“Kak Picho, ada apa dengan wajah kakak?” Tanya siswi SMA itu memulai topik pembicaraan lebih dulu. Baiklah, permulaan yang sudah sering ku dengar dari banyak orang.
“Jatuh dari sepeda,” jawabku sambil tersenyum manis. Ku kira jawaban itu saja mampu memuaskan rasa penasaran petanya, namun rupanya wanita yang cukup tinggi jika dibandingkan teman seusianya ini sedikit berbeda.
“Kapan? Dimana? Dan siapa yang bantu kak Picho sembuhin lukanya?” Aku sempat mematung menatapnya heran, terkejut dengan pertanyaannya yang rinci. Bahkan aku sendiri pun tak bisa menjawab semuanya dengan rinci.
“Semalam, di jalan pulang, dan aku sendiri yang mengobati lukaku, mungkin?” Jawabku agak sedikit ragu, berusaha memberikan jawaban yang masuk akal dan jujur, namun sepertinya aku terdengar seperti sedang berbohong.
“Apa yang kakak maksud dengan ‘mungkin’? Gimana caranya menyembuhkan luka sendiri? Apa kak Picho membawa P3K kemanapun? Perjalanan pulang kan gelap, memang lukanya terlihat? Lalu mengapa kasanya bisa menempel dengan serapih itu? Logikanya jika mengobati sendiri di jalan yang gelap tak mungkin bisa dengan rapih!” Rentetan pertanyaan wanita yang tenggelam dalam asumsi kritisnya sendiri.
Aku sempat gelagapan dan tak mampu menjawab pertanyaan siswi cerdas itu, menatap ke arah dapur berharap mendapatkan bantuan dari Leo, namun pria itu hanya menertawakanku dan juga menanti jawaban dariku. Sial! Aku lupa kalau belum menceritakannya pada Leo secara rinci! Harus ku jawab seperti apa pertanyaan wanita ini? Aku gugup dan hanya bisa menggaruk bagian belakang kepalaku yang tidak gatal.
“Hold on, nona manis! Pertanyaanmu terlalu terburu-buru. Aku tidak membawa P3K kemanapun aku pergi, aku mengobatinya sambil bercermin di toilet rumahku tadi pagi saat mentari sudah terbit,” jelasku menceritakan rincian kejadian yang sebenarnya terjadi, mencoba meluruskan asumsinya yang salah total dari kenyataan.
“Jatuhnya tadi malam, disembuhkannya tadi pagi. Bagaimana caranya kak Picho pulang ke rumah dalam keadaan tubuh yang sakit penuh luka itu? Dilihat dari jumlah luka dan tingkat keparahannya, sepertinya tak mungkin jika kak Picho bisa mengendarai sepeda sendiri!” Ujarnya masih belum puas juga dengan jawabanku.
“Soal itu, aku juga tak tahu persis kronologinya. Setelah jatuh memang kesakitan dan tak mampu bergerak sampai aku ketiduran di lokasi jatuh, saat tersadar aku sudah berada di kamarku. Mungkin ada yang membantu membawaku ke rumah? Tapi aku tak tahu siapa orangnya,” jawabku dengan jujur, sejujur-jujurnya. Berharap wanita menyebalkan ini menghentikan pertanyaan anehnya tersebut.
“Lagipula, mengapa anda begitu peduli dengan sejarah dibalik luka-lukaku ini? Apa anda menyukaiku, nona? Memang susah ya jadi pria tampan sepertiku? Banyak penggemarnya,” lanjutku kali ini kembali memberinya pertanyaan, sambil tersenyum manis dan ramah, mencoba menggodanya agar ia risih dan berhenti bertanya.
“Lalu bagaimana dengan perjalanan kak Picho kemari dengan tubuh yang masih sakit?” Bukannya menjawab, yang ditanya malah melanjutkan pertanyaannya tanpa mempedulikan godaan manisku. Apa pesonaku kurang cukup untuk mengalihkan perhatiannya?
“Jawab dulu pertanyaanku, nona!” Pintaku dengan lembut namun tegas sambil mempertahankan senyuman manisku, berusaha untuk tidak terpancing emosi dan menyakiti perasaannya, mengingat ia adalah pelanggan setiaku yang harus diperlakukan dengan lembut.
“Aku tidak peduli padamu, aku hanya sedang mencari informasi darimu. Jadi jawab saja pertanyaanku tanpa protes!” Apa ini? Mengapa konotasinya jadi seolah memberikan perintah? Dasar tidak sopan! Kalau saja dia bukan pelanggan, dan kalau saja ini bukan dalam jam kerja di kedai, sudah ku sobek mulut menyebalkannya itu.
“Aku memaksakan diri untuk berangkat walau sakit, karena aku ingin mengisi perut kosong para pelanggan di sini dengan makanan terenak yang bisa ku masak. Ada lagi yang ingin ditanyakan? Atau ingin memesan makan siang? Tolong jangan membuat pelanggan yang lain mengantri lama, nona yang terhormat.”
“Biar kak Leo saja yang mengurus pesanan pelanggan lain, aku masih mau menanyakan banyak hal!”
“Silahkan,” jawabku sopan sambil tersenyum manis.
“Apa ada hal aneh yang kak Picho lihat di perjalanan menuju kedai ini tadi pagi?”
“Apa!?” Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaanya yang ini. Mencoba memastikan ulang bahwa pendengaranku tidak salah.
Fikiranku mulai berkelana. Apa ini? Mengapa pertanyaanya jadi mengarah ke sini? Apa fikiranku saja yang sedang kacau karena mengingat siswi malang yang hanyut di sungai tadi pagi? Tak mungkin kan jika siswi ini mengetahui tentang tragedi itu? Argh! Aku jadi menyesal meninggalkan jasad itu begitu saja!
“Apa kak Picho melihat hal aneh tadi pagi di sungai? Jemuran yang hanyut misalnya?”
Huft! Rupanya jemuran hanyut. Ternyata aku memang terlalu berfikir jauh. Siswi ini tak mungkin tahu tentang perkara sungai merah itu! Aku jadi sedikit lebih lega mendengarnya. Aku yakin ia hanya mencari jemurannya yang hanyut. Iya! Pasti begitu!
“Apa jemuran anda hanyut di sungai, nona?”
“Kan ku bilang ‘misalnya’! Bukan berarti maksud yang sesungguhnya!”
Ugh! Aku salah paham rupanya! Bagaimana ini? Apa dugaanku diawal tadi benar? Dia tahu tentang sungai merah itu? Tapi jika memang begitu, aku tak seharusnya panik kan? Toh bukan aku yang membunuhnya, aku tidak bersalah! Satu-satunya kesalahanku adalah membiarkan jasad siswi itu tergeletak di pinggir sungai begitu saja, tanpa mencoba tanggung jawab mencari pertolongan atau memberitahu keluarga korban.
Sebaiknya aku membantu siswi ini mencari informasi tentang kawannya kan? Setidaknya dengan begitu aku bisa tanggung jawab memberitahu kabar duka pada kerabat korban? Tapi apa aku harus menyampaikannya di sini? Di kedai dengan banyak pasang mata yang mengarah pada ketampananku ini? Mana mungkin aku bisa mengungkapkannya dihadapan mereka!? Terutama Leo, aku tak boleh membuatnya khawatir dengan apa yang ku saksikan tadi pagi!
“Hmm, sepertinya kita harus melanjutkan percakapan di tempat lain. Anda lapar? Mau berbincang sambil makan siang di kedai dekat sini? Biar aku yang yang bayar,” tawarku, mulai memahami tentang ‘informasi’ apa yang ingin ia cari. Mencoba menggiringnya untuk melanjutkan percakapan rahasia ini di tempat lain.
“Woy, penghianat! Beli makanan dari kedai ini dong!” Teriak Leo dari balik dapur, merasa tak terima aku membawa pelanggan ke kedai lain.
“Berisik! Aku bosan dengan masakanku sendiri atau masakanmu, Leo! Sesekali kita harus mencari referensi menu baru dari kedai lain!” Sentakku sedikit mencari pembelaan diri agar ada alasan untuk keluar dari kedai dan membicarakan hal privasi ini pada wanita yang entah mengapa sepertinya sangat membutuhkan informasi dariku.
“Mengapa harus di tempat lain? Aku tak pernah bosan dengan makanan di kedai ini!” Tanya siswi yang rumit ditangani itu dengan tatapannya yang memojokkanku, seolah ia menuduhku sebagai penyebab kematian siswi yang hanyut di sungai tadi pagi. Sepertinya dia salah paham.
“Nona, saya akan membantu anda untuk mencari informasi yang anda butuhkan. Untuk itu, saya mohon bantuan kerjasama anda,” pintaku dengan lembut, berharap ia akan mengerti posisiku yang tak bisa menjelaskannya di depan umum. Wanita itu terlihat sempat merenungkan sejenak permintaanku selama beberapa detik.
“Baiklah,” jawabnya sambil tersenyum manis. Hufft… Akhirnya dia bisa sedikit ku kendalikan juga, aku menghela nafas lega lalu kembali tersenyum manis.
“Leo, ku serahkan kelanjutan kedai ini padamu ya!” Ucapku pada sahabatku yang juga koki di kedai ini, sebelum akhirnya beranjak jua membawa siswi manis ini ke kedai sekitar. Leo hanya menggelengkan kepalanya sambil mengangkat kedua bahu pasrah melihatku pergi begitu saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
DEAD ACCOUNT
lah... si siswi kayaknya punya identitas lain/Chuckle/
2024-10-23
1
Rens09
semangat kak
2024-10-19
0
Má lúm
Perjalanan emosional yang tak terlupakan. 😭
2024-03-14
1