Satu hal yang sampai detik ini masih Dewi panjatkan Kepada Sang Pencipta Kehidupan. Ini mengenai Prasetyo yang ia harapkan bisa jauh lebih peduli kepada keluarga kecil mereka. Dewi begitu berharap suaminya berhenti mengutamakan keluarga besarnya, sebelum mencukupi atau setidaknya peduli, kepada keluarga kecil mereka.
Selain itu, Dewi yang sadar suaminya tipikal tidak tegaan, terlebih selama ini Prasetyo terbiasa mengurus keluarga, juga berharap hati keluarga Prasetyo terbuka. Karena andai keluarga Prasetyo memiliki kesadaran, paling tidak itu bisa mengurangi beban hidup Dewi maupun Prasetyo.
Kini, menggunakan mobil pick up milik orang pasar, Dewi diangkut. Prasetyo yang statusnya merupakan sopir, menyetir mobil sendiri. Sementara beberapa warga turut ikut di mobil bagian belakang. Di sebelah Prasetyo, Dewi sudah kesakitan dan tak hentinya istighfar.
Baru sampai puskesmas kecamatan di tempat mereka tinggal, Prasetyo malah memaksa Dewi diam. “Jangan berisik! Ibu Retno telepon!” ucapnya terdengar mengancam. Kedua matanya melotot, sementara telunjuk tangan kanannya yang tidak memegang ponsel, menunjuk-nunjuk wajah Dewi.
“Selalu begitu. Mas Pras selalu jadi benci banget ke aku, di setiap ibu Retno telepon,” batin Dewi jadi bertanya-tanya. Memangnya, ibu Retno dan tak lain merupakan bos Prasetyo, sangat anti pada suara Dewi, hingga di setiap wanita itu telepon, Dewi terus dipaksa diam? Kenapa bisa begitu? Memangnya Dewi salah apa? Karena setiap berpapasan saja, wanita itu buru-buru menghindarinya.
Alih-alih memboyong masuk Dewi ke puskesmas agar segera mendapatkan penanganan. Prasetyo malah lebih memilih menjawab telepon sang bos. Bapak-bapak yang ikut mengantar, kompak istighfar. Lagi-lagi masih mereka juga yang mengurus Dewi. Selain itu, mereka juga masih membantu Dewi menjaga Alif.
“Sayang, tadi aku lihat kamu bopong-bopong si Dewi. Aku cemburu lihatnya!”
“Jahat kamu ya! Padahal kamu tahu, aku sayang banget ke kamu! Padahal kamu sudah janji, mau ceraikan dia!”
“Sakit banget rasanya!”
Dari seberang, suara wanita yang terdengar sangat manja, menghiasi ponsel Prasetyo. Itu suara ibu Retno, bos Prasetyo.
Prasetyo sengaja ke pinggir jalan, agar obrolannya dengan sang bos tidak didengar rombongan yang mengantar Dewi. “S—sayang, maaf banget. Itu tadi aku terpaksa karena Dewi mau lahiran dan memang sudah pendarahan,” ucapnya meyakinkan.
“Memangnya, semua yang aku kasih masih kurang! Memangnya, aku masih kurang cantik dari istri kamu?!” sergah ibu Retno makin manja sekaligus meledak-ledak.
“Aku enggak terima! Cepat kamu ke sini kalau kamu enggak mau kita putus!” lanjut ibu Retno yang juga meminta Prasetyo untuk segera menceraikan Dewi.
Akan tetapi, belum juga sempat membalas, menjelaskan mengenai alasannya tak kunjung menceraikan Dewi, ibu Retno sudah mengakhiri sambungan telepon mereka secara sepihak. Tanpa pikir panjang, Prasetyo yang tidak mau hubungan terlarangnya dengan sang bos berakhir, langsung pergi menggunakan ojek di sebelahnya.
Sementara itu, di dalam ruang bersalin, Dewi sudah akan menjalani proses persalinan. Alhamdullilah, Dewi akan menjalani proses persalinan secara normal. Karena ternyata, Dewi sudah pembukaan tujuh. Namun mungkin efek terbiasa lelah sekaligus menahan sakit, Dewi jadi tidak menyadari bahwa sebenarnya, dirinya sudah kontraksi.
“Ini mas Pras, ke mana?” batin Dewi masih menunggu.
Dewi memang masih memiliki orang tua. Namun, sejak Dewi kecil, orang tuanya sudah bercerai. Alasan tersebut juga yang membuat Dewi mendadak menjadi yatim piatu. Karena meski orang tuanya masih hidup, keduanya fokus dengan keluarga baru masing-masing. Jangankan mengurus Dewi selayaknya kewajiban orang tua, sekadar menanyakan kabar Dewi saja, tidak. Kenyataan tersebut juga yang menjadi alasan Dewi, susah payah mempertahankan hubungannya dengan Prasetyo. Dewi tidak mau anak-anaknya bernasib sama dengannya. Impiannya tetap satu, yaitu memberikan keluarga bahagia kepada anak-anaknya.
“Masa iya, ibu Retno enggak ada kemurahan hati buat kasih mas Pras cuti? Dia perempuan loh.”
“Harusnya mas Pras juga bilang kan, kalau aku mau lahiran dan dia harus menemani aku? Itu Alif sampai dijaga orang.”
Pertanyaan demi pertanyaan yang akhirnya memenuhi benak Dewi, terjawab lunas. Ketika akhirnya seorang bapak-bapak datang, mengabarkan bahwa ternyata, Prasetyo sudah tidak ada di luar.
“Kata tukang parkir, katanya dia pergi naik ojek dari satu jam lalu!” ucap pria tersebut.
Rasa sakit efek proses pembukaan yang Dewi alami, terasa berkali-lipat menyakitkan dari sebelumnya. Terlebih hingga akhirnya Dewi harus melahirkan, Prasetyo juga tetap tidak datang, bahkan sekadar kabar.
Karena pada kenyataannya, kini Prasetyo memang tengah menghabiskan kebersamaan romantis nan panas dengan wanita gendut berambut pirang bergelombang, dan tidaklah lain ibu Retno.
Di ranjang yang terus berderit, baik Prasetyo maupun ibu Retno, tampak sama-sama menginginkan. Ibu Retno yang kuku jemarinya memakai kuteks warna merah, terus memaksa Prasetyo untuk memuaskan hasratnya.
“Ayo lebih cepat, Sayang!”
Kendati demikian, Prasetyo juga menikmati apa yang mereka lakukan. Bahkan meski ibu Retno tak lebih cantik dari Dewi yang kini tengah bertaruh nyawa untuk melahirkan anak kedua mereka. Malahan, Prasetyo tak segan memuji setiap perlakuan ibu Retno yang memang hampir sepuluh tahun lebih tua darinya.
••••
“Subahannalloh ... Mas ... sakit banget!” Berderai air mata Dewi berjuang melahirkan anak keduanya seorang diri. Ia hanya dibantu oleh dua orang bidan, tanpa ada yang mendampingi. Beberapa ibu-ibu yang mendampingi persalinan pasien lain sampai iba. Dua wanita yang ada, tergerak hatinya untuk berdiri di samping Dewi. Keduanya memberikan dukungan, menguatkan, dan terus meyakinkan bahwa Dewi bisa.
“Kasihan banget, melahirkan sendiri. Tadi katanya suaminya pergi enggak ngabarin. Sementara anaknya yang masih kecil, juga dijaga orang,” lirih mereka yang di luar tirai ruangan Dewi melahirkan. Dewi masih bisa mendengar itu, dan rasanya benar-benar nelangsa.
“Tega kamu, Mas! Sebenarnya kamu ke mana?” batin Dewi.
Bayi perempuan yang begitu cantik, akhirnya Dewi lahirkan dengan selamat. Semua yang di sana, kompak memberikan selamat. Selain itu, mereka juga sibuk memuji bayi Dewi. Dari yang mereka bilang sangat cantik, berkulit putih bersih, dan juga murah senyum.
“Murah senyum banget tuh lihat, senyum-senyum terus!”
Dewi masih belum menyerah. Ia yang hafal nomor telepon rumah ibu Retno, sengaja meminta bantuan salah satu ibu-ibu di sana untuk menghubungi.
“Nyambung, tapi enggak diangkat-angkat,” ucap ibu-ibu yang Dewi mintai bantuan.
Sudah sepuluh menit berlangsung, telepon dari ibu-ibu tersebut kepada nomor rumah ibu Retno tetap tidak dijawab. Dewi yang minta bantuan jadi tak enak hati bahkan malu.
Lahiran ditemani orang lain. Orang yang sebelumnya benar-benar tidak Dewi kenal. Sementara pakaian bayi, maupun pakaian ganti untuk Dewi, juga sampai diberi oleh mereka atas dasar kasihan. Akan tetapi, kini anak perempuan Dewi harus segera diazani. Benarkah yang melakukannya tetap bukan Prasetyo, dan harusnya melakukannya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Anifa Anifa
emang thn 80 udh ada HP, ada nya juga wartel Thor, aku yang kelahiran 85 aja satu desa belum ada yg punya telpon rumah, ada2 aja gini nih klo bocil nulis novel, sok2 an nulis novel thn 80 lgi
2025-02-04
1
Eric ardy Yahya
orang gila tuh si Prasetyo . memang dah ada ya keluarga macam ini yang otaknya gak pernah dipakai dan masih anggap dia paling benar .
2025-01-24
0
Rehaan Aamir
D Awal Bab 1 D Ceritakan Kl Kisah Nhe Terjadi D Era 1980.....Tp Koq Udah Pake Ponsel????Seriusaannn Tahun Segitu Udah Ada Ponsel?????
2025-04-04
0