...***...
Langit bergemuruh, petir menyambar, seberkas cahaya nya menerangi wajah datar dan termenung di atas ranjang. Lampu yang sengaja di padamkan sang pemilik kamar, menambah kesuraman malam itu.
Elora, di temani beberapa lembar tisu, menatap genangan hujan yang kian merembes memasuki kamar tidurnya.
Melalui pintu balkon yang tidak tertutup, ia mengalihkan pandangan pada bulan, seraya memeluk bingkai foto dua anak kecil yang telah di simpan untuk waktu yang lama.
Sosok kecil dengan wajah cemberut, mencium pipi Raja kecil yang tersenyum lebar. Elora ingat saat itu dia sedang kesal dan menolak untuk di potret.
Hiks!
Mengingat apa yang di katakan sang Ayah siang tadi malah semakin meremukan hatinya.
Suatu kenyataan yang mengharuskan Elora untuk menerima Estela sebagai orang penting dalam keluarga mereka berhasil menjadikan nya mayat hidup detik itu juga.
Bagaimana tidak, selayaknya Elora, Estela Freeu mungkin akan menjadi orang penting dalam hidup Raja. Bukan hanya penting, ia mungkin juga mampu menggeser posisi Elora yang nampak lebih lemah.
Tok! Tok! Tok!
Bunyi ketukan di pintu kamar, namun Elora sama sekali tidak berniat untuk membuka. Lagi pula, siapa pun itu, ia bisa masuk karena Elora tidak pernah mengunci kamar.
Ceklek!
Tanpa permisi, pintu terbuka. Elora tidak berniat melihat siapa yang datang. Seluruh tubuhnya lemah, ia hanya ingin melupakan apa yang telah terjadi. Bahkan jika orang tersebut, bunda, Elora tidak ingin menyembunyikan apa pun. Apabila bunda mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, maka terjadilah.
Akan tetapi, apa yang di pikirkan Elora sama sekali jauh di luar dugaan. Dia bukan bunda atau ayah. Bukan juga pak Budi atau mbok Cum.
"Elora! Kau gila?"
Raja?
Elora mengernyitkan alis nya. Dia adalah Raja. Suara itu adalah Raja.
Maharaja Samasta Brajaya!
Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Elora mendongak. Senyum getir mengembang dikala netranya menangkap sosok itu. Sosok tampan dengan mimik khawatir. Setelah sekian bulan tinggal seatap, untuk pertama kali nya, Raja yang datang menghampiri Elora lebih dulu.
"Halo kak," sapa Elora basa-basi. Matanya kosong, tatapan nya datar seolah tak ada kehidupan di sana. "Apa yang kau lakukan di sini? Ah, kau mau pamer, ya?"
Seperti orang tidak waras, Elora tertawa kemudian menangis. Ia mencoba mengiba tapi Raja tidak melihat ke arah nya. Pria tersebut sibuk menutup jendela dan pintu balkon yang terus di terpa badai.
Tubuh yang awalnya kering, jadi sedikit basah karena terciprat air hujan. Dari sikapnya, Raja tahu akan kondisi Elora, dia pasti melihat hal tersebut dari balkon kamar yang memang sejajar dengan balkon kamar nya.
Tapi kenapa dia peduli? Toh, Elora pun tidak penting untuk nya!
"Elora!!!"
Raut wajah Raja terlihat amat kesal. Marah akan apa yang menimpa Elora, Raja terus mengomel seperti seseorang yang benar-benar peduli, bahkan di saat Elora tidak menyahut, Raja tidak tinggal diam.
"Kau bisa mati kedinginan, Elora!!!" geram Raja.
Suara nya keras, bersahutan dengan gelegar gemuruh yang terus menyambar. Dengan cekatan, ia mengambil selimut, membungkus tubuh Elora yang hanya mengenakan tanktop dan hotpant. Raja tampak sangat perhatian dan peduli. Meski di tengah kegelapan, pria itu bisa menemukan keberadaan Elora dengan mudah.
Namun, jika saja saat ini pikiran Elora sedang waras, ia pasti sudah berbunga-bunga dan tersipu malu melihat perhatian langka tersebut. Tapi sayang nya, saat ini pikiran nya sedang kacau, Elora sedang tidak baik-baik saja.
