Esok hari, ketika luka-lukaku sudah hampir sembuh dan membuatku bersemangat untuk berangkat kerja, masalah baru selalu datang untuk menghalangi senyumanku. Masalah bermula saat aku sudah sampai kedai, dan dipanggil bersama Leo untuk menghadap pemilik kedai ini sedari pagi. Sang pemilik kedai mengatakan, bahwa kemarin malam ada pelanggan yang tewas akibat keracunan makanan. Beliau curiga, bahwa kami tidak teliti memilih bahan makanan dan membiarkan pelanggan menyantap hidangan yang terbuat dari bahan kadaluarsa.
Tentu saja kami menyangkal kecurigaan tersebut, karena jelas setiap hari kami selalu mengecek keadaan bahan makanan di dapur, dan tak pernah sekalipun kami melihat ada bahan yang rusak. Meskipun ada yang tak layak pakai, kami akan segera membuang dan menggantinya dengan yang baru. Tak percaya dengan penyangkalan kami, sang pemilik memutuskan untuk meastikan keadaan bahan makanan di dapur itu sendiri, dan benar saja ia tak menemukan satupun bahan makanan yang rusak.
Setelah memastikan semua bahan makanan aman dikonsumsi, juga memastikan keadaan dapur beserta alat masaknya bersih higenis, sang pemilik mulai curiga bahwa salah satu dari kami ada yang jahil memasukan racun kedalam masakan yang disajikan pada pelanggan. Tuduhan macam apa itu!? Untuk apa pula kami melakukan hal tersebut? Kami bukan pembunuh! Bahkan baru kemarin kami berbincang tentang melindungi kehidupan manusia!
Namun lagi-lagi sang pemilik yang maha benar tak percaya akan penyangkalan kami dengan alasan bahwa kami tidak punya bukti yang kuat dalam hal ini, padahal dia juga tak memiliki bukti. Yup! Si pemilik kedai ini sudah menggeledah barang bawaan kami, dan tak menemukan racun apapun didalamnya. Seharusnya itu sudah cukup untuk dijadikan bukti bahwa bukan kami yang meracuni pelanggan tersebut, namun pemilik berkepala batu ini tetap curiga bahwa racunnya sengaja kami tinggal di rumah, atau kami lenyapkan sebelum ketahuan.
Menyebalkan sekali! Untuk apa juga kami bersusah payah melakukan hal seniat itu hanya demi meracuni pelanggan? Tak ada motif yang jelas bagi kami melakukan itu! Si pemilik bersikeras ingin mencari bukti bahwa kami adalah pelakunya, hingga kami tidak diperbolehkan bekerja di kedai itu hingga terbukti tidak bersalah. Tentu saja kedainya tutup selama kami tidak dipekerjakan, hanya kami koki andalan di kedai tersebut!
Kesal, aku sungguh kesal dengan semua keadaan ini! Mengapa sejak mendengar bisikan aneh setiap malam, hidupku harus menjadi rumit oleh banyaknya kasus pembunuhan!? Tunggu, kasus pembunuhan? Jika diingat lagi, kemarin pagi aku melihat pembunuh bertopeng rubah putih itu. Apa racun pada pelanggan kami juga adalah ulahnya? Kurang ajar! Pria kejam itu sekarang sudah berani menyerang pelanggan kami. Sungguh tak bisa dibiarkan!
Maaf Leo, tapi sepertinya kali ini aku harus turun tangan dalam kasus pembunuhan berantai itu. Aku sudah muak dengan segala penderitaan yang kurasakan akibat ulahnya! Jika aku saja yang menderita sih, tak apa. Tapi kali ini berkaitan denganmu juga, Leo. Karena aku membiarkan kasus ini, kau juga terancam kehilangan pekerjaanmu sepertiku.
Mungkin memang sudah menjadi tugasku untuk mengungkap pelaku dibalik kasus pembunuhan berantai ini. Tekadku sudah bulat, dan tak ada lagi yang bisa menghentikanku untuk memecahkan kasus ini!
Aku sempat berdiskusi dengan Leo tentang asumsiku terhadap kasus ini, dan mencoba mengajaknya mencari tahu lebih lanjut seputar pria bertopeng rubah putih tersebut. Aku menjelaskan pada Leo akan keyakinanku yang kuat bahwa pria itulah pelaku dibalik sebuah tragedi baru ini.
Jika pembunuhnya tidak menyerang pelanggan kami, mungkin aku bisa melupakannya dan tak terlalu ambil pusing. Tapi kali ini sudah menyangkut pekerjaanku dan pekerjaan Leo juga. Kurasa kami harus menyelamatkan diri dari tuduhan dengan cara mengungkap pelaku sebenarnya.
Leo tetap keras kepala tak ingin terlibat dalam kasus pembunuhan berantai, dan malah memberikan solusi lain agar bisa tetap bekerja walau bukan di kedai menyebalkan itu. Selanjutnya Leo menggiring ku untuk membahas rencana untuk mengerjakan pekerjaan baru tersebut.
Cih! Dasar pengecut! Memang benar lebih baik menghindari bahaya daripada membiarkan diri semakin masuk dalam masalah yang rumit. Tapi kali ini bahaya itu sendiri yang menghampiri tanpa diundang! Apa kami masih harus diam menghindari bahaya tanpa perlawanan!? Saat kami sedang dicurigai sebagai penyebab bahaya tersebut!? Yang benar saja! Masalah itu dihadapi, bukan dihindari! Dengan berbagai rasa kesal dan kecewa, aku memutuskan untuk mencari pelakunya sendiri.
...***...
Malam hari, setelah dijatuhi hukuman dari pemilik kedai kami tercinta dan sedikit berdiskusi menyebalkan dengan kawanku tersayang. Aku tidak memutuskan untuk langsung pulang ke rumah, melainkan mendayuh pedal sepedaku dengan cepat dan sekuat tenaga untuk perjalanan menanjak, menuju gunung tempat pembunuh itu biasa menghabisi nyawa korbannya. Aku ingin sekali menangkap manusia kejam itu, dan ku beri pelajaran dengan cara membawanya pada polisi agar disiksa seumur hidup dipenjara.
30 menit aku mendayuh sepeda di malam yang dingin ini, sampai jua pada gunung yang ku tuju. Sesampainya di gunung tersebut, udara semakin dingin dan menusuk pori-pori kulitku. Terlihat seorang perempuan berambut pendek seleher, sedang termenung menatap lurus jauh kedalam hutan yang ada di pegunungan ini. Aku memarkirkan sepedaku di sembarang tempat, lalu perlahan melangkah mendekati perempuan itu dengan siaga, jaga-jaga jika ia adalah rekan dari pembunuh yang sedang ku cari.
“Apa kau pembunuhnya?” Tanyaku dan perempuan itu secara bersamaan. Sepertinya dia menyadari keberadaanku, eh? Tunggu, tadi dia bilang apa? Dia menanyakan hal yang sama seperti yang ku tanyakan? Apa dia juga sedang memburu pembunuh berantai?
“Eh!?” Tanyaku lagi-lagi bersamaan denganya. “Kau juga sedang…?” Lanjut kami bersamaan untuk ketiga kalinya. Perempuan itu berbalik ke arahku dan menatapku heran, aku pun menatapnya dengan sama herannya. Namun tak lama setelah itu kami tertawa bersama.
“Baiklah, little girl. Apa yang mendorong gadis manis sepertimu, mencari pembunuh berantai sendirian di gunung yang dingin dan gelap malam ini?” Tanyaku dengan nada bicara yang santai, terbiasa tersenyum manis pada siapapun yang kutemui.
“Taira.”
“Apa?”
“Aku punya nama, jangan panggil aku ‘little girl’! Namaku Taira.”
“Tai?”
“Taira!” Teriaknya dengan suara yang amat kencang, memekakkan telingaku.
“Baiklah, Taira. Apa yang membuatmu mencari pembunuh berantai di gunung yang gelap dan dingin ini sendirian malam-malam?” Aku mengulangi pertanyaanku yang tadi, sambil memegangi telingaku yang masih sakit akibat teriakannya. Tak lupa selalu ku tunjukkan senyuman termanisku.
“Kakakku dibunuh olehnya, aku ingin menangkapnya dan membuatnya menderita seumur hidup,” jelasnya dengan wajah penuh dendam dan elegi kehilangan yang mendalam. Ugh! Lagi-lagi aku bisa merasakan luka orang lain selayaknya lukaku sendiri! Pilu sekali! Aku tak bisa menahan air mataku mengalir.
“Aku mengerti,” hanya itu yang bisa kukatakan untuk menggambarkan perasaanku yang memahami semua pilu di hatinya.
“Dan kau?”
“Maaf?”
“Apa yang membuatmu mencari pembunuh berantai di sini?”
“Apa? Eh? Oh? A-alasanku mencari pembunuhnya ya? Hmmmm… Aku harus bilang apa ya agar terdengar masuk akal?” Aku mulai terbata-bata kebingungan, tak bisa memberikan jawaban yang logis. Taira menatapku penuh curiga, sepertinya ia mencurigaiku sebagai pembunuh berantai itu sendiri? Gawat! Dia dalah perempuan kedua yang salah paham padaku setelah Rika!
“Aaaa- aku bukan pembunuhnya! Justru aku juga sedang mencari pembunuh itu, tapi aku tak mengerti bagaimana cara menjelaskannya padamu, karena mungkin kau takkan percaya padaku, Taira!” Lanjutku sebelum ia semakin salah paham, dengan suaraku yang mulai tak terdengar, tubuhku bergetar, wajahku pucat dan berkeringat dingin, gugup tak tahu harus mengatakan apa lagi.
Taira menghela nafas kasar lalu berkata “Justru jika kau bersikap seperti itu, aku semakin tidak mempercayaimu, tuan kaki panjang.”
“Namaku Picho, tolong jangan panggil aku ‘tuan kaki panjang’,” pintaku pada Taira, lupa sejak awal aku belum memperkenalkan diri dengan baik.
“Psycho?” Tanyanya polos, namun aku bisa merasakannya dengan jelas bahwa ia menyimpan dendam padaku.
“Kurangilah sikap pendendam mu itu, Taira. Aku tahu kau tidak salah mendengar namaku,” sedikit saran dariku agar ia tak terbawa dendam, kembali menunjukkan senyum termanisku.
“Baiklah, Picho. Jika kau tak memberi satupun alasan baik itu masuk akal atau tidak, baik aku bisa percaya atau tidak, kau akan ku anggap sebagai pembunuh berantai itu. Jadi tak apa, katakana saja dengan jujur,” ujarnya dengan suara dan nada bicara yang lembut. Aku memikirkan sejenak ucapan yang Taira katakan padaku, lalu menimbang apakah akan berkata jujur atau tidak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Mpit
bilang aja pemiliknya itu gk mau bayar karyawan nya ahahah
2024-04-27
1
Pena dua jempol
mungkinkah picho Psikopat nya 😂 kita tunggu endingnya 🫰🏻❤️
2024-04-05
1
Yoh Asakura
Aku sempet nggak percaya sama akhir ceritanya, tapi bener-bener bikin terkagum-kagum.💪
2024-03-17
1