"Han, bisa keluar sebentar?"
Mas Faris yang pagi ini datang ke ruangan ayah meminta Uda untuk keluar bersamanya. Aku tau, pasti ada sesuatu yang ingin dibicarakannya dengan Uda.
Aku berniat untuk ikut mereka keluar kamar. Mereka pasti akan membicarakan tentang sakitnya ayah. Tapi kemudian pintu kamar yang kembali terbuka membatalkan semua keinginanku.
Mas Agung muncul di depan pintu bersama Mbak Dewi istrinya. Setelah memperkenalkan Mbak Dewi pada Ayah dan juga Bunda. Mas Agung keluar menyusul Uda dan Mas Faris.
Mau tak mau aku tetap harus didalam bersama Bunda untuk menemani Mbak Dewi.
"Raima, kenapa belum menjawab panggilan kerja dari kami?"
Aku tersenyum sedikit malu.
"Maaf Mbak, saya masih bingung".
"Apo yang kau bingungkan nak?"
Ayah yang bertanya sambil menatapku. Aku membalas tatapan ayah dengan senyuman.
"Apo karena ayah? Karena ayah sakit?"
"Bukan seperti itu ayah"
"Nak, dengar ayah. Kau sudah banyak mengalah. Jangan karena ayah kau tunda semua keinginanmu. Ambil pekerjaan itu. Ayah senang kau kerja bersama istrinya Agung. Ada yang menjaga kau. Ayah menjadi tenang".
"Tapi, ayah".
"Tidak. Jangan berubah pikiran nak. Ambillah. Ayah baik baik saja".
"Iya Ima, ada Bunda yang menjaga Ayah. Ima tenang saja".
Bunda pun ikut berbicara sambil mengelus lembut bahuku.
Aku hanya tersenyum menanggapi semuanya.
Mbak Dewi pun ikut mengelus bahuku.
"Mbak senang jika kamu mau bekerja pada kami. Kamu sudah seperti adik sendiri bagi Mas Agung. Tentu saja, mbak juga akan menganggapmu seperti itu".
"Raima akan pikirkan lagi mbak"
"Jangan dipikirkan lagi nak. Terimalah, kau berhak bahagia nak".
"Baiklah, jika itu membuat ayah senang. Ima akan menerimanya".
"Alhamdulillah"
Ayah, bunda dan Mbak Dewi kompak mengucapkannya.
"Apa ini yang alhamdulillah. Ada yang dapat hadiah?"
Mas Agung yang masuk bersama Uda juga Mas Faris melontarkan pertanyaan.
"Raima bersedia untuk berkerja di Barata grup mas".
Mbak Dewi yang menjawab dengan antusias.
"Oh ya?"
Mas Agung, Mas faris dan Uda langsung menatapku. Aku membalasnya dengan senyuman. Tapi saat ku melihat mata mereka bertiga. Aku tau, ada sesuatu yang terjadi. Entah itu apa. Yang jelas hal itu membuat mereka khawatir.
Uda mendekatiku dan mengelus kepalaku yang tertutup hijab.
"Kamu sudah memutuskannya dek?"
Aku memandang Uda.
Dek?
Jika uda memanggilku dengan panggilan itu. Aku yakin ada yang tidak beres.
"Uda tidak suka?"
Uda tersenyum dan kembali mengelus kepalaku.
"Kenapa Uda tidak suka? Itu keinginanmu. Uda akan mendukung penuh. Uda yakin, Dewi akan menjagamu dek"
"Tentu, jangan Khawatir. Aku pasti akan menjaga Raima. Sudah kubilang, Raima adalah adikku. Iya kan mas?"
Mbak Dewi menoleh pada suaminya.
"Iya, setelah itu kau berharap Raima jadi adik iparmu kan?"
"Ya, tidak mustahil. Mana kita tau jodoh. Iya kan Ayah, Bunda?"
Ayah tersenyum.
"Iya, jodoh itu rahasia Alloh. Tidak tau nanti siapa jodohnya putri ayah ini".
"Siapa tau, nanti Dewa suka sama Raima. Kan bisa jadi mereka berjodoh".
"Dewa?"
"Iya ayah, Dewa itu adik saya. Sekarang masih di luar negeri. Betah berkerja di negara orang".
