Bunda

Aku duduk bersila di musholla rumah sakit. Sejak berakhirnya sholat maghrib tadi, aku terus berada di dalam musholla. Bibirku terus mengucapkan ayat ayat quran yang kubaca walaupun dalam suara lirih. Penjelasan Uda tentang hasil pemeriksaanku kemarin membuktikan semua rasa sakit yang sering ku derita selama beberapa bulan ini.

Aku tidak pernah menceritakan pada siapa pun. Aku pernah berobat di klinik kampusku. Dokter klinik menyarankanku untuk pemeriksaan lebih lanjut pada rumah sakit terdekat. Tapi aku tidak pernah melakukannya. Selain faktor biaya, aku juga tidak ingin mengetahui kebenaran tentang sakitku. Aku hanya berpikir aku terserang asma yang memang sudah kumiliki sejak kecil.

Tapi kejadian hampir pingsannya aku kemarin membuat Uda bertindak lebih padaku. Uda memeriksakan diriku di rumah sakit ini, dimana Ayah sekarang juga sedang di rawat.

Dan hasilnya sangat menyesakkan dadaku. Sebenarnya aku ingin menangis ketika Uda menjelaskan padaku tadi.

Tapi aku si Raima, gadis yang dari kecil sudah biasa di tempa oleh kesabaran tinggi. Aku yang sudah terbiasa di sisihkan, yang selalu di nomor sekian kan oleh ayah. Tidak akan dengan mudahnya menangis hanya karena berita ini. Aku tidak akan mengasihani diriku sendiri.

Aku seorang muslim yang percaya bahwa apa yang terjadi padaku sekarang adalah takdir dari Alloh SWT. Aku harus menjalaninya karena aku adalah orang pilihan. Alloh memberikanku penyakit ini karena Alloh yakin aku bisa menjalaninya. Semoga dengan penyakitku ini, bisa menggugurkan seluruh dosa dosaku.

"Ima"

Aku menghentikan bacaanku ketika kudengar suara bunda.

"Iya bun?"

"Kamu belum makan, sudah selesai mengajinya?"

"Ima tunggu waktu Isya Bun. Capek bolak baliknya. Jadi Ima tunggu saja dulu disini".

"Ada Raisa datang. Jadi bunda bisa menemanimu di sini".

"Ada Uni datang?"

"Iya, bersama seorang laki laki. Katanya Pilot di maskapainya. Dia banyak bawa makanan. Raihan tadinya akan memanggilmu. Tapi bunda yang mengajukan diri untuk kemari memanggilmu".

Aku memandangi bunda.

"Bunda tidak ingin menemui Uni?"

"Bukan seperti itu sayang. Oh iya, bunda telpon Raihan dulu, dia pasti menunggu kita".

Bunda mengeluarkan ponselnya dan menelpon Uda. Hanya beberapa detik, telpon itu sudah terputus.

"Bunda sudah tau tentang penyakit Ima kan?"

Aku membaringkan kepalaku di paha bunda. Bunda pun mengelus kepalaku dengan lembut. Musholla rumah sakit saat ini hanya ada kami berdua di shaf perempuan. Membuatku leluasa untuk berbicara pada bunda.

"Bunda tau sayang. Dan bunda juga tau kalo anak bunda ini kuat. Tidak akan kalah dengan penyakitnya".

"Seyakin itu bunda pada Ima?"

"Walaupun bukan bunda yang melahirkanmu. Tapi bunda yang membesarkanmu. Bunda tau isi hatimu. Bahkan bunda tau apa yang ada di dalam kepalamu yang keras seperti batu ini".

Aku tertawa kecil dan bangkit kemudian memeluk bunda.

"Doakan Ima ya bunda".

"Selalu sayang. Bunda selalu mendoakan anak anak bunda"

"Uni Raisa juga?"

"Tentu. Raisa juga anak bunda kan?"

Aku tersenyum.

"Walaupun sekarang bunda kecewa pada Uni mu itu".

Aku kembali berbaring di pahanya bunda. Dan bunda kembali mengelus lembut kepalaku yang tertutup mukena.

"Raisa tidak pernah bersyukur dengan apa yang terjadi di dalam hidupnya. Jika dia bersyukur, hal ini tidak akan terjadi".

"Menurut bunda, itu yang salah pada Uni?"

"Ayahmu terlalu memanjakannya. Berusaha untuk terus menjadikannya bintang di setiap acara. Ayahmu lupa bahwa tidak semua orang menyukai bintang yang hanya hadir di malam hari".

"Jadi bunda menyalahkan ayah?"

"Secara tidak langsung ayahmu lah yang membuat Raisa seperti ini. Putri yang begitu di puja sehingga lupa bahwa masih ada putrinya yang lain".

"Raima baik baik saja bunda"

"Tidak nak. Saat itu kamu tidak baik baik saja. Tapi bunda bersyukur, Kamu tidak menjadi anak yang pendendam. Tapi sebaliknya, kamu menjadi anak yang kuat dan sabar."

"Karena bunda Ima jadi bisa seperti itu".

Bunda mengecup kepalaku.

"Ima sayang bunda"

Aku pun membalas dengan mencium pipi bunda.

Perbincangan kami berakhir karena azan Isya yang sudah terdengar.

Sekali lagi aku memandang bunda yang juga memandangiku dengan senyuman manisnya.

Aku tidak pernah bertemu ibu kandungku. Tapi bagiku, bundalah ibu kandungku. Di dalam tubuhku tidak mengalir darah bunda. Tapi keringat dan air matanya lah yang menemaniku selama dua puluh dua tahun hidupku.

Aku berharap bisa membahagiakan bunda di sisa umurnya dan di sisa umurku.

Terpopuler

Comments

Endah Setyarini

Endah Setyarini

kerennnnn

2023-06-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!