Aku tidak sendiri

"Sudah selesai. Jangan bergerak dulu. Takutnya nanti pendarahan".

Saat ini aku berada di ruangan operasi dokter Sutarjo. Entah apa nama pemeriksaan yang dilakukan padaku. Yang kutahu, ada sebuah alat yang dimasukan ke dalam tubuhku untuk mengetahui jelas pembuluh darah yang menuju ke jantung.

Sebenarnya aku juga tidak akan mungkin bisa bangun dengan cepat. Apa para dokter ini lupa kalo aku di beri obat bius. Aku bisa mendengar apa yang mereka lakukan. Tapi aku tidak bisa membuka kedua mataku. Aku hanya mengangguk ketika dokter Sutarjo mengatakan sudah selesai.

"Kalo ngantuk, tidur saja Ma"

Kudengar suara dokter Faris.

"Gimana adik aku, Ris?"

Kudengar juga suara Uda Raihan. Sepertinya Uda baru masuk ke dalam ruangan.

"Masih setengah sadar. Tapi semuanya aman. Tunggu hasilnya keluar sebentar lagi".

Aku merasa ada seseorang yang mengelus kepalaku. Kuyakini itu adalah Uda.

"Di pindah ke ruangan sebelah ya dokter Faris. Sehabis ini masih ada pasien lain".

Kudengar suara perempuan. Mungkin itu dokter Bunga atau perawat yang bertugas.

"Pindahin Ima, Han. Apa kamu mau aku yang gendong adikmu?"

"Itu sih maunya kamu,Ris"

Uda dan Mas Faris tertawa kecil. Kurasakan tubuhku terangkat sesaat. Sepertinya aku di pindahkan ke ranjang dorong karena sesaat kemudian aku merasa seperti ada yang mendorong tempat tidurku. Goncangan yang terjadi membuatku menjadi pusing. Dan mata ini sungguh sulit untuk terbuka.

"Aku kembali keruangan ayah dulu, Ris. Gantian sama bunda. Bunda mau kemari melihat Ima".

Tak kudengar sahutan dari mas Faris. Mungkin dia hanya mengangguk. Selanjutnya sepi. Aku merasa aku hanya sendiri. Aku berusaha untuk tidur, toh mataku juga tidak bisa terbuka.

Aku merasakan belaian di kepala yang membuat telingaku kembali mendengar. Kurasa sesaat yang lalu aku sempat tertidur.

"Biayanya masuk kemana dokter Faris?"

Kembali kudengar suara perempuan.

Berarti Mas Faris yang membelai kepalaku? Karena aku yakin, hanya mas Faris dan perawat itu yang ada diruangan ini.

"Masukan tagihan saya. Semua biaya Raima, masukan tagihan saya saja".

"Baik, dokter"

Kembali kurasakan elusan itu di kepalaku.

"Cepat sehat ya dek. Mas Faris kangen suara manjamu ke mas. Kangen cubitanmu juga. Mas yakin kamu kuat. Kamu sudah seperti adik mas sendiri".

Aku kembali tertidur karena elusan mas Faris di kepalaku.

Entah berapa lama aku tertidur. Ketika aku membuka mataku. Aku masih berada di ruangan yang berbau obat. Di balik tirai, kudengar dua orang berbicara.

Aku urungkan niatku untuk memanggil mereka.

"Aku gak enak, Ris. Sudah terlalu banyak kamu membantu kami".

Rupanya dua orang di balik tirai itu adalah Uda dan Mas Faris.

"Sudah ku bilang, Raima itu adikku. Ibu di Yogya juga sudah tau. Dan minta aku merawat serta menjaga Raima. Kita juga bersahabat sudah lama. Jangan sungkan padaku, Han".

"Agung juga bilang, setelah berkerja di Barata Grup. Raima akan mendapat asuransi kesehatan. Raima tidak akan memerlukan uangku lagi setelah dia berkerja".

"Aku benar benar berhutang budi pada kalian berdua"

"Kita bersahabat. Tidak ada hutang budi dalam persahabatan. Kami tau, biaya ayah juga tidak sedikit. Walaupun di tanggung asuransi pensiun ayah. Tapi tetap ada biaya pribadi yang keluar. Kamu juga sudah berkeluarga Han. Aku masih sendiri. Uang gajiku juga tidak ku kirim ke ibu karena uang ibu lebih banyak dariku"

Mas Faris dan Uda kembali tertawa.

"Asal kau tidak minta Raima saja untuk membayar ini semua".

"Gila, kamu pikir aku cerita di novel apa? Sudah kubilang, sayangku ke Raima itu murni sebagai adik. Jika suatu saat kami memang berjodoh, itu memang takdir. Tidak ada hubungannya dengan hutang budi".

"Sekali lagi terima kasih, Ris. Hanya Alloh yang bisa membalasnya. Semoga rezekimu tambah lancar".

"Amin. Yo wes, aku sing turu dulu. Aku dinas lagi malam ini. Maklum, belum jadi spesialis terkenal seperti kamu dan Agung"

Mas Faris kembali tertawa.

"Bacotmu,Ris. Kamu memang senang dinas malam. Karena pasiennya sedikit kalo malam".

"Dan lupa kalo gak da yang di peluk di rumah malam malam".

Mas Faris dan Uda kembali tertawa. Kali ini lebih keras. Kesempatan ini kugunakan untuk memanggil mereka.

"Udaaa"

Seketika suara tawa itu terhenti dan tirai terbuka.

"Sudah sadar de?"

Mas Faris mengecek diriku menggunakan stetoskop dan juga memindai mataku.

"Alhamdulillah. Apa ada yang sakit, Ma?"

"Laper".

Kedua orang yang berada di samping tempat tidurku terkekeh.

"Tunggu ya, Uda ambilkan makan. Tadi Agung ada bawakan bubur. Katanya dari ibu mertuanya"

"Gak boleh makan ayam geprek atau nasi padang ya, Uda?"

"Tuh, tanya dokter pribadimu. Boleh apa tidak?"

Uda menunjuk mas Faris sebelum akhirnya keluar ruangan. Aku langsung memandang mas Faris.

"Jangan menunjukan wajah seperti itu. Gak akan mempan. Belum boleh makan seperti itu. Bahkan kedepannya harus dikurangi bahkan tidak sama sekali".

"Mas kejam"

"Demi kesehatan kamu. sekarang pusing apa tidak?"

Aku menggeleng.

"Kalo begitu, coba untuk duduk ya. Mas naikkan kepala ranjangnya. Kalo pusing bilang sama mas"

Aku mengangguk.

"Pusing?"

"Belum, mas".

"Kok belum?"

"Ya, kali aja lima menit kedepan Ima pusing"

Aku menampakkan wajah cemberut.

"Ima tau kan kalo Ima sakit?"

Aku mengangguk.

"Apa selama ini mas pernah melarang, Ima?"

Aku menggeleng.

"Ima bukan anak kecil lagi. Jadi Ima pasti paham maksud Mas. Mulai sekarang, Ima harus menjaga pola makan. Pola hidup juga, termasuk tidur. Jangan bergadang dan banyak pikiran"

"Ima jadi ODGJ aja dah mas. Gak da pikiran"

"Hus, kok ngomongnya gitu".

"Mas yang aneh. Namanya hidup itu, pasti banyak pikiran mas. Kalo Ima ga mikir, ya Ima gila berarti".

"Wes, sekarepmu dek. Malas mas berdebat sama kamu".

Mas Faris ikutan manyun di sampingku.

Aku tersenyum sambil mencolek lengan mas Faris.

"Ih, ngambek. Kok mas Faris sih yang nesu".

Saat itu Uda masuk kedalam sambil membawa makanan dan botol minuman.

"Siapa yang nesu?"

"Tuh, sahahatnya Uda"

"Adikmu ini gak bisa dikasih tau, Han. Siapa coba yang gak marah jadinya"

Uda tertawa kecil.

"Baru tau kan kalo si imut ini kepalanya batu"

Aku juga ikut tertawa kecil sambil memasukan makanan ke dalam mulutku.

"Wah, pada ngumpul disini rupanya. Kukira di ruangan ayah".

Mas Agung muncul dengan senyuman manisnya.

"Baru selesai dinas, gung?"

"Baru selesai operasi usus buntu. Ada Raisa di ruangan ayah. Dia tau Raima disini?"

"Raisa belum tau. Nanti saja kuberi taunya"

"Masih marah pada Raisa,Han?"

"Kemarin dia datang bersama pacarnya. Mengenalkan langsung pada ayah. Ayah terlihat bahagia. Padahal sudah kukatakan sebelumnya. Aku ingin berbicara dulu dengan laki laki itu".

"Raisa ternyata lebih pintar dari kau, Han"

Mas Faris kembali tertawa.

"Dia memanfaatkan ayah. Dia tau Ayah tidak akan menolak semua keinginannya".

"Raisa juga tau, kalau kamu tidak akan membongkar semuanya pada ayah".

"Tunggu Raiyan. Biar Raiyan yang membongkarnya. Raiyan tau, cara terhalus untuk memberitahu ayah".

"Aku juga memiliki banyak saudara. Tapi syukurnya, mereka tidak ada yang seperti Raisa"

"Tidak ada juga yang penyakitan seperti Raima kan Mas?"

Aku memotong pembicaraan mereka.

"Eh, kok jadi sensitif sih adikmu yang satu ini, Han. Tadi bilang mau jadi odgj pas kubilang jangan banyak pikiran. Sekarang malah lebih parah lagi nih".

"Mas Faris juga aneh. Masa Ima gak boleh banyak pikiran. Kalian ngobrol bertiga di depan Ima tentang Uni saja bikin Ima kepikiran. Jadi yang salah siapa?"

Ketiga orang laki laki yang kuhormati itu tertawa. Uda membelai kepalaku.

Mas Faris menyiapkan obat untuk kuminum. Dan mas Agung terus saja mengejekku kalo akan memasukkan ku ke rumah sakit jiwa kalo aku memang ingin menjadi ODGJ.

Ya Tuhan. Di balik sakitku, kutemukan orang orang yang sayang dan peduli padaku. Ternyata selama ini aku salah. Aku tidak sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!