“Huaaacih!”
“Ada apa ini? Tak biasanya Picho yang selalu datang paling pagi, jadi sering terlambat? Bersin pula saat baru memasuki dapur ini. Kau sakit? Sebaiknya pulang saja, tak baik jika koki memasak dalam keadaan sakit,” celoteh Leo saat aku baru saja sampai ruang dapur di rumahnya. Sejak diberhentikan bekerja, kami memutuskan untuk membuka usaha sendiri kecil-kecilan, sambil mengisi kekosongan hari.
Walau yah, aku masih sedikit kecewa dengan sikap pengecut Leo yang tak mau membantuku menemukan pembunuh berantai. Tapi sudahlah, aku tidak ingin terbawa emosi yang akan memicu pertengkaran diantara kami. Aku dan Leo sudah cukup lama bersahabat, bukankah sangat disayangkan jika persahabatan kami harus kandas jua akibat si topeng rubah putih? Jangan konyol! Cukup dia menyantap pekerjaanku, jangan sampai rubah putih sialan itu menyantap sahabatku juga!
“Terlambat apanya? Usaha baru kita bahkan belum mulai! Dan soal bersin ini, aku hanya sedikit kedinginan,” timpalku dengan suara berat, tak ingin kalah dengannya.
“‘Hanya sedikit kedinginan’ kau bilang!? Lalu bagaimana dengan suara sumbang dan mata pandamu? Jelas kau sedang sakit, Picho! Istirahatlah di rumah hingga sakitmu mereda!”
“Dan kehilangan kesempatan mendapatkan pelanggan di hari pertama membuka warung makan?”
“Kau ini! Memangnya itu penting bagimu, sampai memaksakan diri bekerja saat sakit!? Kesehatanmu yang paling penting!”
“Aku sehat, Leo! Sangat sehat! Kau tak perlu khawatir!”
“Kau masih mencoba membohongiku? Sudahlah, itu tak penting! Aku tahu apa yang membuatmu berpenampilan sekusut ini, kau sungguh mencari pembunuh berantai itu ya? Bagaimana? Ada petunjuk?” Aku hanya bisa menggelengkan kepala lemas setelah mendengar rentetan pertanyaan dari kawan cerewetku ini, malas banyak bicara. Sepertinya Leo sudah mulai pasrah tak mampu menghalangiku mencari pembunuh itu.
“Sudah kubilang, kau tak perlu terlalu memikirkannya!” Rupanya harapanku salah. Leo masih melarangku.
Aku tak terlalu mendengarkan celotehan Leo, dan lebih memilih mempersiapkan peralatan masakku sebelum mencoba memasak menu yang kemarin kami diskusikan di kedai. Bagaikai sebuah dejavu, setiap kali aku berususan dengan pisau yang kugunakan untuk masak, berbagai ingatanku tentang kasus pembunuhan berantai dan bisikan-bisikan dari arwah korban yang dibunuh entah oleh siapa di gunung itu, kembali terbayang dalam benakku.
Aku jadi berantakan seperti yang Leo katakan, karena memikirkan kejadian semalam hingga tak sempat tidur. Tentang pelaku pembunuh arwah-arwah yang menghantuiku, tentang pelaku pembunuhan berantai yang marak dibicarakan sejak bulan lalu, rupanya arwah-arwah itu bukan dibunuh oleh orang yang sama?
Lalu apa motif bisikan-bisikan itu menghantuiku selama ini? Dendam pada yang telah membunuh mereka? Yang benar saja! Korban pembunuhan berantai sejak bulan lalu itu bukanlah orang bersalah, bukan juga kriminal yang pernah melakukan kasus pembunuhan sebelumnya! Lantas apa yang membuat mereka menghantuiku? Untuk meminta bantuan? Tapi saat ku coba membantu, mereka malah menghinaku.
‘Nyawa dibayar nyawa’ mereka bilang? Apa mereka ingin mencari pelaku yang membunuh mereka untuk membunuhnya juga? Karena mereka tidak menemukannya, mereka memilih membunuh semua orang di gunung itu? Tapi bagaimana caranya? Sudahlah, ku diskusikan pada Taira saja nanti!
Bicara soal Taira, wanita dengan tahi lalat kecil dibawah mata kanannya itu berhasil menambahkan misteri dalam hidupku. Tentang kecerdasannya, tentang ia yang langsung mempercayai ceritaku terkait bisikan aneh, dan yang paling mengganggu fikiranku adalah tentang ia yang tiba-tiba menghilang bersama sepedaku dalam hitungan detik semalam. Menyebalkan! Aku kan jadi harus pulang jalan kaki dari gunung yang jauh itu hingga rumah karena dia menghilangkan sepedaku!
Siapa perempuan itu sebenarnya!? Bukan, aku tahu namanya adalah Taira. Tapi, makhluk jenis apa sebenarnya Taira itu!? Dia manusia, kan? Buktinya dia bisa menyentuhku dan sentuhan itu terasa begitu nyata, bahkan masih teringat jelas rasa sentuhnya di molekul kulit kepalaku. Wajahku sempat memerah saat mengingatnya, namun itu bukanlah hal penting yang harus ku fikirkan sekarang! Aku harus fokus memecahkan semua misteri gila ini!
Aku fokus pada pekerjaan sambilanku, dan menghiraukan bisikan yang terus menghantuiku. Aku minta bantuan Leo untuk menamparku jika aku bersikap aneh atau hilang kendali, agar bisa sadar dari pengaruh-pengaruh para arwah sialan itu seperti yang disarankan Taira.
Awalnya Leo merasa heran pada permintaan anehku ini, namun saat ku mengatakan bahwa aku mulai tak mampu mengendalikan diri jika terbawa emosi ketika memikirkan pembunuh berantai itu, pria tinggi namun tak lebih tinggi dariku ini akhirnya paham akan diriku yang sedang berjuang mengendalikan diri agar terus tersenyum manis dan tak menghancurkan segalanya saat emosiku meledak.
Yah, sebenarnya pemahaman Leo ada benarnya juga. Tapi bukan itu maksudku yang sesungguhnya. Tak mungkin kan jika aku bilang bahwa aku sering kerasukan? Siapapun orang normal yang mendengarnya, pasti akan menganggapku gila dan mengolok-olokku! Apalagi jika orang itu adalah orang jahil dan menyebalkan seperti Leo, dia pasti akan terus mengolokku hingga mati! Aku tak ingin hal itu terjadi!
...***...
Satu bulan berlalu sejak aku bertemu Taira di gunung malam itu. Aku selalu mengikuti perkataan gadis misterius tersebut untuk mulai bisa mengendalikan diriku dengan baik, juga beraktifitas dengan normal sebagai koki di rumah Leo tempat kami membuka bisnis kuliner kecil-kecilan. Rumah Leo cukup besar dan cocok untuk dijadikan tempat usaha kuliner, tidak seperti rumahku yang kecil dan serba minimalis. Namun selama satu bulan itu pula fikiranku terganggu oleh Taira yang tak pernah muncul lagi, hal tersebut membuatku semakin penasaran padanya.
Apa dia melupakan janjinya untuk mencari pembunuh berantai itu bersamaku? Di saat aku benar-benar mengingat sentuhan dan senyuman manisnya itu? Dasar curang! Pembohong! Aku sedikit kesal padanya, namun aku tak bisa berhenti melakukan arahannya yang menyuruh ku mengendalikan diri.
Aku juga terus memikirkan kasus pembunuhan berantai ini sendirian, yang anehnya sudah satu bulan ini tidak terdengar ada korban lagi. Apa dia sudah berhasil ditangkap oleh Taira atau pihak kepolisian? Persetan! Aku kesal jika mengingat tentangnya! Aku bahkan lupa meminta kontak ponsel perempuan misterius itu, dan dia meninggalkanku bersama segudang misteri lainnya yang membuatku hampir gila!
Terus ku tahan rasa kesalku dalam hati, sambil berusaha menampilkan senyum termanisku pada siapapun yang ku temui dan membantu rakyat sekitar desa yang sedang kesulitan atau memasak di kedai baru ciptaan aku dan Leo dengan sepenuh hati demi para pelanggan yang kelaparan. Hingga pada suatu malam, saat aku baru saja ingin merebahkan tubuhku pada kasur yang tak terlalu empuk namun cukup nyaman, terdengar suara ketukan dari kaca jendela kamarku secara dua kali.
