Tak kuasa menolak perintah bunda Haura, Azzam pun bersiap-siap untuk keluar kota bersama Kiai di pondok pesantren. Biasanya Azzam akan ceramah di beberapa tempat selama perjalanan menemani Kiai dan ia sangat menyukainya. Azzam suka menyebarkan ilmu yang selama ia dapatkan.
Namun, kepergiannya kali ini terpaksa lantaran tak ingin meninggalkan Hayyah sendirian. Ia selalu memikirkan kalau saja istrinya bangun dan butuh dirinya, terlebih sekarang Azzam telah tahu kisah kelam yang sempat terjadi pada gadis cantik itu.
Azzam memandangi wajah putih bersih Hayyah, menunduk untuk mengecup kening istrinya begitu lama. "Maaf karena mas akan meninggalkanmu beberapa hari. Mas akan kembali setelah tiga hari. Ada bunda yang menemanimu di sini Hayyah."
Azzam berpaling kala selesai berpamitan pada istrinya sehingga tidak menyadari jari telunjuk Hayyah yang bergerak sejenak. Ia meninggalkan ruangan perawatan Hayyah mengenakan celana kain warna hitam di padukan kemeja abu-abu. Terlihat sederhana tapi sangat tampan jika yang memakainya adalah Azzam.
Pria itu di antar ke bandara oleh Hasan dan akan bertemu Kiai pondok di lokasi tempat mereka janjian di luar kota. Sepanjang perjalanan tak ada satu ucapan pun yang keluar dari mulut Azzam, bibirnya seolah terkunci.
"Pak, apa anda sudah bertemu keluarga bu Hayyah?" tanya Hasan di tengah-tengah perjalanan.
"Hanya pak Haikal. Sepertinya dia sangat menyayangi Hayyah, tatapannya penuh akan luka. Aku sangat ingin memberitahukan keberadaan Hayyah pada pak Haikal, tapi ...."
"Saran aku, jangan beritahu siapa pun Pak. Entah siapa yang menutupi kehilangan bu Hayyah, tapi di sekolah Abizhar bu Hayyah izin cuti bukan hilang."
"Aku akan bertemu mantan calon suami Hayyah setelah pulang dari luar kota. Tolong urus perusahaan dengan benar, Hasan."
"Baik Pak." Hasan menganggukkan kepalanya dan kembali fokus pada jalanan yang mulai padat di sore hari.
....
Pak Haikan berdiri di ambang pintu kamar putrinya. Menatap keseluruhan ruangan dan bayangan putrinya di setiap sudut kamar selalu muncul dengan senyuman manisnya. Rak buku, lemari dan ornamen-ornamen lainnya tertata sangat rapi. Kamar itu di renovasi satu tahun lalu saat putrinya memutuskan untuk berhijrah ke jalan yang lebih baik.
Sering mengikuti kajian jika ada waktu luang dan mengaji menunggu fajar datang. Pak Haikal merindukan semua tentang putrinya.
"Sudahlah Pah, kita harus ikhlas," ucap Airin yang ikut berdiri di samping pak Haikal. Menatap kamar yang sama luasnya dengan kamar yang ia tempati. Tetapi entah kenapa Airin selalu ingin memiliki apa yang Hayyah punya.
"Papa sudah berusaha tapi tidak bisa Airin."
"Aku juga butuh kasih sayang seperti kak Hayyah."
"Memangnya papa pernah membedakan kalian berdua?" Haikal menatap putri keduanya. Putri yang hadir karena kesalahannya saat Hayyah berusia 3 tahun.
"Selalu." Arin melenggang pergi.
Pak Haikal menundukkan kepalanya. "Maaf Airin, sampai kapan pun Hayyah akan tetap menjadi putri kesayangan Papa. Dia adalah bukti cinta papa pada Hagia," lirih Haikal.
Jika boleh jujur pak Haikal selalu berlebihan memperlakukan Hayyah, meski begitu apapun yang Hayyah miliki selalu ia berikan pada Arin juga. Mungkin secara materi Arin dan Hayyah sama tetapi tidak untuk cinta dari seorang ayah.
....
Azzam tiba di kota Bandung, tepatnya di rumah tempatnya janjian bersama Kiai setelah ba'da magrib. Ini sudah termasuk pejalannya beberapa menit setelah turun dari pesawat. Pria itu mencium punggung tangan pak Kiai dan tersenyum ramah seperti biasanya.
"Aku kira kamu tidak akan datang Ustaz," ucap Kiai yang selalu menatap kagum putra pertama dari penyokong terbesar dana pada pesantren yang telah berdiri di ibu kota.
"Urusan aku sudah selesai Kiai, jadi bisa ikut serta dalam acara ini."
"Syukurlah." Kiai yang sudah terlihat tua itu menepuk-nepuk pundak kokoh Azzam. "Sebelum membahas tentang kegiatan kita besok, Kiai ingin membicarakan hal penting di luar perjanjian Nak."
"Apa itu Kiai?" Azzam menatap pemuka agama yang sangat ia hormati.
"Apa kamu sudah siap untuk menikah Nak?" tanya Kiai berhasil menciptakan kerutan di kening Azzam.
"Maksudnya?"
"Jadi begini, putri bungsu Kiai telah siap menikah dan Kiai sangat ingin jika yang menjadi suaminya adalah kamu Nak."
Azzam seketika terdiam, menolak permintaan Kiai adalah hal yang sulit ia lakukan, tetapi menyanggupinya jauh lebih sulit. Apalagi sekarang nama Hayyah telah menguasai hati, jiwa dan raganya.
"Kiai sudah bicara dengan orang tuamu dua bulan yang lalu Nak, tapi orang tuamu menyerahkan semua keputusan pada kamu sebagai mempelainya."
"Aku ...."
"Tidak perlu menjawabnya sekarang Nak. Kamu bisa bermusyawarah dulu, atau shalat istikharah agar keputusanmu tidak salah." Kiai itu langsung beranjak dari duduknya. Menyisakan Azzam yang duduk termenung di kursi.
"Ustaz Azzam?"
Azzam yang sejak tadi melamun langsung sadar kala seseorang memanggil namanya. Ia melirik kaki perempuan di hadapannya, naik sedikit dan berhenti di tangan karena sudah tahu siapa pemilik tangan tersebut.
"Bagaimana dengan istri Ustaz Azzam, apa dia ikut?"
"Tidak."
"Padahal saat tahu ustaz Azzam akan datang, aku menanti Hayyah ikut serta."
"Istri aku tidak bisa datang karena berada di rumah sakit."
"Rumah sakit?" Mata Aisyah membola. Sejak kembali ke kota gadis itu tak lagi tinggal di rumah bunda Haura lantaran tahu diri.
"Hm, kalau begitu aku ke dalam dulu." Azzam beranjak dari duduknya. Selain tak ingin duduk berdua saja, ia mau tahu kabar istrinya. Mendengar seseorang bertanya ia jadi rindu pada Hayyahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Yunia Afida
aku paling g suka dengan poligami, menyakitkan bila g adil jangan mau azzam
2024-04-03
7
Teh Yen
jangan menikah lagi Azzam ,,, jujur saja pada pak kiyai tentang status kamu yg sekarang yah Azzam itu lebih baik
2024-04-03
1
Arsyad Al Ghifari 🥰
awas aja kalau Azam menikah lagi ... kenapa susah untuk menolak zam apa karena dia seorang kiyai ..
Thor masa mau ada drama poligami .ga rellaaaaaaaa
2024-04-01
1