Mas Faris

Keesokan harinya kami menuju rumah sakit rujukan yang memang sudah di pilih Uda untuk memeriksa kesehatan ayah. Dan tentu saja kesehatanku juga.

Begitu sampai di rumah sakit. Satu sosok yang juga ku ingat sebagai sahabat Uda menyambut kami di lobby rumah sakit.

Uda dan Mas Agung berpelukan. Kemudian mas Agung menyalami Ayah dan juga Bunda sebelum beralih melihatku.

"Wah, adenya mas Agung yang tomboy udah insyaf sekarang?"

Mas Agung mengelus kepalaku. Aku hanya memasang wajah cemberut. Kebiasaan semua sahabat Uda waktu di Yogya, pasti mengacak ngacak rambutku bila bertemu.

"Semua sahabat Uda berkumpul di rumah sakit ini? Kemaren mas Faris. Sekarang Mas Agung?"

Mas Agung tertawa kecil.

"Gak berubah ternyata ademu ini Han, tetap judes".

"Judesnya cuman diluar aja tu Gung. Aslinya cengeng".

Mas Agung dan Uda kembali tertawa.

"Ayo, aku antar. Aku sudah daftarkan buat ayah".

Kami berjalan mengikuti Mas Agung sampai di depan sebuah ruangan.

Uda memberikan berkas berkas ayah yang kami bawa dari Solok kepada Bunda.

"Temanin Ayah sebentar Bun".

Bunda mengangguk seakan paham maksud Uda.

"Ayah masuk dulu bersama Bunda. Ada administrasi yang mau Uda urus lebih dulu".

Ayah pun mengangguk dan pasrah kemana pun kursi roda ayah di dorong.

Ketika Ayah dan bunda sudah masuk dan pintu tertutup. Uda melihat ke arahku.

"Tunggu di sini. Sebentar lagi Faris datang. Ikutlah pemeriksaan bersama Faris".

"Masih perlu, Uda?"

"Perlu dan Harus. Nah itu Faris".

Aku mengikuti arah pandang Uda. Mas Faris terlihat berbeda dengan jas dokter dan kaca mata yang bertengger di hidung mancungnya. Beberapa perawat kulihat tersenyum pada Mas Faris.

"Titip Raima ya Ris, kalo bandel di ikat saja tangan dan kakinya".

"Tenang. Aku punya obat bius. Kusuntik bius saja kalo masih melawan".

Aku kembali cemberut.

"Tetap sama Faris ya dek. Jangan kelayapan. Nanti di culik orang. Uda masuk dulu menemani pemeriksaan Ayah".

Aku mengangguk walaupun tidak rela.

"Ayo. Mau menurut atau Mas gendong?"

"Kenapa sih Mas Faris dan sahabat Uda yang lain dari dulu selalu ganggu Ima?"

"Karena kamu enak di ganggu".

Aku cemberut sambil berjalan di sisi kiri Mas Faris.

"Jangan cemberut, Mas dokter idola lho disini. Nanti di kira Mas apa apain kamu lagi".

"Emang iya! Mas Faris ganggu Ima ".

Mas Faris menuju lift yang tertulis khusus dokter dan pegawai rumah sakit. Menekan tombol naik dan kembali menghadapku.

"Dek Ima sudah punya pacar?"

"Kenapa tanya tanya? Kepo"

Aku kembali menjawab dengan judes.

"Mau mas comblangin kalo belum punya pacar".

"Emang mas kira Ima gak laku?"

"Makanya mas tanya. Sudah punya pacar belum?"

"Memangnya mas mau comblangin Ima sama siapa? Dokter juga? Yang muda tapi ya, jangan tua kayak mas Faris".

"Eh enak aja. Mas Faris juga masih muda".

"Jadi, siapa mas?"

Aku bertanya dengan lembut kali ini.

Lift terbuka, Mas Faris menyuruhku masuk lebih dulu ke dalam lift tanpa menjawab pertanyaanku sampai lift kembali terbuka di lantai yang Mas Faris pilih.

"Mas, kok gak jawab?"

Aku mengekor di belakang mas Faris. Beberapa orang dokter dan perawat yang mengenal mas Faris menegur dan menggoda kami.

"Wih, bawa siapa nih Ris? Kenalin dong".

"Wah, dokter Faris, calon istri?"

What? Aku menatap Mas Faris. Apa Mas Faris belum menikah? kan Mas Faris seumur Uda. Uda saja sudah punya satu orang anak.

Ah Raima. Jangan dipikirkan. Itu urusan pribadi orang lain.

Kami berhenti di ruangan yang bertuliskan POLI JANTUNG.

Degh, tiba tiba jantungku pun berdetak lebih cepat. Rupanya Uda benar benar serius kali ini.

"KTP mu dek?"

Mas Faris mengulurkan tangannya padaku.

"Buat apa Mas?"

Aku yang masih bergelut dengan pemikiranku tadi, tidak siap ketika tiba tiba di ajak mas Faris berbicara.

"Buat daftar nikah!"

"HAH? APA?"

Perawat yang duduk di depan kami tertawa.

"KTP mu dek. Buat daftar sebagai pasien baru".

"Oooh. Ngobrol dong. Mas Faris ngagetin aja".

Aku mengeluarkan dompet, kemudian mencari KTP ku. Setelah ketemu, menyerahkannya pada Mas Faris.

"Tunggu ya dokter. Dokter Bunga masih ada pasien".

"Saya dengan dokter Sutarjo. Bukan dokter Bunga".