Mataku yang hampir mengatup, kembali terbuka untuk melihat siapa yang mengetuk. Ku buka tirai pada jendela kamarku, dan retinaku menangkap sosok perempuan yang tak asing bagiku, wanita dengan rambut pendeknya yang mulai sedikit memanjang, juga yang selama ini ku rindukan. Tanpa ku sadari, bulir bulir melintas dari mataku melewati tahi lalat kecil di pipi kiri. Aku tak bisa melakukan dan mengatakan apa-apa ketika melihat wanita tersebut.
“Taira…?” Ucapku dengan suara kecil bergetar dan lidah kelu.
“Jangan cuma bengong, dasar bodoh! Bukakan pintunya! Aku kedinginan!”
“Tapi… Itu jendela, bukan pintu. Pintunya ada di sebelah sana,” ujarku dengan polosnya, sambil menunjuk ke arah pintu rumah yang sesungguhnya.
Taira akhirnya beralih pada pintu yang ku tunjuk tadi, akupun beranjak ke pintu yang sama untuk membukakannya. Dengan penuh inisiatif, setelah mempersilahkan perempuan itu masuk aku menyuruhnya duduk di ruang tamu yang sudah menyatu dengan ruang makan, lalu membuatkannya secangkir susu cokelat hangat untuk menghangatkan tubuh yang ia bilang kedinginan tadi.
Gadis yang hanya menggunakan celana bahan dan kardingan hitam tipis untuk menutupi kaus hitam tipis dibaliknya itu, mulai meniup susu buatanku yang masih mengepul lalu meminumnya secara perlahan. Sesekali ia menatap heran kepadaku, entah apa yang sedang difikirkan dalam kepalanya. Aku hanya bisa tersenyum manis sambil menyiapkan adonan untuk dimasak sebagai camilan, yang mungkin rasanya tidak semanis senyumanku.
Walau aku tidak kaya dan rumahku serba sederhana, perlengkapan alat masak dan isi kulkasku selalu lengkap agar tidak menghilangkan ciri khasku sebagai seorang koki. Setelah setengah jam aku bergulat dengan tepung dan telur, akhirnya bisa ku sajikan beberapa tumpuk pan cake berukuran kecil namun tebal, di piring kecil indah berbahan keramik tanah liat yang kubuat dengan ukirkan gambar tanganku sendiri, pada meja makan kecilku yang sederhana.
“Cantik, kau sendiri yang membuatnya?” Tanya gadis yang sedari tadi hanya melempar bisu. Aku menatapnya heran.
“Bukankah kau lihat sendiri bagaimana prosesku bermain dengan telur dan tepung hingga memanggangnya di pan?” Aku hanya bisa mengembalikan pertanyaan padanya.
“Bukan! Maksudku adalah piring keramik ini,” jawabnya singkat, merevisi pertanyaan yang tadi kurang lengkap dan sempat membuatku salah paham.
“Oh? Itu? Iya, selain memasak aku juga suka membuat kerajinan keramik semacam itu,” jawabku sambil sedikit tersipu malu dan gugup.
Taira sempat terdiam beberapa saat sambil memotong kecil kue yang ku sajikan untuknya menggunakan sendok kecil, menyuapkannya pada bibir kecil mungil yang tampak lembut, mengunyah dan menelannya, lalu berkata “Enak,” dengan nada bicara yang datar. Membuatku heran ada apa dengannya? Mungkin ia masih kedingnan?
“Mengapa kau mengenakan baju tipis di malam hari seperti ini? Perlu ku pinjamkan jaket ku?” Tanyaku tanpa mempedulikan pujian Taira akan masakkanku yang sudah jelas akan selalu enak, aku jauh lebih khawatir pada keadaannya yang kedinginan itu.
“Bukankah ada banyak misteri baru yang ingin kau tanyakan padaku?”
“Apa?” Tanyaku agak terkejut dengan pertanyaan anehnya itu. Maksudku, mengapa dia bisa tahu tentang segudang misteri di benakku!? Aku bahkan belum mengatakan apapun tentang hal itu! Taira menepuk keningnya melihatku yang terheran-heran.
“Kau lupa? Kita kan sedang mencari pembunuh berantai itu!” Jelasnya yang sama sekali tidak memberiku jawaban.
“Bukan! Maksudku tentang misteri itu…?”
“Pelakunya sudah tidak memakan korban lagi sejak aku menyuruhmu mengendalikan diri, bukankah itu menjdi misteri baru?” Mataku terbelalak mendengar ungkapannya itu, dadaku terasa sakit dan seketika aku kesulitan bernafas.
“Kau menuduhku pelakunya?” Tanyaku dengan mata yang masih terbelalak dan raut wajah kecewa.
“Bukan begitu, kau salah paham, Picho! Sejak awal juga aku sudah bilang bahwa bukan kau pelakunya!”
“Lalu apa maksudmu membicarakan soal ‘mengendalikan diri’!?” Emosiku mulai memuncak, aku tak bisa mengendalikan diriku. Kali ini bukan karena pengaruh bisikan itu, melainkan perasaanku yang sudah terlanjur terluka.
“Baik, kita kesampingkan dulu tentang ‘kendali diri’. Aku percaya kau telah melakukannya dengan sempurna. Mari kita analisis mengapa pembunuhnya berhenti beraksi? Mungkinkah ia telah berpindah target dan lokasi pembunuhan? Atau kabur? Jika itu yang terjadi, kita harus memikirkan lagi misteri kemana hilangnya pembunuh berantai ini agar bisa menangkapnya!”
Aku termenung mendengarkan penjelasan lengkap dari Taira, mati seribu kata tak mampu menyangkal sama sekali. Memang benar yang ia katakan, aku memang terlalu cepat salah paham padanya. Mengapa fikiranku ini jadi sering negatif begini? Apa karena dia meninggalkanku bersama berjuta misteri dalam waktu yang cukup lama? Membiarkan berbagai fikiran aneh dan keraguan bersarang di otak ku?
Apa aku terlalu cepat mengambil keputusan bahwa ia sedang membohongiku? Aku belum begitu mengenalnya, karena itu aku tak boleh berfikir negatif terhadapnya kan? Kepalaku rasanya seperti akan pecah! Aku seharusnya fokus mencari si pelaku pembunuh berantai! Jika memang benar pelakunya melarikan diri, lalu kemana kami harus mencarinya? Jika pelakunya pindah lokasi pembunuhan, apa motifnya, dan bagaimana cara kami menyelamatkan para korban di tempat yang entah dimana? Untuk saat ini lebih baik aku kesampingkan dulu perasaan pribadiku.
“Maaf sempat salah paham padamu. Apa kau punya analisis, kira-kira kemana pelakunya menghilang, Taira?” Aku mulai merasa bersalah, dan kembali fokus pada kasus pembunuh berantai.
“Belum, karena itu aku membutuhkanmu untuk mencarinya bersamaku,” jawabnya singkat. Senyuman manisku yang sempat layu kembali mekar indah.
“Apa yang bisa ku bantu, nona?”
“Bantu tanyakan pada bisikan-bisikan itu! Ku rasa ini ada hubungannya dengan mereka.”
“Eh?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
DEAD ACCOUNT
jangan membuat nya terlalu jelas thor/Sweat/
2024-10-23
1
Yuzu Airu
baru sadar.. dia sering narsis sama wajah tampan dan manisnya, karena hanya itu yang bisa ia banggakan.
secara, tidak terlalu kaya, rumah sederhana, dari kecil sudah tidak punya orang tua. setidaknya, wajah tampan itu yang membuatnya lebih percaya diri. mungkin.. 😁
2024-10-07
0
Yuzu Airu
dari sini, sudah terlihat kalau Picho tidak tulus melakukannya. ok, memang niatnya baik, tapi kalau sampai harus menahan diri atau berusaha untuk melakukan kebaikan, ada unsur keterpaksaan ga sih?
2024-10-07
0