Taira mengajak— lebih tepatnya memaksaku untuk kembali pada gunung tempat pertama kali kami bertemu. Ia bilang, di sana adalah sarang para korban yang menghantuiku menetap, akan lebih mudah jika ingin menanyakan sesuatu pada mereka dengan cara mendatangi markasnya. Tentu saja aku sempat menolak, menurutku ini adalah ide yang percuma! Bulan lalu saja, arwah-arwah tak tahu diri itu menghinaku, untuk apa lagi aku bertanya pada mereka!?
Malas rasanya harus ke gunung itu lagi di malam yang dingin ini, namun gadis yang memaksaku ke sana tampak tak memiliki harapan atau jalan keluar selain melakukan hal menyebalkan tersebut. Dengan berat hati dan perasaan tak tega, aku pun akhirnya mencoba menuruti ajakannya. Kami ke gunung yang jauh itu dengan berjalan kaki, dan menghabiskan waktu satu setengah jam perjalanan, seharusnya sih begitu.
Namun anehnya saat berjalan bersama Taira, gunung itu terasa dekat, bahkan lima menit pun sampai. Apa aku saja yang tidak merasakan waktu yang lama? Entahlah, yang ku tahu pasti hanyalah gadis ini penuh dengan misteri yang tak ku mengerti, terkdang menambahkan misteri baru, namun juga bisa membantuku memecahkan misteri yang lainnya.
Sesampainya pada gunung tersebut, Taira menyuruhku untuk menutup mata dan fokus pada isi hatiku, menanyakan hal yang ia tanyakan lalu mendengarkan jawaban mereka, namun tetap harus mampu menjaga kendali diri agar tidak terpengaruh oleh bisikan yang mengajak pada keburukan. Rasanya agak mengerikan juga sih sebenarnya, ini pertama kalinya aku melakunakan hal aneh seperti ini. Tapi Taira mengatakan bahwa ini hanyalah simulasi, hal yang lebih mengerikan belum terjadi.
Aku menuruti semua perkataan Taira walau masih banyak pertanyaan dalam diriku, aku tetatap menanyakan pertanyaan-pertanyaan wanita yang selalu menggengam tanganku untuk menjaga kestabilan kendaliku itu. Semakin dalam aku mencoba fokus, kepalaku terasa pening dan semakin berat. Mulai terdengar suara bisikan yang seolah sedang menertawakanku.
“Eh lihat! Si ganteng datang lagi!”, “Makin gondrong saja rambutnya!”, “Ada apa dia kemari lagi? Ingin menanyakan sesuatu pada kita? Setelah sekian lama dia mencampakkan kita? Tak tahu malu sekali manusia satu ini!”
“Apa yang mereka katakan?” Tanya Taira, ingin mendengar juga pembicaraan menyebalkan mereka.
“Mereka bilang aku tak tahu malu, karena masih berani datang kemari untuk menanyakan sesuatu pada mereka, setelah cukup lama mencampakkan mereka!” Jawabku dengan ketus, sudah terlanjur kesal pada ejekkan para arwah menyebalkan itu. Masih dalam keadaan mata terpejam.
“Begitu rupanya? Mereka tak mau menjawab? Dasar arwah nakal! Sepertinya motif mereka menghantuimu bukanlah untuk hal yang baik,” ucapnya ikut merasa kesal sepertiku. “Kau sudah boleh membuka matamu, percuma juga kita fokus tanya pada mereka,” lanjutnya.
“Sejak awal juga sudah ku katakan, bahwa ini bukanlah ide yang baik!” Gerutuku kesal, sambil perlahan membuka mataku.
“Kan tak ada salahnya mencoba!?” Belanya.
“Sejak bulan lalu juga sudah ku coba, mereka menghinaku ‘manusia bodoh’!”
“Sudahlah, daripada bertengkar sebaiknya kita cari cara keluar lain,” ujarnya.
“Kau punya acara lain?”
“Belum. Ku kira kita mencari caranya bersama, mengapa hanya aku yang berfikir?”
“Aku kan tak memahami apapun tentang hal gila ini! Saat ku ingin menanyakannya padamu bulan lalu, kau malah menghilang entah kemana, membiarkan kepalaku dipenuhi misteri-misteri baru yang membuatnya sakit! Kemana kau selama ini!? Mengapa jadi aku yang kesannya meninggalkanmu sendiri!?”
Ah… Aku kelepasan menyentaknya dengan kasar, setelah sekian lama aku berusaha menghadapi segala hal dengan tersenyum manis. Hanya dihadapan Taira, juga Leo lah aku bisa menunjukan emosiku yang sesungguhnya. Tapi jika aku memarahinya seperti ini, perasaanku jadi tak enak. Ditahan pun, justru akan membuat dadaku semakin sakit.
Aku kesal dengan cara bicaranya yang seakan menganggapku tak melakukan apapun dan hanya dia yang pusing sendiri memikirkan kasus pembunuhan berantai ini, tanpa memahami bahwa sesungguhnya aku pun hampir gila memikirkan semua keanehan ini sendirian tanpa bantuannya. Perasaanku jadi meledak-ledak.
Nampaknya, setelah mendengarku meledakkan amarah, Taira cukup terkejut dan terpaku ketakutan. Entah apa yang ada dalam fikirannya sekarang, kami hanya larut dalam hening bersama lamunan masing-masing. Melihat netra Taira yang berkaca-kaca menahan tangis, aku jadi sedikit merasa bersalah padanya. Namun siapapun yang dihadapkan pada kondisi sepertiku, pasti juga akan marah kan? Reaksi marahku ini adalah hal yang normal!
“Picho, maaf membuatmu resah dalam waktu yang cukup lama. Aku tidak bermaksud meninggalkanmu, sebenarnya sejak hari itu aku mencari keberadaanmu namun tak menemukannya. Itulah yang membuatku memutuskan untuk fokus dulu memikirkan tentang para bisikan yang mungkin ada hubungannya dengan kasus ini sambil terus mencoba mencarimu, dan aku baru bisa menemuimu lagi sekarang,” penjelasannya panjang lebar, ikut merasa bersalah sempat menelantarkanku.
Aku menghela nafas pasrah sebelum berkata “Sudahlah, Taira… Aku juga yang salah terlalu banyak minyimpan fikiran buruk selama ini. Maaf telah membentakmu,” sambil tersenyum manis. Taira hanya mengangguk lemas dengan wajah murungnya. Tanpa sadar tanganku bergerak mengusap surai lembutnya sambil menambahkan kadar gula pada senyumanku.
“Sudahlah, malam sudah larut. Sebaiknya kita pulang. Kau sudah tahu rumahku kan? Rajin-rajin mampir ya, aku punya banyak menu spesial untukmu,” lanjutku dengan ramah dan hangat, masih setia dengan senyum manisku. Lagi-lagi Taira hanya mengangguk pelan. “Tapi sebelum pulang, boleh aku meminta kontak hp-mu?” Tanyaku singkat.
Kali ini wanita itu menatapku heran lalu berkata “Apa itu hp?”
“Hah!? Kau tak tahu benda bernama hp!? Apa kau tidak memiliki benda tersebut!? Orang cerdas sepertimu? Tak mengerti tentang hp!?” Tanyaku, tanpa sadar menaikan frekuensi suaraku sambil terbelalak terkejut ke arahnya. Dia ini sebenarnya makhluk jenis apa!? Fikirku. Gadis itu menggelengkan kepalanya lagi, aku sempat mengerjap melihat responya.
Setelah kedua kalinya aku menghela nafas pasrah, dengan sabar dan mepertahankan senyuman manis, aku berkata “Yasudah, mumpung besok aku libur, datanglah ke rumahku. Akan ku belikan kau hp juga mengajarimu cara pakainya.” Ia hanya mengagguk dan tersenyum manis. Manis sekali. Jarang aku melihatnya tersenyum semanis ini. Yah, aku memang jarang melihatnya sih. Ku harap setelah ini aku akan lebih sering bertemu Taira, juga melihat senyumnya yang semanis ini.
Kami pun akhirnya sepakat untuk pulang, sesampainya di rumah aku tak bisa segera terlelap. Banyak hal yang menghantui fikiranku, terutama tentang Taira. Semakin aku mengenalnya, semakin banyak misteri baru yang ku temukan. Mulai dari dia yang menghilang bersama sepedaku, dan sekarang dia malah tidak mengerti soal ponsel.
Tak pernah bosan aku bertanya, wanita ini sebenarnya makhluk jenis apa sih? Manusia mana yang tak mengerti ponsel? Apa dia adalah manusia dari masa lalu? Teori mana yang bisa menjelaskan manusia dari masa lalu hadir di masa kini? Memangnya ini kartun Doraemon!? Sudahlah! Sejak awal aku bisa mendengar bisikan juga, kisah hidupku tak ada yang masuk akal! Jalani saja dulu dengan senyum manis sambil mencari tahu jawabannya, nanti juga akan terungkap dengan sendirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
DEAD ACCOUNT
sudah ku duga ... dia roh pembimbing/CoolGuy/
BTW kalo mau baca yang ori novel ku sebelum revisi follback/Smile/
masih ada file nya sama saya sebenarnya
2024-10-25
1
Yuzu Airu
masih dibahas dong, perkara sepeda.. 😂
sepertinya itu penting banget bagi Picho 😂
2024-10-07
0