"Beliau belum datang, dokter"

Perawat yang bertugas terlihat takut pada Mas Faris. Mas Faris mengangguk dan mengajakku untuk duduk.

Handphoneku berdering. My little bro calling.

Aku tersenyum sambil memencet tombol hijau.

"Assalamualaikum dek yan"

"...."

"Kata siapa?"

"...."

"Iya dek. Iya. Uni periksa juga"

"...."

"Kamu telpon uni cuman buat itu? gak tanya keadaan ayah?"

"....."

"Iya, uni paham".

"...."

"Waalaikumsalam"

Kali ini aku menekan tombol merah dengan cemberut.

"Pasti di ceramahin pak tentara?"

"Uda pasti ngadu sama Raiyan"

"Beruntung mereka perhatian pada dek Ima"

"Kan sekarang fokusnya ayah mas, bukan Ima"

"Sekalian gak ada salahnya kan? Mumpung di rumah sakit juga?"

Aku hanya diam dan kembali cemberut.

Perawat yang bertugas memanggil kami untuk masuk. Mas Faris masuk lebih dulu membuka pintu dan menahannya agar aku bisa masuk.

"Lho, dokter Faris?"

Dokter cantik yang berada di ruangan terkejut melihat dokter Faris. Kemudian membaca namaku dan kembali memandang kami berdua.

"Silahkan duduk".

Kurasakan suasana di sini agak canggung. Ada apa antara Mas Faris dan dokter bunga di depanku ini?

Mas Faris duduk di sofa. Aku ikut duduk disamping mas Faris. Dokter yang bernama Bunga itu duduk di depan kami berdua. Kami bertiga sama sama duduk di sofa.

"Jadi, apa keluhannya?"

Dokter bunga memandangku. Aku malah memandang mas Faris.

"Ini Poli apa?" mas Faris bertanya pada dokter bunga.

"Poli jantung?"

Dokter bunga menjawab dengan polos sambil memandang mas Faris. Aku yakin, dokter bunga menyukai mas Faris.

"Kalo kami ke poli jantung, apa yang di keluhkan?"

Dokter bunga tergagap.

"Bukan begitu dokter Faris. Maksud saya bukan seperti itu".

Tak lama pintu terbuka kembali. Seorang dokter agak lebih tua masuk kedalam.

Dokter bunga dan Mas Faris berdiri dan menunduk hormat. Dokter tua itu pun masuk kedalam ruangan lain tanpa menegur kami sama sekali.

Tak lama, mas Faris menyusul masuk kedalam ruangan yang dimasuki dokter tua tadi.

Aku dan dokter bunga hanya diam tanpa kata.

"Kamu, apanya dokter Faris?"

Dokter bunga bertanya padaku.

"HAH?"

Sebelum aku sempat menjawab, Mas Faris keluar dan memanggilku.

"Dek, ayo sini!"

Aku mengangguk dan tersenyum pada dokter bunga sebelum akhirnya masuk kedalam ruangan yang di depan pintunya bertuliskan dr. Sutarjo.Sp.JP

Aku menarik nafas sebelum melangkah masuk. Mas Faris langsung menutup pintu.

"Ini dokter Sutarjo. Adenya almarhum bapak. Berarti pakle nya Mas Faris".

Aku tersenyum, menyalami dokter Sutarjo bahkan mencium tangan beliau.

"Sama mas kok gak mau salaman?"

"Bukan Mahram"

"Dokter Sutarjo juga bukan kan?"

"dokter Sutarjo sudah seperti ayah buat Ima. Weekk".

Aku menjulurkan lidah pada Mas Faris. Dokter Sutarjo tertawa. Hilang sudah raut wajah galak dan dinginnya.

"Mau dijadikan mahram sama Faris?"

"HAH? APA?"

"Gak usah teriak. Paklik ku gak tuli".

Aku kembali cemberut dan dokter Sutarjo kembali tertawa.

"Baik Raima. Faris sudah cerita tentang riwayat sakitmu. Tapi kamu belum pernah periksa secara keseluruhan kan?"

"Ima cuma asma dokter"

Dokter Sutarjo mengangguk.

"Supaya lebih jelas, itu asma atau bukan. Kita periksa ya. Kakakmu bilang kamu pernah di diagnosis jantung juga waktu kecil. Jadi, kita pastikan semua. Saya kasih rujukan untuk periksa EKG dan rontgen lengkap ya. Nanti Faris yang akan menemani".

"Dokter serius sekali. Saya jadi takut"

Dokter Sutarjo terkekeh

"Saya akan lebih serius lagi nanti jika hasilnya keluar"

Aku hanya mengangguk.

"Faris, ini rujukannya. Bawa dia. Dan pastikan semuanya sesuai".

"Baik Pak lik. Ayo dek Ima"

Aku berdiri dan kembali mencium punggung tangan dokter Sutarjo sebelum keluar ruangan.

"Faris.."

Mas Faris sudah membuka pintu sedikit ketika pak Lik nya memanggil.

"Iya Pak Lik?"

"Jaga itu calon mantu Pak Lik!"

Aku kembali melongo dan Mas Faris tertawa sambil mengacak kepalaku.

"Ih, rusak jilbab Ima!"

Mas Faris masih tertawa kecil dan masih menggangguku. Menganggap angin lalu seorang perempuan yang menatap kami nanar dengan mata berkaca kaca.

Aku tersenyum pada dokter Bunga. Sedang mas Faris berlalu begitu saja.

Aku yakin, ada sesuatu diantara mereka berdua. Dan aku akan mencari tahunya nanti.

Lho Ima?? Kok jadi Kepo sih??

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!