...***...
Dalam perjalanan pulang, mereka diam tanpa suara. Sudah satu minggu sejak kejadian Elora pingsan dan sejak itu pula Raja selalu menunggunya, memberi tumpangan meski tak di minta. Entahlah, terkadang sikap Raja membuat Elora bingung.
Di dalam mobil, tak seperti biasanya, kali ini tak ada yang bersuara. Tidak satupun dari mereka membuka percakapan, termasuk Elora.
Selama seminggu pulang bersama, Elora memang sering berceloteh. Kendati Raja tidak menggubris, ia tetap berusaha mengajak pria itu bicara, walau pada akhirnya yang terjadi ialah Elora menikmati percakapan dengan diri sendiri, tapi ia selalu berusaha namun entah angin apa hari ini hingga gadis itu lebih memilih diam.
"Kak," panggil Elora. Ia melirik Raja yang tiba-tiba memalingkan wajah. Tidak ada sahutan dari pria jelmaan kulkas itu. "Bisa berhenti di depan sana?" ucap Elora kemudian.
Kali ini Raja merespon. Ia melirik Elora singkat kemudian melihat tempat perhentian yang gadis itu inginkan.
"Untuk apa?" Dahi Raja mengerut.
"Aku ada urusan," balas Elora. Ia mengetik sesuatu di ponsel. "Setelah menurunkan ku di sana, kakak bisa langsung pulang."
Raja masih terus melaju. "Urusan apa?"
Pria itu menghentikan laju mobilnya. Bukan di tempat yang Elora minta, melainkan jauh di depan sana.
Melihat hal tersebut, Elora membuang napas berat. Ia harus berhenti di pertigaan yang jauh di belakang sana.
"Bukan di sini, Kak. Mundur lagi," protes Elora memelas, meskipun sadar Raja tidak akan melakukan nya. "Kakak..." sungut Elora kemudian.
Raja tak menjawab, tidak juga menggerakkan mobilnya. Ia menoleh ke samping, menatap Elora tajam dan penuh intimidasi. Hal tersebut tentu membuat Elora sedikit bergidik, namun tetap memantapkan niatnya.
"Ya sudah kalau kakak tidak mau, tak apa. Di sini pun tidak masalah," ujar Elora mengalah. Memutuskan turun, Elora mengangkat tangan nya membuka pintu mobil namun,
Terkunci?
Untuk kesekian kalinya Elora mendengus. Hari ini ia tak ingin mengajak Raja bertengkar.
"Apa lagi, Kak?" keluh Elora dengan raut masam.
Raja menyahut, "Kau belum menjawab pertanyaan ku. Ada urusan apa? Kau mau kemana!" ucapnya tidak menatap sang lawan bicara.
"Ada, lah, pokoknya," sahut Elora sekadar nya.
Raja kembali protes. Kali ini suaranya terdengar jauh lebih ngotot, "Aku harus tahu, Elora!" ketusnya.
Sebenarnya Elora tidak mau bersikap begini, namun ia sudah terlanjur berjanji dan harus menepatinya.
"Kakak jangan khawatir. Tidak akan seperti terakhir kali. Aku akan pulang dengan selamat."
"Siapa bilang aku khawatir?" Raja mendengus pelan. Ia meremas pangkal hidungnya. Tidak perlu di jelaskan pun Elora cukup sadar diri untuk tidak ge-er.
"Aku mengantar mu pulang bukan karena keinginan sendiri! Ini permintaan bunda. Kalau bunda pulang dan kau tidak di rumah bagaimana? Siapa yang akan bertanggung jawab?"
"Soal bunda, tidak perlu khawatir," sela Elora, lagi.
Tanpa menoleh, ia menyalakan ponsel, menunjukkan pesan singkat yang di kirim pada bunda beberapa saat lalu.
Elora : [Bunda, aku sedang bersama Sera. Kami ada acara kelas hari ini. Pulang nya mungkin malam nanti.]
Bundahara: [Baiklah sayang, bersenang-senanglah. Kalau pulang hubungi pak Budi saja]
Selesai membaca, Raja mengalihkan atensi, menatap jalan ramai di depan sana. Siang ini matahari cukup terik.
"Baiklah kalau itu mau mu." Tanpa banyak bicara, dia menekan tombol, membuka pintu mobil yang sebelumnya terkunci.
Tentu tanpa di minta Elora langsung bergegas turun. Ia melempar senyum ke arah Raja sebelum mobil kembali melaju.
Panassss!!!
Dengan langkah lesu, Elora berjalan kembali ke tempat dimana seharus nya ia menunggu. Sungguh tega pria itu meninggalkannya seperti ini.
Hah!
Tidak ingin tambah sakit hati karena memikirkan sikap Raja, Elora segera berteduh di halte tempat janjian dengan tante Renata.
Tidak lama, dari pertigaan di depan sana, Renata melambai. Begitu mobil berhenti, wanita itu tersenyum lalu turun dan membuka pintu Elora.
"Makasih, Tan," sambut Elora sopan.
"Lama nunggu, El?" tanya Renata kembali mendaratkan bokong lalu mulai membelah jalanan padat siang itu.
"Tidak tante, baru saja," jawab Elora singkat.
Rupanya Renata peka akan sikap gadis itu. Ia melihat wajah murung Elora dan tersenyum simpul.
"Ngambek kenapa, El? Raja?" tanya Renata. Elora mengangguk sembari mendesah berat.
"Di cuekin lagi?" Lagi Elora mengangguk.
Ya, seminggu tidak bertemu setelah kejadian kala itu, Elora dan Renata memang sudah semakin akrab. Mereka kerap bertukar pesan. Semua hal mereka bagi. Tentang Elora dan kehidupannya, pun Renata dengan hidupnya yang sedang pusing karena harus mengurus ponakan nakal, putra kakak nya.
"Didi gimana olimpiade nya , Tan?" tanya Elora kemudian.Sudah tentu Renata menarik napas pasrah.
Elora ingat betul Didi merupakan ponakan tante Renata ialah anak lelaki yang selalu menjadi fokus wanita itu saat ini. Dia merupakan pria nakal pembuat onar yang sering membuat Renata merasa menjadi ibu sepuluh anak.
"Taulah, El. Didi itu memang cerdas. Olimpiade kemarin juga juara satu, masalahnya selesai olim, bertengkar lagi, El..."
Elora terkekeh, "Jangan bilang dengan lawan lombanya, Tan?"
"Tidak meleset," sahut Renata cepat. Tawa Elora akhirnya pecah.
Membahas Didi, nama yang baru Elora tahu beberapa hari lalu ternyata berhasil membuat ia lupa akan rasa sakit ketika di acuhkan Raja tadi. Meskipun belum pernah bertemu, Elora yakin mereka akan cocok menjadi teman sekalipun Renata meminta Elora untuk tidak berteman dengan anak kakaknya itu.
Lama mengobrol, tanpa sadar Renata dan Elora telah tiba di tempat tujuan mereka. Butik Abraka namanya. Salah satu usaha milik Renata, tempat dimana Elora dan Renata akan bersiap-siap untuk pergi ke acara pernikahan kakak Renata.
Masih mengerjap, Elora tak menyangka jika butik mewah empat lantai yang sering dia dan bundanya datangi adalah milik Renata. Ia bahkan mulai bertanya-tanya berapa usaha yang wanita itu miliki.
"Masuk El."
°
°
°
Tiga jam waktu yang di butuhkan untuk Elora dan Renata tiba di tempat tujuan mereka, kota Burian.
Dengan anggun, Renata dan Elora melangkah, memasuki sebuah gedung yang telah di hias mewah tersebut.
Elora mengenakan gaun biru muda cerah yang kontras dengan kulit putihnya. Postur tinggi dengan rambut hitam terurai nya di tata bergelombang, menambah kecantikan gadis yang saat ini mengaitkan lengan pada renata.
Sementara Renata? Jangan ditanya, wanita 35 tahun berambut sebahu itu mengenakan gaun biru tua yang begitu pas di tubuh langsingnya. Dengan menampakkan sedikit belahan dada, Renata tampak anggun dalam balutan gaun satin yang berhasil membuat ia maupun Elora menjadi pusat perhatian sore itu.
"Ck, ingin menandingi pengantin ku, huh?" ucap pengantin pria menyambut pelukan hangat Renata.
"Tentu saja, Kak," sahut Renata, bercanda.
Ya, benar. Dia adalah kakak Renata, namanya Sefanus Pratama. Renata yang harusnya pergi ke pernikahan sang kakak dengan pasangan malah mengajak Elora untuk menemaninya. Wanita itu tidak ingin tampak menyedihkan karena menghadiri pernikahan kedua kalinya sang kakak, seorang diri. Bisa-bisa ia malah menjadi bahan gunjingan keluarga besar karena belum juga menikah di usia yang sudah tidak lagi muda.
"Dia Elora?" Sefanus berseru begitu Elora tiba di depannya. Sefanus mengulurkan tangan.
"Hai om, saya Elora," sambut Elora sopan.
Sefanus tersenyum. "Saya Sefanus, kakak Renata." Dia sedikit berbisik. "Ayah Didi."
Yup, Elora terkejut lantas tersenyum canggung ke arah Renata, wanita itu tidak bilang bahwa yang menikah adalah ayah Didi.
"Oh maaf, Om. Tidak bermaksud menyinggung."
Elora yang sadar akan sikap spontannya lantas meminta maaf. Dia khawatir Om Sefanus maupun tante Renata berpikir macam-macam.
"Tidak apa-apa, El. Ayahnya juga sadar kalau putranya memang nakal." Renata membela.
Sefanus mengerti, ia mengangguk, sangat paham jika Renata telah menceritakan perihal Didi pada Elora. Anak lelakinya itu memang biang kerok.
Renata mengedarkan pandangan. "Didi di mana, Kak?" tanya sebab tidak menemukan sang ponakan.
Sefanus sontak mendesah berat.
"Kau pikir dia akan datang? Kau lupa berapa lama aku mencoba meyakinkan nya untuk menerima Sely?"
Om Sefanus tampak lelah mebicarakan putra nya. Wajah cerah dan tampan nya seketika berubah murung. Tidak ingin mendengar masalah keluarga orang lain, Elora meminta ijin untuk beranjak dari sana, dengan alasan ingin melihat-lihat. Padahal sebenarnya ia hanya tak ingin menguping pembicaraan orang lain.
"Mau tante temani, El?" tanya Renata, Elora menggeleng.
"Tidak apa, Tan. Hanya sebentar saja," jawabnya sebelum beranjak pergi.
Menyakini akan kehadirannya sebagai pendamping Renata, Elora tak terlalu gugup. Ia melangkah kesana kemari, menilik segala sesuatu sampai matanya benar-benar menangkap suatu hal yang menarik.
Seseorang berdiri di salah satu pintu terbuka. Masih di dalam gedung yang sama, mata mereka bertemu.
Pria aneh itu tampak mencurigakan. Wajahnya yang tidak jelas mebuat rasa penasaran Elora semakin meningkat. Tanpa bisa di cegah, gadis itu memutuskan untuk bergerak. Ia melangkah memasuki ruangan yang membawanya pada sebuah lorong gelap. Harus membayar rasa penasaran nya, Elora memutuskan untuk menjejal lorong gelap nan panjang tersebut.
Melewati beberapa ruang, sosok yang kini dalam jangkauan mata Elora, berhasil membuat gadis itu terus melangkah. Bahkan disaat batin nya menyuruh ia untuk kembali, Elora tetap melangkah dengan pasti. Sampai ketika sosok itu menghilang, Ia baru sadar bahwa sudah melangkah terlalu jauh.
Di depan nya, terdapt sebuah ruang gelap gulita yang menjadi akhir dari pengejaran panjang nya. Masih diliputi rasa penasaran, Elora putuskan untuk melangkah masuk.
"Hei, siapa kamu? Kenapa mengendap di acara orang lain seperti itu?" seru Elora. Gema suaranya malah membuat gadis itu merinding. Apalagi ketika tidak memperoleh jawaban, dirinya mulai merasa aneh dan menerka asal.
Apa tadi itu sungguh manusia?
Pikiran Elora melayang. Ia menyesal tidak mengikuti kata hati, hingga berakhir di tempat menyeramkan ini. Ruangan yang tidak jelas bentukannya kini membuat Elora merutuki rasa kepo nya yang berlebihan.
"Harusnya aku tidak kemari!" sungutnya mengambil ponsel dari dalam tas mini yang ia tenteng sejak tadi.
Saat masih merogoh ponsel, secara tak terduga, sebuah gerakan aneh dari sudut ruangan, membuat Elora lebih gencar meraih ponselnya dan ketika senter di nyalakan...
"Boo...! Cari apa?"
"Kyaaa... HANTU...!" pekik Elora berjingkrak kaget.
Bagai melihat hantu, ia spontan berlari meninggalkan ruangan gelap terkutuk itu. Bagaimana tidak, di depannya berdiri seorang pria dengan wajah babak belur yang amat mengerikan. Lebam di seluruh wajah pria itu membuat Elora menyesal telah meladeni rasa penasaran nya.
"Cih, gadis gila!"
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments