Hayyah membeku di ruang tengah milik bu Fatmah kala wanita paruh baya itu menyerahkan setumpuk pakaian padanya. Ia meneliti pakaian tersebut yang di dominasi warna hitam, lalu beralih menatap ibu Fatimah kembali.
"Apa ini Bu? Aku datang bukan untuk meminta tetapi di suruh mas Azzam," tanyanya dengan raut wajah bingung.
Ibu Fatmah tersenyum. "Dan Azzam yang menyuruh ibu untuk menyerahkan pakaian itu Hayyah. Dia sangat risih jika harus berbicara dengan perempuan yang tidak menutup auratnya."
"Tapi memakai hijab sanggatlah gerah Bu. Aku memakai pakaian panjang seperti ini saja sudah tidak betah," protes Hayyah. Tubuhnya tidak ingin menerima pakaian Syari yang di berikan oleh ibu Fatmah dan ibu kepala desa.
"Apakah kamu tahu Nak bahwa api neraka jauh lebih panas? Bukan hanya gerah tapi bisa saja mengosongkan seluruh tubuhmu."
Hayyah menelan salivanya mendengar hal itu. Ia pun memeluk pakaian pemberian bu Fatmah. "Apakah aku akan tinggal di sini bersama Mas Azzam? Anak tadi mengatakan bahwa mas Azzam tinggal di sini."
"Ibu tidak tahu Nak, terlebih kalian berdua orang asing yang tidak boleh tinggal bersama. Duduklah, dan tunggu ustaz Azzam pulang."
Hayyah mengangguk dan segera duduk di kursi rotan. Sesekali menatap keluar jendela. Semua yang ia temui terasa asing, kecuali Azzam. Wanita itu pun selalu merasa tidak aman jika Azzam jauh darinya.
"Ingatan apa yang aku lupakan di masa lalu? Siapa aku? Di mana keluargaku dan kenapa mas Azzam tidak ingin mengakuiku?" batin Hayyah terus bertanya-tanya. Ia pun bingung kehidupannya setelah terbangun di rumah kepala Desa.
Wanita itu bahkan sedikit terkejut kala bangun dan tidak menemukan orang-orang yang ia kenali. Di kepalanya hanya ada nama Azzam dan namanya. Selebihnya hilang tanpa jejak, bahkan bayangannya pun tak muncul meski hanya sebatas semu.
Hayyah terus duduk di sana berjam-jam lamanya tanpa melakukan apapun. Bahkan saat waktu magrib dan Isya pun wanita itu masih duduk.
"Aku menunggumu cukup lama Mas Azzam." Hayyah buru-buru berdiri dan menghampiri Azzam yang baru saja turun dari motornya. Tidak ada jadwal mengaji untuk anak-anak hari ini, tetapi Azzam tinggal di masjid sekedar berbagi resah bersama sang pencipta. Dan kini Azzam telah menemukan jawaban yang tepat atas masalah yang menghadapinya.
"Duduklah!" perintah Azzam.
Hayyah pun kembali duduk di kursi rotan, memperhatikan Azzam yang memasuki sebuah kamar dan keluar beberapa menit setelahnya. Tak lama pula datanglah bu Fatmah dan pak Joko, suami ibu Fatmah.
"Apa yang ingin kamu bicarakan Nak?" tanya pak Joko.
"Jadi begini Pak, Azzam ingin meminta izin agar sekiranya Hayyah dibiarkan tinggal di sini sampai dia sembuh dari Amnesianya."
"Bagaimana mungkin bapak membiarkan itu Azzam? Sejatinya laki-laki dan perempuan tidak akan pernah bisa tinggal di atap yang sama tanpa ikatan sah."
"Azzam tahu Pak. Azzam akan mencari kontrakan di desa ini."
"Ibu tidak setuju Azzam. Apa kata orang tuamu nanti? Mereka menitipkan kamu pada ibu dan bapak di sini," sambung bu Fatimah. Azzam adalah pria yang baik, begitupun dengan orang tuanya di kota. Rasanya bu Fatimah tidak akan setuju kalau Azzam tinggal sendirian tanpa diperhatikan oleh siapa pun.
"Selama Azzam tidak kenapa-napa kan aman Bu? Izinkan Hayyah ya?"
"Baiklah." Bu Fatimah dan pak Joko menghela napas panjang.
"Aku tidak peduli akan tinggal di mana, asalkan bersama mas Azzam," ucap Hayyah saat terjadi keheningan.
"Sampai ingatanmu kembali, mari menjaga jarak Hayyah!" pinta Ustaz Azzam.
Pria itu memutuskan mengambil tanggung jawab atas hidup Hayyah. Membantunya memulihkan ingatan dan merubahnya menjadi lebih baik. Ini jauh lebih manusiawi daripada harus menelantarkannya.
"Tapi aku merasakan bahaya saat mas Azzam jauh dariku."
"Ba'da Ashar datanglah ke masjid Baitul rahman. Di sana ustazah sedang mengajar mengaji khusus perempuan.
"Apa mas Azzam akan hadir?" tanya Hayyah memastikan. Ia terus menatap wajah tampan Azzam, sementara pemilik wajah hanya asik melihat sepatunya saja.
"Aku akan hadir."
"Baiklah." Hayyah tersenyum.
....
Sepasang suami istri sedang duduk di ruang keluarga dan bercengkerama seperti biasa. Membahas hari-hari yang telah di lalui dan akan mereka lalui nantinya. Keduanya tersenyum hangat kala melihat perempuan cantik dengan hijab panjangnya menghampiri sembari membawa nampang berisi teh hangat.
"Kenapa harus repot-repot Nak?" tanya Haura, ibunda dari Azzam. Ia mendirikan pondok pesantren saat Azzam berusia sepuluh tahun, dengan artian pondok tersebut telah berdiri selama 20 tahun lamanya dan sudah menghasilkan santri-santri berkualitas. Hanya saja mereka tidak tinggal di pondok pesantren dan menyerahkan ke pemimpinannya pada Kyai yang lebih paham agama. Dalam artian, Haura dan Harun hanya penyumbang dana tunggal di sana.
"Tidak merepotkan sama sekali Bunda." Perempuan cantik nan soleh itu tersenyum hangat. Meletakkan teh di hadapan Harun dan Haura.
"Terima kasih Nak Aisyah."
"Sama-sama Bunda. Kalau begitu Ais akan berangkat ke pondok dulu," izinnya. Perempuan bernama Aisyah itu sedang mengabdi di pondok Al-Amin sudah satu tahun lebih. Dia adalah putri ibu Fatmah. Ia mendapatkan beasiswa dari pondok dengan syarat harus mengabdi setelah wisuda. Tetapi masa pengabdiannya telah berakhir tiga bulan yang lalu, namun masih bersedia mengajar.
"Hati-hati Nak."
Haura tersenyum hangat, terus memandangi punggung Aisyah yang semakin menjauh. Ia melirik suaminya. "Mas Harun, Aisyah adalah perempuan yang sangat baik, apa tidak sebaiknya kita melamarnya untuk Azzam? Lagi pula usia putra kita sudah 30 tahun."
"Kamu benar Sayang, lagi pula mas sudah tidak sabar mengendong cucu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Syaiful Amri
ibu fatmah atau ibu fatimah??
2024-06-10
0
Teh Yen
kalau Azzam.d jodohkan dengan Aisyah lalu hayyah bagaimana?? blom lagi ayah Harun kl.tau kmu tinggal seatap dengan wanita yg bukan muhrimnya bagaimana tuh bisa marah kali yah
2024-03-24
1
Yunia Afida
semangat terus 💪💪💪💪💪
2024-03-24
1