Saking buruknya, Elora bahkan tidak bisa berpikir jernih hanya sekedar untuk membedakan tentang apakah semua ini. Apakah perhatian, atau Raja hanya tidak ingin tidur di samping kamar mayat.
"Kendalikan diri mu, Elora!" Raja mengguncang tubuh "Elora?"
Di tengah gelap nya kamar, Raja melebarkan matanya saat berhasil menemukan sakelar. Seperti kapal pecah, kamar Elora samat berantakan. Tisu bertebaran, beberapa barang dan pecahan botol parfum pun ikut hancur tidak berbentuk.
"Apa yang terjadi pada mu? Kenapa kamar mu sekacau ini?" Raja mengusap rambutnya kasar. Elora tetap tidak bersuara.
Mulutnya Elora bungkam tertutup rapat. Dia diam, menatap Raja dengan sorot mata penuh luka.
Tanpa di duga, air mata yang sebelumnya sudah usap, kembali merembes keluar. Rambutnya yang di cepol asal pun berantakan tidak beraturan.
"Elora, kenapa diam saja?" panggil Raja. Ia tampak frustasi dengan sikap Elora. "Apa kau sudah kehilangan akal? Kenapa membiarkan balkon nya terbuka?"
Lagi tidak menjawab, dalam diam, Elora hanya terus mengeluarkan air matanya. Ia memukul dadanya beberapa kali, menghentikan rasa sesak yang terus menyeruak memenuhi relung hatinya.
"Hentikan Elora! Kau mau mati?" Raja menggenggam kedua lengan Elora, menghentikan aksi gadis itu. Elora mendengus ringan.
"Setidaknya kau akan pura-pura peduli jika aku mati!" ketus Elora terisak. Suara nya rendah, klimatnya tersendat, sarat akan luka. "Kau ... kau akan sedikit mengasihani ku jika aku mati kan?" tanya nya getir.
Tatapan Raja tajam. Giginya gemertak, jelas menahan emosi. Entah mengapa tapi dia kelihatan marah akan kata-kata Elora. Tangan kecil dalam genggaman nya pun ia cengkram kuat membuat Elora meringis kesakitan.
"Jangan bicara omong kosong!" geramnya. Elora tertawa sumbang.
"Kalian bahagia?" pertanyaan nya benar-benar melenceng. "Kau tampak bahagi dengan kehadiran Estela."
Dari sekian banyak jawaban yang Raja tunggu, Elora malah kembali berulah.
"Aku penasaran ... "
Menepiskan tangan, melepas cengkraman Raja, Elora menatap wajah yang berada tak jauh dari jangkauan nya. Tangan nya terulur membelai wajah tampan tersebut.
" Berapa waktu yang kau butuh untuk melupakan ku jika aku mati?" Suara Elora terbata. "Satu hari, dua hari, atau, berapa menit_"
"Hentikan omong kosong mu!" potong Raja cepat. Berdiri menjauhkan jarak mereka. "Kau melantur. Sebaiknya Istirahat saja. Aku akan per_"
"Apa karena dia putri pasangan Freeu?"
Keras kepala, Elora memotong kalimat Raja, menghentikan nya yang akan melangkah pergi.
"Apakah karena itu kau mudah menyukainya?"
Dengan polos dan putus asa, Elora kembali bertanya. Meski pada akhirnya ia tahu apa yang akan terjadi, Elora tetap tidak peduli.
"Aku tidak ingin membahasnya!" kecam Raja, seolah tak mau di bantah.
Lagi dan lagi
Seperti biasa, Raja kembali menghindari pertanyaan membuat Elora tersenyum kecut, bibirnya bergetar pasrah.
"Kenapa bukan aku saja? Kenapa harus dia?" tanya Elora lagi. "Padahal kau tahu aku menyukai mu," sendunya. Raja tidak menyahut.
Karena sedang tidak ingin bertengkar, Elora lantas mengangguk paham. Darah segar yang di rasa akan segera mengalir keluar, membuat nya buru-buru bersembunyi di balik selimut.
Elora membaringkan tubuh letihnya, meringkuk, memeluk diri yang mulai menggigil. Tisu ditangan ia seka guna menghilangkan jejak darah di kedua hidung nya.
"Aku lelah, Kak. Aku lelah," lirih nya. "Menyukaimu benar-benar melelahka," imbuhnya.
Di kamar berukuran besar tersebut, Raja diam. Dia mengamati Elora yang berusaha tidur, tapi dengan tubuh yang masih terus bergetar.
"Aku sudah melarang mu, El. Sudah ku bilang, kau tak boleh menyukai ku!"
"Aku tahu." Elora menyahut. Dia tak bisa pura-pura tidur saat Raja masih berdiri, mengintainya bagai serigala. "Tapi, aku tidak bisa mebenci mu, aku pun tidak bisa berhenti menyukai mu," imbuh nya.
Dengan senyum memaksa, Elora membuka lagi matanya. Menurunkan selimut, melempar tatapan dalam penuh luka. Masih setengah terisak, ia mencoba bicara.
"Tapi kau tahu Kak, dengan menempatkan Estela dalam situasi ini, kau akan memperburuk keadaan," ujarnya lemah. "Jadi, sebelum sesuatu menimpanya, aku ingin lebih dulu minta maaf pada mu," seru nya.
Elora menunduk sebentar, mengasihani kebodohan nya yang ternyata belum mau menyerah. Sesakit-sakit hatinya, rasanya akan lebih sakit jika harus menyerah. Setidaknya dengan tetap menyukai Raja, perasaan nya bisa sibuk merasakan hal lain. Dan mungkin dengan begitu, perlahan rasa nya bisa perlahan hambar.
"Maksudmu kau mungkin akan melukai nya?" tanya Raja terperangah. Elora mengedikan bahu.
Mengacak rambut frustasi, Raja nampak tidak mengerti dengan jalan pikiran Elora.
"Kuharap kamu tidak melakukan hal bodoh terhadap Estela atau aku akan semakin membenci mu!" ucap Raja.
"Aku tahu!" sergah Elora tertawa hambar. Ia sudah tidak peduli seberapa besar pria itu membencinya. Toh, bersikap baik atau tidak, tak akan ada bedanya. Raja akan tetap membencinya.
"Kau tahu aku akan membenci mu dan kau tetap mengatakan hal konyol itu?" tanya Raja, heran. Elora mengangguk. "Kenapa?"
"Entahlah," ringis Elora pelan. "Menyukai mu memang sakit, tapi melepaskan mu jauh lebih sakit. Jadi ku putuskan untuk menyakiti rasa itu."
Raja benar-benar di buat kebingungan.
"Maksudnya?"
"Karena tak bisa membenci ataupun berhenti menyukai mu, sudah ku putuskan untuk menyakiti persaan ku pada mu, dengan begitu, saat semuanya terasa hambar, aku akan bisa melupakan perasaan itu untuk selamanya."
"Ayolah Elora, kau harus membenci ku agar bisa melupakan ku," sahut Raja enteng.
Elora terkekeh pelan. "Kau tahu, Kak? Jika sekedar benci, kau bisa merebut hati itu lagi hanya dengan berbuat lebih baik dari sebelum nya.
Namun, jika hati mu kebas dan mati rasa, tak ada jaminan kau bisa menghidupkan nya lagi,"
"Kau semakin melantur!" protes Raja.
Elora tidak lagi menjawab. Dia hanya tersenyum kecut, kembali membungkus tubuh nya dengan selimut.
"Aku lelah, Kak. Aku ingin istirahat," ucap nya yang kemudian memejamkan mata. "Jika tak keberatan, tolong temani aku malam ini saja," pintanya.
Namun, belum ada sedetik, Elora lansung mendengar pintu kamarnya telah di tutup dengan keras.
Raja pergi. Untuk ke sekian kali nya, pria itu pergi. Dengan hati remuk, Elora memutuskan menutup matanya. Satu hal yang ia inginkan saat ini hanyalah kebencian Raja padanya.
"Aku akan menyukai mu sampai puas, sampai lelah, dan sampai terasa hambar hingga tiba saatnya untuk berhenti. Dan pada saat itu, aku akan bersyukur sebab tak akan ada penyesalan yang tersisa."
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments