“Kalau aku di sini terus, yang ada makin enggak bisa bayar!” pikir ibu Retno makin gelisah.
Tak ada lagi keharmonisan dalam rumah tangga ibu Retno maupun Prasetyo yang baru berumur hitungan hari. Karena ketika Prasetyo hanya mencintai uang ibu Retno dan segala fasilitas mewah dari wanita itu. Alasan ibu Retno ingin dinikahi Prasetyo juga murni untuk mendapatkan kepuasan batin. Tentunya, tampang tampan ditambah tubuh tegap Prasetyo memang menjadi daya tarik tersendiri untuk ibu Retno. Masalahnya, sampai detik ini, burung Prasetyo tetap loyo. Jangankan memuaskan ibu Retno layaknya biasa dan sudah jadi rutinitas sekaligus pekerjaan pokoknya. Sekadar mau merespons ibu Retno saja, burung milik Prasetyo sudah tidak lagi melakukannya.
Di lain sisi, Prasetyo juga bosan jika terus-menerus di dalam hotel. Ditambah lagi, otak Prasetyo memang hanya dikuasai nasib keluarganya. Prasetyo khawatir keluarganya telantar. Ditambah lagi, sudah dekat dengan waktu pembayaran kontrakan. Belum lagi, mengenai kelanjutan hubungannya dan Dewi. Prasetyo tak mau kehilangan Dewi begitu saja. Karena jika iya, keluarga Prasetyo terancam telantar. Apalagi kini, sedang diam saja, tiba-tiba ia ditin.ju oleh ibu Retno yang terlihat sangat emosi. Pipi kiri Prasetyo langsung saja dihiasi kepalan punggung tangan ibu Retno.
“Kamu ini sebenarnya kesuru.pan set.an apa sih? Lagi diam saja kamu tinj.u, apa kabar kalau aku sampai ninj.u kamu duluan?” marah Prasetyo.
“Aduh ... kok hidupku jadi enggak enak gini, ya?” pikir Prasetyo memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi.
Hari ini menjadi hari terakhir Prasetyo dan ibu Retno menginap di hotel. Karena jika keduanya melebihi waktu yang sudah ditentukan, keduanya wajib membayar biaya tambahan.
Rintik hujan menemani sore ini. Mas Abdul yang awalnya hanya melihat-lihat pekarangan, jadi heboh. “Mas Alif, sini! Banyak mangga matang itu! Kita juga bisa panen buah pisang. Tuh, ada dua tandan pisang masak!” ucapnya.
Alif yang memang sudah mengikuti mas Abdul, juga tak kalah heboh. Apalagi yang namanya anak kecil, asal orang yang diikuti baik sekaligus sering memberi hadiah, anak itu pasti betah.
“Bisa enggak?” seru Dewi yang baru saja memberi mas Abdul golok untuk memanen pisang.
Mas Abdul mendadak tidak yakin karena kini memang menjadi kali pertama dirinya akan memanen pisang.
“Tandan pisangnya dipegangin, Mas. Jangan dibiarin jatuh. Kalau dibiarin jatuh, bahaya. Apalagi kan itu sudah matang semua,” ucap Dewi agak berseru. Ia sengaja meninggalkan putrinya di lantai. Berhubung sang putri ia bawa lengkap dengan bantal kecil, ia memang bisa meninggalkannya dengan leluasa.
“Begini,” ucap Dewi sambil praktik, dan mas Abdul langsung praktik.
Namun lagi-lagi, mungkin efek tidak terbiasa, mas Abdul malah hanya membuang-buang waktu. Memang Dewi yang jauh lebih cekatan karena Dewi sudah terbiasa hidup sulit sejak kecil. Karena jangankan memanen pisang, memanen tanaman padi dalam jumlah luas saja, Dewi sudah terbiasa melakukannya sejak kecil.
“Hore ....” Alif benar-benar heboh. Sampai detik ini, ia sudah langsung betah di sana. Namun jika sang mama mendadak mengajaknya pergi lagi, ia juga tidak bisa menolak.
“Sini ... sini, berat, Mbak!” ucap mas Abdul langsung sigap. Untuk pohon pisang selanjutnya pun, ia yang melakukannya. Kali ini ia sukses besar hingga mendapat sorak hore dari Alif.
“Ya sudah, ayo kita masuk rumah. Panen mangganya nanti tunggu gerimisnya reda!” ucap mas Abdul sambil membawa kedua tandan pisang bawaannya, sebelum Dewi yang melakukannya. Karena jika melihat dari Dewi yang cekatan, wanita itu tidak akan pilih-pilih pekerjaan asal masih halal.
“Makan pisang ya Mas Alif!” ucap mas Abdul yang masih saja kegirangan hanya karena ditemani Alif.
“Penten, Mas? Mamanya Mas dan saudara Mas, mau ke sini kapan? Ditinggalin tempat tidur apa makan juga, enggak?” sergah Dewi sambil mengeringkan tubuh Alif menggunakan kain jarit.
“Mereka masih belum mau ke sini, Mbak. Mereka khususnya mama, masih trauma. Dikhianati pembantu sendiri, anak diha.jar di depan banyak orang. Hati mama mana yang enggak hanc.ur menyaksikan semua itu?” ucap mas Abdul jadi sedih.
“Bahkan meski sudah berlalu, bayang-bayang kejadian di rumah ini sepertinya juga membuat mama sama adik-adikku trauma,” lanjut mas Abdul.
Dewi mengangguk-angguk paham seiring tatapannya yang jadi murung. “Yang namanya trauma memang sulit Mas. Ya pelan-pelan, semoga berkah. Atau kalau enggak, kasih mama umroh atau malah haji. Biar ada perjalanan spiritual gitu. Biar jadi obat penenang tersendiri,” ucap Dewi hanya memberi saran. “Cuma usul, Mas!” lanjutnya sengaja menegaskan.
Sebenarnya, Dewi tidak mau ikut campur terlalu jauh. Apalagi selain mereka memang baru kenal, mereka juga pembantu dan majikan. Ditambah lagi, tampaknya mas Abdul sekeluarga memiliki trauma tersendiri kepada pembantu akibat ulah ibu Retno. Hanya saja, efek mas Abdul yang terlalu baik. Bahkan kepada anak-anak Dewi termasuk ke Utari yang masih bayi saja, mas Abdul sangat baik, Dewi memang tidak bisa untuk tidak peduli.
“Makan pisangnya yang banyak, ya. Mas mau cuci mobil dulu. Mumpung Mas punya waktu!” ucap mas Abdul bersemangat.
Tanpa direncanakan, lagi-lagi Dewi ikut serta membantu mas Abdul. Mas Abdul mencuci mobil yang sebelumnya ibu Retno berikan kepada Prasetyo. Tanpa sengaja, Dewi yang memungut setiap samp.ah yang mas Abdul buang, malah menemukan gepokan uang seratus ribu dalam kantong hitam. Uang yang sempat dipermasalahkan oleh ibu Retno dan Prasetyo.
“Innalilahi, Mas. Ini uang sebanyak ini kok dibuang?” ucap Dewi benar-benar syok.
Namun di depan rumah, ibu Retno dan Prasetyo sedang berusaha masuk. Takdir yang mulai berubah, tampaknya itu lah yang terjadi dengan kehidupan mereka sekarang ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Rehaan Aamir
Bangkeeee Laahh...Tahun Segitu Uang Pecahan 100Rb Blm D Bikiiiiinnnnn Woooooyyyy...Bikin Novel Boleehh...Tp Survei Duluuu Kl Mau Bikin Crt Tntg Era 80an...
2025-04-05
0
Sarti Patimuan
Wah rejeki nomplok tuh Dewi
2024-05-04
1
Arieee
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2024-05-01
0