane Farhan. Kembaran Faris sebenarnya sama sama F"

"Gak usah salaman. Bukan Mahram"

Mas Faris memukul tangan Bang Farhan yang menjulur padaku. Aku kembali tersenyum.

"Posesif lue Ris"

Mas Faris hanya diam.

"Dek Ima apanya Faris?"

Bang Farhan bertanya langsung padaku.

"Bukan urusan lue. Ngapain tanya tanya. Sudah sana pergi".

Mas Faris mengusir Bang Farhan.

"Lue tahu ga Ris, lue udah bikin Bunga menangis. Udah bikin rumah sakit heboh. Jadi ane harus tau lah ada hubungan apa kalian berdua?"

"Bukan urusan gue. Kalian aja yang terlalu heboh.

"Jahat lue Ris. Dek Ima aja ya yang bilang hubungan kalian apa?"

Aku kembali tersenyum.

"Aduh senyumnya. Boleh gak abang jatuh cinta juga sama adek?"

"Ingat istri yang lagi bunting. Sana pergi! ganggu aja!"

"Pleasee Raima. Abang gak mau kalah taruhan".

"Taruhan lue? Sama Siapa?"

"Dokter agung"

Aku tertawa, kali ini lebih keras.

Mas Faris dan Bang Farhan memandangiku yang tertawa.

"Sama itu tuh, ada temannya dokter Agung. Dia malah yang suruh ane buat nanya langsung ke elu Ris"

Tawaku semakin keras.

"Dokter Raihan yang dari Batam?

"Iya, kok dek Raima kenal?"

"Kenal lah bang. Raima juga punya fotonya di ponsel Raima"

"Abang jadi gagal paham nih dek"

"Udah, ayo kita temui dokter Agung dan temannya itu. Biar ente paham. Ayo dek!"

Mas Faris berdiri diikuti olehku dan Bang Farhan. Kami berjalan bertiga menuju tempat dimana Mas Agung dan Uda berada.

Uda dan Mas Agung duduk di cafetaria ruang tunggu para dokter di lantai satu. Masih satu lantai dengan lobby dan kantin umum.

Begitu kami masuk. Berbagai mata dokter yang sedang tidak bertugas kembali menatap kami.

"Ngerjain wan abud kalian berdua?"

Mas Faris duduk disampingku yang lebih dulu duduk disamping Uda. Uda membelai kepalaku.

Seketika mata bang Farhan membulat melihat sikap uda padaku.

"Tunggu. Tunggu. Ini harus dijelaskan. Raima sama dokter Raihan hubungannya apa?"

"Jadi orang itu gak usah kepo wan abud. Udah sana balik ke IGD. Sudah habis jam keponya"

"Aguuuunngg"

Bang Farhan merengek pada mas Agung.

"Liat persamaan antara dokter Raihan dan Raima tidak?"

Mas Agung yang mungkin kasian pada Bang Farhan berusaha menjelaskan.

"Oohh, Raima adeknya dokter Raihan?"

Uda hanya mengangguk.

"Terus sama dokter Faris?"

"Gak nanya sekalian hubungan sama dokter Agung juga?"

Mas Faris berdiri.

"Gue balik ya, ngantuk. Tar kalo hasilnya dah keluar tak kabarin Han".

"Thanks ya Ris"

Mas Faris dan Uda bersalaman. Mas Faris kembali mengacak jilbabku sebelum pergi.

"Di banyakin makan dek. Badan kayak tiang listrik"

Aku melempar botol kosong pada Mas Faris yang sedang bersalaman dengan Mas Agung.

"Jadi gak ada hubungan nih?"

"GAK ADA WAN ABUD. Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam. Hati hati Ris"

Mas Faris hanya melambaikan tangannya.

Bang Farhan pun juga ikutan pamit.

"Ayah, gimana Uda?"

"Hasil pemeriksaan ayah juga belum keluar"

"Kata Mas Faris ayah opname?"

"Iya, ayo kita ke kamar ayah. Tadi ada Raisa juga datang. Makanya Uda bisa duduk di sini. Klo ada Raisa, kita di lupakan ayah"

Aku kembali tersenyum.

"Ayo, aku juga harus kembali"

Mas Agung ikut berdiri bersama kami. Kami berjalan beriringan sampai berpisah di depan pintu lift. Mas Agung memasuki lift khusus dokter. Berbeda dengan Lift yang kami naiki.

Begitu hanya aku berdua dengan Uda. Aku langsung bertanya.

"Mas Faris itu belum menikah, Uda?"

"Duda"

"Oooh. Seingat Ima, dulu ada acara ngunduh mantu di Yogya, di rumah ibu kost. Makanya Ima bingung. Cerai, Uda?"

"Iya, cuma enam bulan pernikahan mereka"

"Kenapa bercerai?"

"Waktu itu Faris kuliah ke luar negeri. Istrinya tidak sanggup katanya LDR. Ternyata ada Pria idaman lain".

"Mas Faris cakep gitu masih di selingkuhin?"

"Mana kita tau dek. Kenapa? Suka sama Faris?"

"Gak lah. Mas Faris bagi Ima tu sama kayak Uda dan Mas Agung. Cuman heran aja, kok bisa gitu masih sendiri"

"Seandainya Faris ngelamar, dek Ima mau?"

"Ih uda, kan Ima sudah bilang. Mas Faris itu sudah kayak Uda. Artinya sudah seperti kakak Ima sendiri".

"Eh, Mas Faris pernah ngelamar Ima, uda?

"Uda bilang kan seandainya?"

"Jika uda sudah bilang begitu. Pasti sebelumnya sudah ada sesuatu. Ayo, uda bohong"

"Jika dek Ima memang ada perasaan ke Faris baru uda cerita. Jika tidak ada perasaan, ya biarkan seperti ini. Dari pada nanti hubungan jadi rusak".

"Uda benar. Seperti ini lebih baik. Mas Faris baik, keluarga di Yogya juga baik. Ima tidak mau merusak itu semua".

"Uda kenal dokter bunga?"

"Iya, ade tingkat kami dulu di Yogya. Kenapa? Dia suka Faris?"

"Uda juga tau?"

"Cerita bunga ngejar Faris sampai kejakarta pun Uda tau"

"Kok Mas Faris gak terima dokter bunga? Bahkan terkesan cuek dan gak suka".

"Bunga dulu juga ikut kuliah ke luar negeri. Kemana pun Faris pergi. Bunga selalu mengikuti. Faris muak. Perceraian Faris pun karena bunga yang selalu mengirimkan foto foto Faris yang sedang bersama Bunga. Padahal saat itu mereka hanya belajar bersama".

"Dokter bunga melakukan itu?"

"Cinta mati sama Faris sampai jadi obsesi".

"Ima jadi takut Uda".

"Takut?"

"Jika dokter bunga berpikir Ima ada hubungan dengan Mas Faris. Pasti dokter bunga juga akan mengganggu Ima".

"Kemana adek Uda yang punya sabuk hitam? Kok jadi penakut? Ketahuan Raiyan, di turunkan sabukmu nanti".

"Kalo berhadapan duel begitu Ima layani, uda. Takutnya pakai cara licik".

"Faris tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padamu dek, tenang saja".

Aku hanya menarik nafas panjang. Tidak lagi membahas mas Faris. Kami sudah di depan pintu rawat inap ayah. Bersiap memasang wajah manis agar ayah tidak curiga dan bertanya yang macam macam.

Uda mendorong pintu sambil memgucapkan salam. Teriring salam yang dijawab dari dalam kamar, terlihatlah perempuan manis yang duduk manis di samping ayah sambil meminum teh manis. 😁

LHO? Siapa yang manis? Hehehehe

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!