...***...
Langit sudah gelap saat Renata kembali ke studio. Tadi setelah mendengar kabar anak kakak nya masuk rumah sakit akibat berkelahi, wanita itu langsung pergi.
Oleh karena tengah ramai-ramainya, Renata tidak bisa langsung memaksa para tamu untuk pergi sebab mereka pun membayar untuk datang ke studio jadinya ia dengan amat berani, menaruh kepercayaan penuh kepada Elora, gadis yang belakangan ini mencuri perhatiannya.
Sebelum pergi dan menitip kunci, Renata pun tidak lupa memberi nomor ponsel, berjaga-jaga jika ia akan terlambat, dan meminta Elora untuk tidak menunggu.
Namun, pukul enam waktu studio untuk tutup telah lewat sejak dua jam lalu sementara Elora sama sekali tidak menghubunginya. Rasa khawatir yang memuncak membuat Renata memutuskan untuk kembali ke studio.
Tiba di studio, Renata di buat terkejut dengan lampu yang padam namun pintu studio tetap terbuka.
"pencuri kah?" Begitu pikir Renata.
Meraih sebuah bata besar di luar, Renata melangkah memasuki studio. Bermodalkan penerangan cahaya ponsel, ia melangkah tenang menuju sakelar berusaha tidak mengeluarkan suara agar siapa pun yang berada di dalam studio tidak menyadari kedatangan nya.
Pelan namun pasti, tangan Renata mulai terulur hingga menemukan stop kontak.
Dalam hitungan detik ruang gelap tersebut berubah terang benderang. Renata dengan cepat mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, memicing dengan gugup mencari sesuatu yang entah apa. Sorot matanya terus menelisik ke setip sudut yang terhalang kampas kampas besar yang di gunakan para tamunya untuk melukis namun, tidak satupun netranya menangkap apa yang di cari.
Ruangan dengan sekat yang tidak terlalu tinggi tersebut, membuatnya tidak bisa melihat jelas sisi lain ruangan. Akhirnya dengan amat terpaksa Renata harus melangkahkan kaki ke sisi lain. Dengan bermodalkan batu bata di tangan, ia melangkahkan kai dengan hati-hati namun, belum benar-benar mencapai sekat pembatas, Renata dikejutkan dengan sosok gadis berambut panjang di sudut dekat jendela.
Bukan, dia bukan hantu. Di Elora.
Ya, Elora masih berada di tempat duduk persis di tempat saat Renata pergi tadi. Dengan lukisan pria yang hampir selesai Renata menatap punggung Elora yang saat ini membelakangi nya. Elora tidak bergerak. Ia duduk diam di bangku tanpa sandaran tersebut, dengan tubuh yang bersandar pada tembok yang hanya beberapa senti dari posisinya. Kepalanya tertunduk dengan tangan memegang palet cat yang berada di atas pangkuannya sementara kuas lukis telah tercampak ke tanah. Gadis itu sama sekali tidak bergeming saat Renata memanggil nama nya.
Sedikit panik Renata segera melepaskan bata di tangan. "Apakah dia tertidur?" pikirnya, namun, saat menyentuh tubuh Elora hendak memastikan kondisinya, tanpa bisa di cegah gadis itu langsung ambruk ke lantai.
"ELORA!!!"
Melihat tubuh terlentang Elora yang tidak sadarkan diri dan wajah yang amat pucat, Renata berusaha menyadarkan gadis itu. Ia menepuk wajahnya beberapa kali nampak jelas ada bekas darah yang mengalir dari hidung Elora.
Tidak ada jawaban.
Tanpa menunggu lama, Renata segera berlari ke luar studio. Dengan panik dia meminta tolong pada beberapa orang yang tengah berlalu lalang guna membantunya memapah tubuh Elora.
°
°
°
Di rumah sakit, Renata berjalan mondar mandir di depan ruang rawat Elora. Ia ingin memberitahu keberadaan gadis itu, tapi tak tahu harus mengubungi siapa. Ponsel Elora yang sempat ia bawa dari studio juga terkunci jadi tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu sampai gadis itu sadarkan diri.
Beberapa saat kemudian dokter yang merawat Elora keluar dari ruangan.
"Bagaimana kondisinya, Dok?" todong Renata begitu matanya menangkap sosok berjas putih tersebut.
Sang dokter menurunkan maskernya perlahan, tampak tenang "Anda keluarga nya?"
"Bukan Dok, Elora pelanggan di studio saya. Dia pingsan di tempat saya jadi saya yang membawanya kemari."
Dokter manggut-manggut, "Anda tidak perlu khawatir karena kondisinya sekarang sudah membaik. Dia pingsan karena stres dan kelelahan, dia akan segera siuman. "
Mendengar penjelasan dokter, Renata lantas menghembuskan nafas lega. "Memangnya Elora sakit apa dok sampai bisa pingsan hanya karena stres dan kelelahan?" tanya Renata yang kini mulai penasaran. Pasalnya ia pun sering stres dan kelelahan tapi tidak pernah sampai pingsan.
"Dia pengidap anemia, tapi gejalanya menunjukan jenis anemia aplastik," jawab dokter, mulai menjelaskan perihal penyakit yang ternyata tengah Elora derita.
"Berbahaya, kah dok?" Renata begitu syok. Ia tidak menyangka jika gadis seceria Elora mengidap penyakit serius tersebut.
"Untuk kondisi Elora saat ini masih terbilang tidak parah, tidak sampai harus mencuci darah. Dari hasil lab, saya rasa kedua orang tuanya memang sudah paham kondisi Elora sehingga gejala yang ia tunjukkan masih terbilang cukup ringan dan baik bagi seorang penderita anemia aplastik."
Renata dengan serius mendengarkan penjelasan dokter. Ia bahkan sempat menanyakan beberapa hal sebelum sang dokter menyelesaikan kuliah singkatnya.
"Saran saya, sebaiknya Elora ini selalu di ingatkan untuk minum obat dan harus menghindari stres yang berkepanjangan," jelas dokter panjang lebar kemudian segera undur diri.
"Baik, terimakasih dok," balas Renata.
Selepas kepergian dokter. Renata segera masuk ke dalam ruangan tempat Elora di rawat. Ia melangkah cepat saat mendapati gadis itu mulai siuman.
"Bagaimana kondisi mu, Elora? Apakah ada yang sakit?" tanya Renata begitu memastikan Elora telah sadar sepenuhnya.
"Saya baik-baik saja ..." Elora menahan kalimatnya sebentar. Dia tidak tahu harus memanggil Renata apa. Pasalnya selama berada di studio, mereka memang tidak pernah berbincang akrab. Yang Elora tahu, Renata hanya wanita pemilik studio, itu saja. Ia bahkan masih terkejut untuk beberapa waktu tadi saat Renata tiba-tiba meminta nya menjaga studio sementara wanita itu pergi entah kemana.
"Panggil saja Tante Rena," jawab Renata cepat, melihat kebingungan di wajah Elora.
"Ah," Elora tersenyum simpul. "Saya baik-baik saja, Tante Renata," lanjutnya.
Renata lantas menghembuskan napas lega. Ia lalu merogoh ponsel di dalam tas tangannya. Mengeluarkan dua ponsel dengan merek berbeda. Satu ponsel ia berikan pada Elora. "Kamu mungkin mau menghubungi keluarga mu?"
Elora menggeleng sembari tersenyum lemah. "Tidak tante," katanya. "Bunda dan ayah akan sangat cemas jika tahu aku pingsan. Aku tidak ingin membuat mereka khawatir," lanjutnya singkat.
Renata menatap Elora iba. Mereka memiliki kemiripan dimana tidak ingin menjadi beban khawatir keluarga sehingga membuatnya paham akan perasaan gadis itu.
"Oh, iya." Renata tiba-tiba teringat sesuatu. "Tadi seseorang menghubungi mu. Nama kontaknya..."
"Untung Sayang?" tebak Elora tiba-tiba bersemangat.
Renata yang memang agak canggung dan juga merasa lucu dengan nama kontak pemberian Elora tersebut lantas mengangguk. Elora pun nampak menatap poselnya dengan mata berbinar.
"Apa katanya, tante?" tanya Elora.
Renata sedikit membenarkan duduknya. "Tapi Elora," Ia jeda sejenak. "Apakah dia memang tidak banyak bicara?"
Elora mengerti jika Renata mungkin akan menunjukkan ekspresi seperti itu karena Raja memang orang yang tidak berbasa basi.
Mengangguk, Elora menatap Renata dengan binar penasaran. "Apa katanya, tan?" tanya nya lagi.
Renata tersenyum melihat tingkah antusias Elora. Dia teringat akan panggilan masuk sesaat setelah kepergian dokter.
•
•
Ponsel Elora yang berdering menghentikan langkahnya sesaat ketika hendak masuk ke ruang rawat. Ia sempat membaca nama penelepon lalu tersenyum singkat sebelum menjawabnya.
Tidak ada suara. Renata kembali memastikan jika ia benar-benar sudah mengangkatnya.
[Di mana?]
Suara berat, dari seberang sana kembali menarik fokus Renata. "Halo ini siapa? Apakah anda keluarga Elora?" tanya Renata. Ia mendengar jelas pergerakan tiba-tiba di seberang sana. Tebaknya sang penelepon baru saja beranjak dari posisi nyaman.
[Anda siapa?] tanya sang penelepon tanpa basa-basi, membuat Renata menautkan kedua alis, lalu kembali memastikan nama kontak yang menghubungi Elora. Dalam hati, ia paham kenapa Elora menamai pria tersebut demikian.
"Saya Renata. Elora saat ini berada di rumah sakit,"
[Hah? Apa yang terjadi? Elora baik-baik saja?]
Renata jelas mendengar kekhawatiran di seberang sana. Dia pun jelas-jelas mendengar pergerakan seolah pria tersebut akan muncul di depan nya detik itu juga sehingga buru-buru Renata segera menenangkan nya. Ia tidak ingin jika dirinya harus mengurus keluarga Elora yang lain karena membuat mereka cemas.
"Tidak perlu khawatir, Elora baik-baik saja. Jangan terburu-buru. Elora tadi pingsan di tempat saya. Kata dokter Elora hanya kelelahan dan akan segera siuman," jawab Renata.
Pergerakan di seberang kini tidak lagi terdengar. Pria itu terdengar membuang napas lega.
"Saat ini kami berada di rumah sakit Lentera. Kamu bisa ikut kami di si-," sambung Renata namun segera di di sela oleh penelepon.
"Tolong pastikan dia pulang dengan selamat!"
Hanya itu dan panggilan terputus.
•
•
Baru selesai menceritakan kronologi panggilan singkat tersebut, Renata di buat bingung dengan sikap Elora yang selalu tersenyum di setiap kalimatnya. Gadis itu nampak sangat bahagia.
"Menurut tante, adakah sedikit saja kemungkinan dia menyukai ku?" tanya Elora terlampau antusias.
Bagi Renata, sulit jika panggilan tersebut dimaksudkan karena perasaan suka ataupun cinta. Panggilan tersebut hanya seperti panggilan yang wajib di lakukan jika seseorang yang ia kenal belum pulang di saat waktu telah menunjukan larut malam.
Seperti bercermin pada diri sendiri. Renata tengah melihat versi muda nya dalam diri Elora. Wanita 35 tahun itu menatap Elora serius. Sesekali ia tersenyum mendapati Elora yang tengah menatap ponselnya dengan raut wajah senang. Hanya satu panggilan tak terjawab dan satu panggilan tersambung dari nama yang sama cukup membuatnya bahagia. Cinta menggebu-gebu memang kadang membuat mereka para gadis melupakan logika.
"Tante aku ingin pulang."
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments