Setengah jam aku menunggu sambil menonton proses koki tinggi itu membuat sesuatu yang ia sebut dengan ‘hidangan spesial’ tersebut, memastikan tidak ada racun atau bahan lain yang ia masukan ke dalam adonan. Akhirnya pria yang kudengar namanya adalah Picho kembali membawa satu kotak besar berwarna biru dengan ukiran corak yang indah, kotak itu berisi satu cheese cake besar yang indah, lengkap dengan potongan trawberry yang tertata rapi dan membuatnya tampak lebih manis.
“Terimakasih telah menunggu, ini ada sedikit hadiah khusus untuk pelanggan baru yang betah di kedai kami hingga memesan banyak makanan. Kami harap anda menyukainya, selamat menikmati ya nanti di rumah bersama keluarga,” ucapnya dengan ramah dan sopan, namun kali ini sedikit melukai hatiku.
“Aku tak punya keluarga, mereka meninggalkanku sejak kecil bersama berjuta kenangan buruknya,” ketusku, namun pria ini malah tersenyum manis padaku.
“Oh, sama dong!? Keluarga saya juga telah dibunuh entah oleh siapa sejak saya kecil. Yang saya ingat hanyalah jasad mereka yang berlumuran darah. Tak apa, kakak kuat bisa bertahan sampai sekarang. Tak perlu sedih, dan nikmati saja kuenya sendiri hingga puas. Kue itu tahan lama jika ditaruh di kulkas,” ujarnya mulai adu nasib dan mencoba menguatkanku, dengan senyuman manis yang setia bertahan diwajahnya.
“Kalau aku justru lebih parah, orang tuaku bunuh diri tepat didepan mataku sendiri sejak aku masih kecil!” Sahut temannya yang bernama Leo, entah sejak kapan ia hadir dan mendengarkan percakapan di sini. “Tak perlu khawatir, jika anda merasa sepi, kami siap ko menjadi keluarga anda di sini,” lanjutnya memberikanku tawaran manis, namun wajahnya datar tanpa ekspresi. Membuatku ragu, apakah ia tulus mengatakan itu atau tidak.
“Jika aku keluarga kalian, berarti aku boleh makan gratis dong tiap hari di sini?” Tanyaku, mencoba mengajak mereka bercanda lagi.
“Boleh gratis,” jawab Leo.
“Tapi masak sendiri ya,” lanjut Picho. Mereka pun tertawa kecil.
“Apa ini? Apa tak masalah jika aku mengetahui resep makanan kalian!? Dan apa tak masalah jika aku masuk ke dapur kalian? Nanti racunnya keliatan dong!?” Gawat! Aku kelepasan bicara! Jika begini, mereka pasti sadar bahwa aku sedang memata-matai mereka!
Tampak wajah heran dari mereka, sempat juga mereka saling melempar lirikan. Lalu mereka sadar akan apa yang ku maksud dan berkata “Oh? Kasus di kedai tempat kami bekerja sebelumnya?” Tanya Picho.
“Kami juga kesal pada yang telah meracuni pelanggan kami, ingin rasanya menangkap pria bertopeng rubah itu! Sayangnya dia sudah tak nampak lagi.” Lanjut Leo masih setia dengan nada dan wajah datarnya.
“Hah!? Pria bertopeng rubah!?” Tanyaku, sedikit terkejut mendengar mereka tiba-tiba saja menyalahkan orang lain.
“Iya, Picho pernah lihat pria bertopeng rubah putih, menggotong korbannya ke gunung,” jawab Leo.
“Aku sempat mengejar dan berusaha menangkapnya. Sayangnya, aku jatuh dari sepeda dan terluka parah hingga tak mampu menghentikan langkahnya yang menghilang ditelan kabut malam,” lanjut Picho.
“Kami yakin, yang meracuni pelanggan kami juga adalah orang yang sama. Walau kami belum menemukan buktinya karena pria itu tak pernah muncul lagi,” cetus Leo.
“Habisnya, hari dimana pelanggan kami keracunan makanan, aku melihat pria itu lagi di kebun teh dekat kedai,” sambung Picho.
“Tapi jika benar itu yang terjadi, kalian juga salah dong karena teledor dan kurang teliti, hingga tak menyadari bahwa ada orang lain yang meracuni pelanggan kalian?” Tanyaku, masih tak ingin kehilangan bukti bahwa mereka layak ditangkap.
“Kami adalah koki, tugas kami seharian di dapur!” Jawab Leo, mencoba memberi alasan.
“Mana sempat kami memperhatikan seluruh pelanggan kami, sedangkan kami harus sibuk memasak untuk pelanggan yang lainnya?” Lanjut Picho.
“Lagipula, di kedai itu ada banyak pelayan juga yang lebih leluasa memperhatikan keadaan di sekeliling kedai,” tambah Leo.
“Picho sempat melihat dan mencoba menghentikan pria bertopeng rubah itu sebelumnya, lalu melihatnya lagi di hari tragedi pelanggan keracunan makanan. Mengapa tidak dikejar untuk kedua kalinya saat itu?” Tanyaku belum puas dengan jawaban mereka.
“Ya aku takut mati lah, gila! Aku terluka parah setelah mengejarnya, dan lukaku belum sembuh ketika aku melihatnya lagi. Mana mampu aku mengejarnya lagi dalam keadaan terluka? Dan juga aku tak boleh datang terlambat pada kedai hari itu, aku harus fokus pada pekerjaanku sebagai koki.” Jawab Picho. “Lagipula, memang siapa pelanggan itu bagimu?” Lanjutnya, menanyakan hal yang tak ku mengerti.
“Hah?” Tanyaku dengan intonasi dan mimik wajah layaknya preman, mulai tak mampu menutupi sifat berandalku.
“Saat aku berusaha menyelamatkan siswi SMA bernama Cika anamun gagal, esok harinya aku melihat jasad Cika mengambang di sungai, kemungkinan ia hanyut dari atas gunung hingga wajahnya babak belur terbentur bebatuan di sungai. Aku sempat memastikan kehdupannya, namun saat ku keluarkan ia dari sungai, ku lihat kondisi badannya sudah terbelah dan organ tubuhnya termasuk jantung sudah tidak ada. Aku ketakutan, dan aku meninggalkannya di pinggir sungai. Lalu saat aku sedang bekerja di kedai, sahabat Cika yang bernama Rika datang untuk menginterogasiku,” Picho mulai menceritakan kronologi kasus yang sempat ia temui.
“Lalu, malam hari setelah aku dan Leo dipecat karena tuduhan meracuni pelanggan di kedai, aku bertekad ke gunung untuk mencari pembunuhnya. Di gunung aku menemui perempuan bernama Taira yang juga sedang mencari pembunuh berantai itu, karena kakaknya telah dibunuh oleh pria bertopeng rubah putih. Sekarang kau, mencari tahu kasus racun di kedai tempat kami bekerja sebelumnya. Apa kau memiliki ikatan dengan korban?” Lanjutnya menanyakan kembali hal yang sempat tak ku mengerti sebelumnya setelah menjelaskan semuanya.
“Wow! Rupanya ini bukan kali pertamamu dipojokan dan dituduh sebagai pelaku, Picho! Hebat juga caramu menjelaskan kronologinya, sudah seperti detektif sungguhan saja!” Sahut Leo, memuji kawannya yang sempat membuatku iri karena merasa tersaingi. Yang detektif sungguhan kan aku!
“Berisik! Aku sedang bicara serius dengan kakak ini! Ummm…? Siapa nama kakak?”
“Arron,” jawabku, tentu saja memberikan identitas palsu.
“Baiklah, kak Arron. Apa hubungan anda dengan korban yang keracunan makanan?”
“Kekasih! Korban itu adalah kekasihku,” jawabku asal, mulai kehilangan fokus dalam percakapan ini. Selama aku bisa memberikan jawaban, mereka akan percaya kan?
“Korbannya itu cowok, kak. Apa anda sedang mencoba membohongiku?” Ucap Picho, membuatku sedikit tersentak.
Korban yang keracunan di kedai waktu itu cowok!? Apa aku kurang teliti menyelidiki akan hal ini? Sekarang aku harus bilang apa? Seketika wajahku memucat, keringat dingin mengalir dari sekunjur tubuhku, otak ku semakin tak bisa berfikir jernih. Aku panik, tak bisa mengatakan apapun. Gawat! Bagaimana ini? Ayo berfikirlah otak! Sialan! Aku kalah di hari pertama? Targetku ini memang cerdas!
“Ha- ah!? Korbannya cowok!? Yasudah, jika Rika adalah sahabat Cika dan Taira adalah adik korban yang sebelumnya dibunuh di gunung, berarti aku kakaknya korban yang keracunan di kedai itu saja deh! Iya, anggap saja korban adalah adikku!” Jawabku semakin tidak nyambung. Aku mencoba mengalihkan perhatian mereka dengan cara sedikit bercanda. Namun sepertinya candaan ku kali ini tidak tepat waktu.
Leo hanya menatapku datar sambil memutar bola matanya malas, sedangkan Picho terlihat seperti memaksakan senyuman manisnya lalu berkata “Kak Arron tidak sungguhan menganggap kasus ini sebagai candaan, kan?” Ah, sepertinya mereka sangat terpukul mendengarku bercanda akan kasus yang membuat mereka kehilangan pekerjaannya. Apa mereka memang tidak bersalah dan hanya korban? Atau hanya bermain peran agar aku merasa bersalah?
“Oh, ayolah! Suasana di kedai ini tegang sekali! Aku hanya ingin mencoba mencairkannya! Bukan maksudku menyinggung perasaan kalian,” jawabku mencoba mencari alasan.
“Sulit kah bagi anda untuk menjawab pertanyaanku yang di awal!?” Picho mulai terkesan memberiku perintah, walau wajahnya tetap dipaksa ramah olehnya.
“Baiklah, baiklah! Tapi kepalaku cukup sakit dan tak bisa berfikir jernih untuk menjawabnya dengan serius. Di sini jual minuman beralkohol ga? Aku butuh minum itu untuk menjernihkan fikiranku,” jawabku dengan jujur sejujur jujurnya, namun tetap mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Mereka menatapku heran, lalu Leo berkata “Mungkin maksud anda adalah air mineral?”
“Bukan, aku tidak salah bicara! Aku memang butuh alkohol untuk menjernihkan fikiranku,” jawabku.
“Bukankah itu hanya akan membuat fikiran semakin kacau?” Kali ini Picho yang bertanya.
“Entah, tidak masuk akal memang kedengarannya. Tapi aku justru membutuhkan itu untuk menjernihkan fikiran,” jawabku mencoba menjelaskan hal aneh pada diriku ini, berharap mereka percaya akan ucapanku.
Picho sempat terkejut sejenak mendengar jawabanku, lalu kembali tersenyum manis yang kurasa kali ini ia tulus melakukannya. Yah, sebagai detektif aku paham betul makna dari raut wajah setiap orang. Aku bisa membedakan mana yang tulus dan tidak. Kali ini Picho tersenyum tulus.
“Aku mengerti. Di dunia ini memang banyak hal yang tidak masuk akal, ku kira hanya aku saja yang merasakan keanehan dalam hidup rupanya orang lain juga memiliki hal anehnya masing-masing. Tapi maaf kak, kami tidak menjual minuman beralkohol. Mungkin di bar dekat sini ada, perlu saya belikan?” Ucap Picho mengatakan hal yang tak ku mengerti, lalu dengan tulus menawari ku bantuan.
“Tak perlu! Biar aku saja yang beli sendiri sekalian pulang. Kalian juga kelihatannya sangat lelah, aku pasti telah merepotkan kalian seharian ini. Aku pamit pulang dulu, makasih kuenya!” Pamit ku mencari alasan untuk pulang, karena ku kira keadaannya akan semakin kacau bila percakapan ini diteruskan.
Sepertinya aku harus mundur dulu dan memikirkan strategi baru. Dengan fikiran seperti itu, aku memutuskan untuk segera pergi dari rumah Leo setelah berpamitan, dan mencari bar yang Picho katakan tadi. Rupanya tepat di seberang rumah Leo— arah kanan sedikit, terdapat bar yang buka 24 jam. Aku segera masuk dalam bar tersebut dan membeli satu botol minuman alkohol yang paling murah, lalu segera keluar dari bar membawa botol minuman yang baru saja aku beli. Suara musik di bar itu membuat telingaku sakit!
Setelah aku keluar dari bar dan menelan beberapa teguk minuman pada botol yang ku genggam, aku melihat Picho sedang berjalan santai membawa tasnya. Sepertinya dia ingin pulang? Mengapa jalan kaki? Semalam ini? Dimana sepedanya? Dia bilang dia punya sepeda kan tadi? Apa dia berbohong? Mencurigakan! Sepertinya dia patut diselidiki lebih lanjut! Senyuman seringaiku muncul ketika terfikir akan sesuatu, aku kembali meneguk minumanku dan kembali melangkah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
DEAD ACCOUNT
nahh, jadi ingat dokja yang bunuh ayah nya terus 'forgetful memory' jadi dia nuduh ibunya yang membunuh ayah nya.
kayaknya mirip-mirip hhe🤔
2024-10-25
1
DEAD ACCOUNT
kayaknya udah muncul gambaran plotwist dibkepala saya tapi masih ragu
2024-10-25
1