Ayah kembali tersenyum.
"Sudah Mi, ini sudah siang. Katanya mo ada rapat siang ini?"
Mas Agung memotong pembicaraan tentang jodoh yang diungkapkan mbak Dewi.
Jelas saja aku akan menolak semua bentuk perjodohan. Yang kenal pun kutolak, apalagi yang belum kenal seperti si Dewa ini.
Tujuanku sekarang hanya satu. Berkerja mencari uang. Agar aku bisa membantu pengobatan ayah.
##########
Beberapa menit mundur kebelakang.
UDA RAIHAN POV
Wajahku kembali menegang ketika Faris memaparkan tentang hasil pemeriksaan Raima. Belum selesai pengobatan ayah. Kini aku kembali harus mendengar tentang penyakitnya Raima.
"Ada kelainan pada katup jantungnya Raima, Han. Atresia. Menurut dokter Tarjo, kemungkinan dari lahir. Tapi gejalanya baru terasa sekarang karena peningkatan pola hidup".
"Seberapa parah Ris?"
"Saat ini masih bisa kita tangani pakai obat obatan, untuk mencegah pembekuan darah. Tapi Raima harus di beritahu tentang kondisinya Han. Pola makan dan hidup mempengaruhi penyakitnya. Raima harus tahu tentang penyakitnya ini".
"Bagaimana aku harus memberitahu Raima di saat ayah juga masih sakit".
"Segera Han. Dokter Tarjo ingin secepatnya Raima mendapat penanganan sebelum bertambah parah".
"Aku mengerti. Tapi biayanya tidak sedikit Ris. Walaupun di tanggung asuransi, tetap saja. Seperti ayah sekarang. Masih saja ada biaya yang harus kami keluarkan sendiri".
"Jadi kamu akan membiarkan penyakitnya Raima bertambah parah Han?"
Agung tiba tiba ikut duduk bersamaku dan Faris.
"Bukan seperti itu, gung. Saat ini aku betul betul bingung".
"Aku akan membantu. Dokter Tarjo pun akan membantu. Raima sudah kuanggap adik ku Han".
Faris menepuk pundakku.
"Aku juga Han. Tidak mungkin aku membiarkan adik sahabatku seperti itu. Raima juga sudah kuanggap adikku sendiri".
Agung pun ikut menimpali kata katanya Faris.
Aku hanya terdiam.
"Carilah waktu yang baik, bicaralah pada Raima. Secepatnya, supaya cepat di tangani".
"Ayo kita masuk. Aku sudah lama mengenal adikmu itu, Han. Raima itu punya mata dan pemikiran yang jeli. Dia akan tau jika kita lama berbicara di luar. Dia akan curiga".
Agung mengajak kami untuk masuk.
Ketika aku mendengar dari Dewi bahwa Raima bersedia berkerja di perusahaan mereka, aku kembali cemas.
Bagaimana mungkin Raima akan jauh dari keluarga dengan penyakitnya itu? Siapa yang akan menjaga dia?Apa dia akan baik baik saja?
Aku benar benar khawatir dan bingung.
Melihat mata Raima yang berbinar dan senyum mengembangnya, aku menjadi lemah.
Aku tidak akan tega membuat mata itu menangis dan bibir itu terdiam tanpa senyuman.
Selama ini Raima selalu mengalah. Selalu tersisihkan. Biarlah kali ini dia merasakan kebahagiaannya.
Mungkin aku bisa berpegang pada janji Dewi istrinya Agung. Bahwa dia akan menjaga Raima. Toh Agung juga sudah mengetahui tentang penyakitnya Raima.
Siang itu aku langsung menghubungi Raiyan yang baru di balasnya kemudian di sore hari.
Aku memberitahu Raiyan semuanya di telepon. Diamnya Raiyan selama berapa menit membuatku yakin bahwa Raiyan pun sama sepertiku.
Belum tuntas rasa sedih kami atas sakitnya ayah, kami kembali harus mendengar tentang sakitnya saudara kami.
"Apa Alloh sedang menghukum keluarga kita, Uda?"
"Jangan bicara seperti itu Yan. Ini memang sudah takdir. Kita harus bisa menerimanya dengan ikhlas".
"Raiyan belum bisa cuti sekarang Uda. Jika bisa, Raiyan akan segera pulang. Biar Raiyan yang memberitahu Uni Ima".
"Uda mengerti. Bìar Uda saja yang memberitahu Ima. Uda akan mengabarimu jika Ima sudah tahu. Biar kau bisa menelponnya".
"Kabari Raiyan terus ya Uda. Uda bisa berbagi dengan Raiyan. Tentang Ayah, Uni Ima ataupun Uni Sa".
"Baiklah, jaga kesehatanmu. Uda harap kita bisa berkumpul secepatnya".
"Uda juga, jaga kesehatan. Uda perlu fisik dan mental serta pikiran yang sehat untuk menjaga ayah dan juga Uni Ima".
"Uda akan bicara dengan bunda lebih dulu sebelum bicara dengan Ima. Uda tutup ya. Mumpung Bunda keluar dan Ima menjaga ayah. Uda akan membawa bunda jalan jalan sebentar ke taman".
"Baik Uda, sampaikan salam Raiyan buat bunda. Raiyan akan telepon Bunda nanti malam".
Aku pun menutup panggilan teleponku pada Raiyan. Dan mendekati Bunda yang sedang memegang ponselnya.
"Bunda mau menelpon Raiyan?"
"Iya, tapi tidak tersambung. Sibuk terus".
"Raiyan baru berbicara dengan Raihan, bunda. Katanya dia akan menelpon Bunda nanti malam".
Bunda hanya mengangguk dan kembali memandangi handphone yang berada di tangannya.
"Ada apa Bunda?"
"Bunda yang seharusnya bertanya seperti itu pada mu kan Han? Ada apa?"
Aku tersenyum. Ibu sambungku ini seperti Raima. Peka dan memiliki mata serta naluri yang tajam. Atau mungkin Raima yang seperti Bunda.
Karena Raima sejak bayi di rawat oleh Bunda. Bisa saja sifat, sikap dan perilaku bunda menurun pada Raima.
"Ayo Bunda. Kita duduk di taman. Ada yang mau Raihan ceritakan".
Bunda mengangguk dan mengikuti langkahku.
Kami duduk di taman rumah sakit. Tanpa kusadari, tempat kami duduk menghadap ke jendela kamar rawat ayah.
Bunda menangis ketika kuceritakan semuanya. Tidak ada satu pun yang kututupi. Tentang penyakitnya Raima dan juga kehidupan Raisa.
"Terjawab sudah kenapa hari ini Raisa tidak datang kerumah sakit. Apa dia marah padamu Han?"
"Entahlah Bunda. Raihan cuma bilang ingin bicara pada laki laki itu"
"Apa Raima bisa sembuh?"
"Jika cepat di tangani. Kemungkinan besar bisa sembuh".
"Apa harus dioperasi?"
"Itu pilihan terakhir, bunda. Karenanya dokter Sutarjo minta secepatnya Raima menjalani berbagai tes lagi".
"Kenapa anak anak Bunda harus mengalami semua ini?"
"Maksud Bunda Raima?"
"Juga Raisa"
"Raisa karena kehendaknya sendiri, bunda. Jika dia pintar memilah mana yang baik dan mana yang buruk, tidak akan seperti ini".
"Kasus Raima berbeda. Kelahiran prematur bisa jadi penyebabnya. Atau mungkin saja, almarhum ibu kami memiliki penyakit jantung yang menurun pada Raima".
"Tetap saja. Tidak seharusnya Raisa terjerumus seperti itu. Bagaimana ayahmu jika mengetahui putri kesayangannya seperti itu. Ayahmu sangat bangga pada Raisa. Jelas dia akan sangat kecewa. Kapan kamu akan memberitahu Raima tentang penyakitnya?"
"Secepatnya, bunda. Raima seperti Bunda. Insting nya level tinggi. Sebelum dia curiga dan berpikiran aneh aneh. Raihan akan memberitahunya".
"Beritahu bunda ya. Bunda akan memberikan pelukan untuk putri bunda".
Aku mengangguk.
Bunda pun berdiri dan melangkah pergi meninggalkan taman. Aku mengikuti langkah bunda.
Tanpa kusadari, ada sepasang mata memandang kami dari balik jendela.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments